Pratibha Patil, demi Perempuan India
Oleh : Pieter P Gero
Sebenarnya tak ada lagi ambisi politik yang bisa diraih perempuan India bernama Pratibha Devisingh Patil di negara dengan 1,12 miliar penduduk itu. Jabatan gubernur negara bagian baru dilaluinya. Selama tiga tahun dia menjadi Gubernur Negara Bagian Rajasthan dan berakhir 23 Juni lalu. Sebelumnya ia pernah duduk di parlemen federal (Lok Sabha dan Rajya Sabha) selama 11 tahun.
Bagi Patil, tak ada lagi peluang untuk berkiprah lebih jauh di dunia politik India. Dia seorang perempuan di tengah masyarakat India yang lebih menonjolkan dan mengelu-elukan kaum lelaki. Perempuan India, apalagi yang miskin dan kurang berpendidikan, berada jauh di peringkat bawah.
Maka, ibu dua anak ini pun bersiap pensiun dari kancah politik India yang dilakoninya sejak tahun 1962. Usianya pun tak muda lagi. Fisik dan kesehatan dia pada usia 72 tahun sekarang ini tak bisa membuatnya lincah bergerak menemui rakyat India yang bermukim di negeri seluas 3.287.590 kilometer persegi ini. Ia tahu diri.
Patil sangat paham, sebagai seorang pejabat dan politisi, dia harus dekat dengan rakyat. Itu berarti ia acap kali mesti pergi ke desa-desa, berbincang dan mendengarkan persoalan yang mereka hadapi. Persoalan sosial, ekonomi, dan budaya sebuah bangsa lebih kasatmata di desa karena sebagian besar rakyat—sekitar 70 persen—tinggal di wilayah pedesaan.
Namun, sejak Sabtu (21/7) Patil malah terpilih sebagai Presiden India yang ke-13, selama 60 tahun kemerdekaan negara itu—pada 15 Agustus nanti. Malah istri Devisingh Ransingh Shekhawat ini mencatat sejarah sebagai perempuan presiden pertama India. Dia meraih dukungan mutlak dengan 66 persen suara. Saingan utamanya, Bhairon Singh Shekhawat (84), adalah Wakil Presiden India sekarang.
"Saya berterima kasih kepada para pemilih, laki-laki dan perempuan, di seluruh India," ujar Patil sembari mendekap kedua telapak tangan di dada. Ia dipilih anggota parlemen federal dan negara bagian, badan pemilih (electoral college).
"Hasil yang jauh lebih baik dari perkiraan," ujar Rasheed Kidwai, analis politik India.
Usia dan penampilan sederhana yang lebih memberi kesan rapuh membuat banyak orang di India ragu apakah Patil bisa menjalankan perannya sebagai Presiden India setelah dilantik pada 25 Juli. Apalagi, ia akan menggantikan APJ Abdul Kalam yang selama lima tahun berada di Istana Kepresidenan Rasthrapati Bhavan dan dikenal sangat populis. Kalam, tokoh nuklir India ini, sangat dekat dengan rakyat. Istana sering dikunjungi masyarakat, terutama anak-anak.
Patil punya alasan lain untuk tetap berpolitik. Sekalipun jabatan presiden di India hanya seremonial, keberadaan dia sebagai perempuan sekaligus Presiden India punya makna mendalam.
"Kemenangan simbolik bagi ratusan juta perempuan India yang hidup dalam diskriminasi," tulis Reuters. "Langkah bersejarah bagi perempuan (India)," ungkap AFP.
Penuh diskriminasi
India diperintah perempuan tahun 1966, saat Indira Gandhi menjadi perdana menteri. Meski demikian, perempuan India tetap saja hidup penuh diskriminasi. Masalah kekerasan terhadap perempuan berkenaan dengan urusan mahar kawin nyaris terjadi setiap hari di negara Asia Selatan itu. Di India perempuan diperkosa, dibunuh, dan mengalami tindak kekerasan rata-rata setiap tiga menit.
Anak perempuan acap kali dianggap sebagai beban dalam kehidupan kebanyakan keluarga karena mereka harus mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk mahar kawin kepada pihak keluarga pria. Mahar kawin yang kecil berbuntut pada aksi kekerasan yang bakal dihadapi perempuan tersebut di tengah keluarga suami.
Kondisi seperti itu membuat sebagian anak perempuan di India tak disekolahkan tinggi. Bahkan, mereka sering tak diupayakan mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.
Saat menjadi Gubernur Rajasthan, November 2004—dia gubernur perempuan pertama di Rajasthan—Patil mengampanyekan aksi untuk memperlakukan perempuan dengan lebih baik dalam berbagai kesempatan. Persoalan mahar kawin dan perempuan yang dianggap beban harus dikoreksi. Ia tak bosan menyampaikan semua ini saat berbicara di Rajasthan. Ia juga mendesak perlunya perempuan mendapat pendidikan memadai.
Begitu prihatinnya kepada kaum miskin, terutama perempuan, Patil pernah mendirikan bank untuk membantu perempuan miskin di Rajasthan. Namun, karena kredit macet, bank ditutup pada 2003. Oposisi menuding bukan kredit macet, tetapi uang itu dipakai Patil dan keluarga. Tuduhan ini muncul lagi saat kampanye presiden. Lepas dari kontroversi yang ada, upaya Patil jelas demi perbaikan kaum perempuan India.
Keprihatinan Patil itu juga dirasakan Sonia Gandhi, Ketua Partai Kongres yang berkuasa di India. Perempuan kelahiran Italia sekaligus menantu mendiang PM Indira Gandhi itu, meminta Patil bersedia menjadi kandidat presiden. Kebetulan Sonia dan Patil akrab, keduanya selama ini aktif dalam Partai Kongres. Patil pun seperti mendapat angin dan para politisi lain ikut mendukungnya.
"Ini momen khusus bagi perempuan, juga para pria. Untuk pertama kali di negeri ini tampil seorang perempuan presiden," ujar Sonia Gandhi seusai Patil dipastikan menang.
"Sebuah kebahagiaan. Ini momen bersejarah bagi kami," ujar Prithviraj Chavan, perempuan yang menjadi menteri muda di Kantor Perdana Menteri India.
Meski di belakangnya ada Sonia Gandhi yang karismatis, banyak pihak yakin tampilnya Patil sebagai Presiden India karena memang para pemilih melihat sudah saatnya perempuan India diperlakukan sebagai mitra sejajar kaum pria.
Sumber : Kompas, Senin, 23 Juli 2007
May 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment