Aki Ija, Pelestari Wayang Catur
Oleh : Her Suganda
Dedikasinya sebagai dalang wayang catur tak pernah luntur. Dalam usia yang sudah mencapai sekitar 90 tahun, Ija Sukmaja atau Aki Ija—begitu orang-orang memanggilnya—tak pernah kehilangan semangat. Ia sanggup tampil seorang diri menjadi dalang sekaligus sebagai pemain kecapi semalam suntuk.
Di antara kesenian Sunda, wayang catur adalah kesenian paling praktis. Kesenian ini bisa tampil dengan seperangkat gamelan lengkap sebagaimana pergelaran wayang golek. Tetapi, wayang catur bisa juga tampil hanya dengan iringan kecapi, gambang, gendang, gong, dan rebab, instrumen gesek yang memiliki dua dawai. Namun, bisa juga tanpa nayaga atau penabuh gamelan sama sekali. Dalang wayang catur bisa juga merangkap nayaga sebagaimana diperagakan Aki Ija.
Di tengah rumahnya yang bisa disebut gubuk, Aki Ija beraksi dengan memetik kecapi, sejenis instrumen dalam musik Sunda, yang ditaruh di atas kedua paha. Dengan mata yang sering terpejam-pejam, jari-jari tangan yang dibalut kulit keriput itu masih lincah memetik dawai-dawai kecapi yang selama ini menjadi sahabat setianya.
Lewat suaranya yang terdengar sumbang, ia mengawali dengan melantunkan bait lagu pembukaan: "Bismillah mimiti mangkat/ ngaji bari maca solawat/ ngaji diri sangkan tobat/ sangkan bagja dunya akherat…," yang antara lain berisi petuah agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seni bertutur
Wayang catur merupakan salah satu bentuk seni bertutur. Kesenian itu dinamakan wayang catur karena lakon yang ditampilkan berasal dari dunia pewayangan. Sekalipun namanya wayang, kesenian ini tidak menggunakan wayang seperti halnya wayang golek dan wayang kulit.
"Ngawayang teu make wayang, ngan dalang wungkul nu nyarita dipirig ku gamelan," begitu menurut Kamus Basa Sunda yang disusun RA Danadibrata (PT Kiblat Buku Utama). Artinya, dalam wayang catur, dalang menggelar pertunjukan tanpa disertai wayang, namun hanya diiringi gamelan.
Kesenian wayang catur pernah populer sampai tahun 1960-an. Kesenian ini pertama kali dipopulerkan Raden Oemar Partasoeanda menjelang tahun 1940. Dalang wayang golek yang legendaris itu secara rutin mengisi siaran Radio NIROM, VORL, dan PPRK.
Idenya menampilkan wayang catur boleh jadi lahir saat akan rekaman di perusahaan piringan hitam Odeon. Agar tidak membutuhkan tempat luas, rekaman dilakukan hanya dengan menyertakan dalang dan penabuh gamelan.
Partasoeanda melahirkan banyak dalang berbakat. Salah seorang di antaranya Elan Soerawisastra dari Cibangkong, Bandung. "Aki mimiti diajar ngawayang ti dalang Elan," Aki Ija menceritakan pengalamannya pertama kali belajar mengenal dunia pewayangan.
Cara belajarnya tanpa metode. Mula-mula ia hanya ikut- ikutan menjadi penabuh gamelan. Namun, karena cita-citanya ingin menjadi dalang, sambil menjadi penabuh gamelan ia berusaha menghafal lakon-lakon dalam dunia pewayangan.
Ternyata, satu-satunya anak yang hidup dari 10 bersaudara itu, otaknya cukup encer walau sama sekali tak pernah menginjak bangku sekolah. Ia bisa hafal beberapa lakon dalam dunia pewayangan sehingga berani tampil sebagai dalang.
Dulu, di daerah Bandung timur sampai Sumedang, siapa yang tak kenal dalang Sukmaja dari Cinunuk. Hampir tiap malam ia tampil mengisi panggung pergelaran pada perhelatan perkawinan atau khitanan.
"Ingin istirahat juga susah," kenangnya. Sebagai imbalan, penghasilannya bisa dikatakan lumayan. "Beda dengan sekarang, kesenian tradisional makin terdesak kesenian modern," ujarnya.
Masa muda dalang Sukmaja dilukiskan penuh dengan kebanggaan. Berpostur tinggi tegap, sekitar 170 sentimeter, dan pamor sebagai dalang yang sedang naik daun, tak heran jika saat itu banyak kaum wanita tertarik kepadanya.
"Aya meureun 20 kali kawin mah," tuturnya seraya terkekeh-kekeh mengenang masa muda dengan sekitar 20 kali menikah.
Kecuali dengan istrinya yang terakhir, Ny Ena, dari Tanjungkerta, Sumedang, yang dinikahi selama 10 tahun, perkawinan sebelumnya hanya berlangsung singkat. Namun, semuanya tak dikaruniai anak.
Pemulung kayu
Hidup tanpa anak, istri, dan tanpa saudara sekandung, Aki Ija menghabiskan hari tua seorang diri. Rumahnya berdinding anyaman bambu yang terletak di pinggir sawah, terdiri dari dua ruang sempit. Satu ruang berukuran 2,5 meter x 3 meter digunakan untuk tidur dan tempat menyimpan barang. Ruang lainnya yang dijadikan dapur berukuran 1,5 meter x 1,5 meter. Rumah itu dibangun dari hasil tabungan Rp 300.000 dan sumbangan masyarakat sekitarnya.
Untuk menyambung hidup, sehari-hari ia memunguti kayu-kayu bekas di salah satu kompleks perumahan yang letaknya sekitar 2,5 kilometer dari rumahnya. Kayu-kayu itu kemudian dijual ke penduduk yang membutuhkan dengan harga Rp 7.000 per pikul. Namun, jika ada yang membutuhkan, sekali-kali ia masih tampil sebagai dalang catur.
Sampai kapan? "Pokona nepi ka iraha oge rek maju terus," katanya bersemangat.
Ia tak akan menyerah walau diakui fisiknya makin ringkih dan gerakannya tak gesit lagi. Namun, manakala jari-jari tangannya sudah memetik dawai-dawai kecapi, gairahnya bangkit kembali. Dengan instrumen petik itu, ia bisa tahan berjam-jam bertutur lakon pewayangan. Sebuah dunia yang tetap setia dia geluti walau dalang lain sudah lama meninggalkannya.
Aki Ija bukan hanya satu dari sedikit dalang wayang catur yang masih ada di Jawa Barat. Jenis kesenian wayang catur itu sendiri sudah mendekati kepunahan. Pergelaran sekaligus penampilan Aki Ija yang terakhir diselenggarakan di Galeri Rumah Teh Taman Budaya, Jawa Barat, akhir Juni silam.
Katanya, honor Rp 100.000 dia belikan kompor. "Biar awet jadi kenang-kenangan," tuturnya.
Sebagai dalang wayang catur, ia sebenarnya bisa tampil seorang diri hanya berteman kecapi. Tetapi, malam itu Aki Ija ditemani Joteng dan beberapa penabuh gamelan lain. Ia membawakan lakon Naga Percona, mengisahkan kerusuhan di kahyangan yang dilakukan Naga Percona karena lamarannya kepada Dewi Supraba ditolak Batara Guru.
Lebih sulit
Bagi penonton yang tak akrab dengan dunia pewayangan, tak mudah memahami jalan cerita pergelaran wayang catur. Penonton hanya bisa membayangkan berdasarkan imajinasi masing-masing, karena dalang hanya bertutur tanpa menampilkan sosok wayang.
Menurut Aki Ija, menjadi dalang wayang catur lebih sulit dibandingkan dengan dalang wayang golek. Dalang wayang catur harus betul-betul menguasai lakon dan karakter masing-masing wayang. Selain itu, dalam menyampaikan jalan cerita, dalang wayang catur harus bisa menuntun publik penonton untuk menikmati pergelaran. Karena itu, kemampuan dalang dalam bertutur merupakan salah satu prasyarat sangat menentukan.
Seorang pengamat seni menyebutkan, selain syarat-syaratnya lebih sulit, rezekinya pun seret. Pantas jika sulit menemukan anak muda yang mau meneruskan semangat Aki Ija.
Her Suganda Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat
Sumber : Kompas, Sabtu, 7 Juli 2007
May 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment