May 29, 2009

Rokhus Due Awe Gandrungi Sisa Fauna

R Due Awe Gandrungi Sisa Fauna
Oleh : Samuel Oktora

"Ini bukan gigi, melainkan tulang paha tikus," ujar Rokhus Due Awe tanpa perlu berpikir lama ketika dimintai pendapatnya tentang fosil tulang yang baru saja ditemukan pada proses ekskavasi.

Kamis siang, dua pekan lalu, ketua tim peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) Emanuel Wahyu Saptomo menunjukkan kepada Awe sebuah temuan kecil yang diduga gigi manusia.

Namun, ketika Awe memegangnya, lalu mengamati secara sekilas, laki-laki yang tahun ini genap berusia 65 tahun itu memastikan bahwa benda tersebut bukan gigi manusia, melainkan tulang mikrofauna, tikus.

Meski sudah pensiun sejak tahun 1998, Due Awe yang berperawakan kurus dan hitam itu hingga kini pikiran dan tenaganya masih dibutuhkan dalam penelitian arkeologi, khususnya untuk mengidentifikasi sisa fauna berupa fosil tulang-tulang.

Dalam penelitian lanjutan oleh Puslitbang Arkenas di Gua Liang Bua, Desa Liang Bua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, bapak dua anak itu tetap dilibatkan dalam tim. Penelitian lanjutan ini berlangsung 7 Juni-31 Juli 2007.

Sebelumnya, hasil temuan di Situs Liang Bua yang diumumkan di Sydney, Australia, tahun 2004 telah menggemparkan dunia, yaitu berupa fosil manusia hobbit yang diberi nama Homo floresiensis. Saat itu Awe juga menjadi salah seorang anggota tim peneliti dari Indonesia.

Penemuan penting itu terjadi atas hasil kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang dipimpin RP Soejono untuk tim peneliti Indonesia dengan Universitas New England, Australia. Tim peneliti dari Australia dipimpin Mike Morwood.

Kiprah Awe dalam dunia penelitian di bidang arkeologi dimulai sejak tahun 1963-an, ketika dia menjadi asisten misionaris asal Belanda, Theodore Verhoeven, yang mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores. Verhoeven mengajar di Seminari Mataloko ketika Awe menjadi siswa SMP di sana.

Verhoeven yang ahli bahasa klasik Latin dan Yunani banyak melakukan penelitian di kawasan NTT, khususnya Flores, hingga menghasilkan temuan penting, antara lain berupa artefak batu dalam konteks dengan tulang-tulang stegodon (gajah purba) di Lembah Soa, Flores.

Bersama Awe, Verhoeven pada tahun 1965 melakukan penelitian arkeologi yang pertama di Situs Liang Bua dan berhasil menemukan tujuh kuburan manusia beserta bekal kubur yang antara lain terdiri dari periuk, kendi, dan beliung. Diperkirakan kuburan-kuburan tersebut berasal dari masa neolitik dan paleometalik.

"Begitu bernilai ilmu yang saya peroleh selama menjadi asisten Verhoeven. Dari penelitian sekian lama bersamanya hingga sampai sekarang saya bisa mengidentifikasi sisa fauna seperti fosil tulang-tulang. Namun, saya hanya sebatas mengidentifikasi awal, apakah temuan itu tulang tikus, kelelawar, ular, atau tulang hewan yang lain. Adapun pengklasifikasian selanjutnya, hewan itu termasuk jenis yang mana, diserahkan kepada ahlinya," ujar Awe merendah.

Awe mengakui, berkat pengalaman bekerja bersama Verhoeven serta pengalaman meneliti sekian puluh tahun, dirinya sedikit banyak bisa pula mengidentifikasi benda-benda kuno apakah terbuat dari besi, tembaga, ataupun perunggu.

Setamat SMA

Setamat dari SMA Katolik Syuradikara di Kabupaten Ende, Flores, tahun 1962, Awe tak lama kemudian bergabung dengan Verhoeven. Namun, setelah Verhoeven pensiun, dan kembali ke Eropa, Awe memutuskan melanjutkan pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang, Cabang Kupang di Ende.

"Waktu Verhoeven pensiun, dari pihak LPPN (Lembaga Penelitian Purbakala Nasional) menawarkan supaya jangan kembali ke Eropa, tetapi bergabung dengan LPPN. Tawaran itu disampaikan karena Verhoeven baru saja menemukan temuan penting di Liang Bua (1965), jadi jangan ditinggal begitu saja. Namun, Verhoeven mengatakan, "Tak masalah sebab ada asisten saya yang bisa membantu" (maksudnya Rokhus Due Awe)," ujar Awe.

Tahun 1969 Awe pun lalu ditawari bergabung dengan LPPN. Akan tetapi, laki-laki yang punya hobi sepak bola ini hendak menyelesaikan dahulu pendidikannya di D-3 Jurusan Sejarah IKIP, dan lulus tahun 1970.

Tahun 1973 Awe efektif bergabung dengan LPPN, yang sekarang berganti nama menjadi Puslitbang Arkenas. Dia magang dengan membantu kurator LPPN di bagian koleksi sebelum diangkat menjadi PNS (1975).

Awe mulai melakukan penjajakan kembali di Situs Liang Bua. Lalu, tahun 1978-1989 turut bergabung dalam tim peneliti dari Puslit Arkenas yang dipimpin RP Soejono.

Cangkang siput

Awe mengungkapkan, dirinya mulai menekuni soal (fosil) tulang dari yang paling mudah, yaitu pengenalan pada cangkang siput atau kerang. Menurut dia, kuncinya ialah mau belajar, suka mengamati, dan mengingat.

Itu sebabnya, sekalipun berlatar belakang sejarah, Awe justru dapat menguasai bidang yang seharusnya dipegang oleh orang-orang lulusan biologi.

"Waktu saya sering dinas ke luar daerah, kan ada biaya perjalanan dinas. Nah, uangnya saya kumpulkan untuk membeli buku-buku bekas di Kwitang, Jakarta. Saya lahap buku-buku soal tulang hewan. Ada satu buku bagus tahun 1972 yang menjadi pegangan saya. Judul buku itu Atlas of Animal Bones, tulisan Elisabeth Schmid," ungkapnya.

Awe memaparkan kemampuannya dalam mengidentifikasi dengan baik tulang-tulang hewan tak lepas dari acara adat umumnya di kawasan NTT. Kata Awe, di setiap acara adat ada hewan kurban, seperti babi, kambing, atau kerbau, disembelih. Dari tulang-tulang hewan kurban ketika dipotong atau saat dikuliti, Awe mengamati secara cermat.

"Setiap kali makan di restoran atau rumah makan saya juga sering memerhatikan daging dan tulang yang dijual, apakah itu ayam, bebek, atau sapi. Sampai satu kali saya pernah makan dengan seorang arkeolog asing yang tak percaya kalau saya sering belajar hanya dengan memerhatikan saja santapan daging hewan. Upacara penyembelihan hewan kurban pada acara adat juga banyak membantu," tutur Awe yang tak pernah lepas dari alat semacam tusuk gigi di mulutnya.

Belajar dan berlatih

Sekalipun tampak "ringan", pekerjaan yang digeluti Awe sesungguhnya membutuhkan konsentrasi tinggi. Ia biasanya hanya menerima temuan dari proses ekskavasi ataupun dari pengayakan.

Sambil duduk di depan meja Awe akan menimbang sebuah temuan, lalu mencatatnya, memberi label dengan catatan, antara lain ditemukan dari kedalaman berapa, jenis apa, dan di sektor (kotak galian) berapa. Ia kemudian memasukkan temuan tersebut ke dalam kotak plastik yang telah disiapkan. Temuan itu kalau dikumpulkan dalam kotak plastik, jumlahnya bisa ratusan, bahkan ribuan potong.

Bagi sebagian orang, kegiatannya bisa mungkin menjemukan, tetapi Awe amat menikmatinya. Bagi dia, apa yang dilakukannya bukanlah hal yang istimewa. Segala sesuatu bisa dilakukan karena terbiasa, dalam hal ini belajar dan berlatih.

"Kalau lagi stres, di depan tulang belulang itu rasa marah atau jengkel bisa hilang. Dan saya senang dengan pekerjaan ini, apalagi orang-orang seperti saya dari kawasan timur kan dikenal temperamental atau keras. Daripada marah, pelampiasannya meneliti tulang saja. Pikiran tenang dan kalaupun tulangnya patah, masih bisa disambung lagi toh," ujar Awe.

Mr Toothpick

Ada sejumlah julukan yang dikenakan pada Rokhus Due Awe. Ada yang bilang dia ahli identifikasi (fosil) tulang hewan, ahli sisa fauna, atau juga sinse, tabib dari China.

Disebut sinse karena orang awam menduga ketika Awe sering menjemur kotak-kotak plastik yang berisi temuan dari ekskavasi, temuan itu dikira ramuan obat-obatan. Julukan lainnya adalah "Mr Toothpick".

Julukan itu diberikan kepadanya karena Awe tak bisa lepas dari batang bulu babi landak yang selalu melekat di mulutnya. Bulu babi landak itu kalau dilihat sepintas bentuknya seperti tusuk gigi. Ke mana pun Awe pergi, bulu babi landak itu selalu terselip di sela bibirnya. Bulu babi landak itu berwarna putih bergaris-garis cokelat.

"Kawan-kawan dari luar negeri sering memanggil saya Mr Toothpick. Memang bulu babi landak ini tak pernah lepas dari mulut saya. Bahkan, waktu tidur pun saya kunyah-kunyah. Istri saya sendiri juga heran kok bisa, tak pernah jatuh atau lepas meski waktu tidur. Bagaimana ya, rasanya enak saja dan juga malah bebas dari rokok," ujar Awe.

Kakeknya juga melakukan hal yang sama, hanya yang dikulum bukanlah bulu babi landak, melainkan dari tanduk kerbau. Awe juga mengaku melakukan hal itu karena terinspirasi sebuah berita yang menyebutkan, ada seorang nenek di Inggris yang sembuh dari penyakit kulit karena mengulum bulu babi landak itu.

BIODATA

Nama: Rokhus Due Awe
Tempat dan tanggal lahir: Gisi, Ngada, 20 Maret 1942
Hobi: Sepak bola
Pendidikan:
1. SMP Seminari Mataloko, Ngada, tamat tahun 1958
2. SMA Katolik Syuradikara, Ende, tamat tahun 1962
3. IKIP Malang Cabang Kupang di Ende, tamat 1970
Pekerjaan: PNS di Puslitbang Arkenas 1969-1998
Perhargaan: Satyalencana Karya Satya tahun 1997
Nama istri: Rusmini (50)
Nama anak:
1. Sri Mulyani
2. Lia Rosina Anggreini

Sumber : Kompas, Senin, 9 Juli 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks