Dunia Nano Nurul Taufiqu Rochman...
Oleh : Ahmad Arif
Bagi Nurul Taufiqu Rochman (37), segala zat bisa dikendalikan sesuai dengan kemauan jika kita benar-benar menginginkan. Baja dan beton bisa dibuat lebih kuat 100 kali dari biasanya, pasir uruk bisa diubah menjadi keramik tahan panas tinggi untuk semikonduktor yang bernilai 1.000 kali lipat dari sebelumnya, dan dari sehelai alumunium foil bisa dicipta bom.
Transformasi fungsi sesuai dengan keinginan kita tak ada hubungannya dengan magis. Namun, terkait dengan kemampuan mengontrol zat, material, dan sistem pada ukuran satu nanometer atau satu per miliar meter—skala ini seperti membandingkan ukuran kelereng terhadap Bumi—sehingga menghasilkan fungsi baru yang belum pernah ada sebelumnya. Teknologi untuk mengontrol material berskala nanometer ini dikenal sebagai nanoteknologi.
"Teknologi itu lompatan besar awal abad ini. Ibaratnya, dengan nanoteknologi, yakni menghaluskan partikel hingga berukuran nano, kita bisa berbuat apa saja. Bahkan, dunia baru bisa kita buat," ungkap Nurul, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia.
Dengan nanoteknologi, kekayaan alam menjadi tak berarti, kecuali kita bisa memberi nilai tambah. Arang yang diekspor ke Korea dan Jepang, misalnya, dengan nanoteknologi bisa dibuat menjadi alat semikonduktor untuk membuat komputer. Pasir zirkomia yang banyak di Kalimantan dan diekspor murah memiliki nilai tambah 1.000 kali lipat jika dijadikan partikel berskala nano. Zirkomia bisa menjadi bahan yang tahan terhadap panas tinggi.
Nanoteknologi juga berguna dalam pembuatan serat optik di dunia telekomunikasi, kaca tahan api, robot mungil yang mampu membunuh virus dan sel kanker dalam tubuh, telepon genggam, dan berbagai teknologi mutakhir.
"Negara yang menguasai nanoteknologi diyakini dapat memenangi persaingan global pada masa mendatang. Karena itu, semua negara berlomba menanamkan investasi di bidang ini. Belum terlambat kita terjun dalam teknologi ini karena perkembangannya baru dimulai pada tahun 1998. Masih banyak peluang yang bisa ditemukan," papar Nurul.
Transformasi
Sebagaimana prinsip dasar nanoteknologi untuk mengendalikan sifat material, Nurul juga gigih berusaha mengendalikan hidupnya. Setamat program doktor di Jepang, dia tak langsung pulang ke Indonesia. Dia mempelajari dulu kondisi LIPI— tempatnya harus kembali—dan melihat gaji yang sedemikian kecil, tak sampai Rp 1 juta per bulan.
"Padahal, saya tak ingin bekerja sambilan. Saya ingin fokus pada penelitian, tetapi juga tak mau konyol," tutur Nurul, yang menolak tawaran sejumlah universitas untuk menjadi dosen tamu.
Ia lalu memutuskan bekerja dulu di Pusat Penelitian Daerah Kagoshima, Jepang, guna mengumpulkan modal sekaligus membina jaringan. Statusnya waktu itu pegawai negeri pusat Jepang yang ditempatkan di Kagoshima, daerah yang memiliki 5.000 industri kecil dan menengah. Tugasnya sebagai konsultan atas permasalahan dunia industri Kagoshima.
"Saya hitung, sebagai peneliti nanoteknologi di Indonesia, kemungkinan baru bisa eksis pada tahun kelima. Jika dalam satu tahun butuh Rp 24 juta uang tambahan untuk keluarga, dalam lima tahun perlu Rp 120 juta. Saya harus bekerja di Jepang minimal tiga tahun," ungkap Nurul yang waktu itu digaji sekitar Rp 30 juta.
Selama bekerja di Kagoshima prestasinya dinilai mencengangkan. Dia menemukan cara membersihkan logam berat timbal (Pb) dari kuningan dengan nanoteknologi. Dengan temuan ini, Nurul bisa membuat jutaan meter limbah kuningan di Jepang menjadi bernilai tinggi. Temuan ini dipatenkan, dengan nama Nurul tercantum sebagai penemu utama, membawahi dua profesor dan empat anggota peneliti lain.
"Saya tak dapat royalti dari paten karena waktu itu tak mampu membayar biaya pengurusannya. Paten ini dimiliki Pemerintah Jepang dan industri yang mensponsori. Namun, nama saya dicantumkan sebagai penemu," ujarnya.
Di Jepang, temuan-temuan Nurul diapresiasi sangat baik. Tawaran menetap dan menjadi pegawai dengan iming-iming gaji jauh lebih besar terus diterimanya, tetapi dia memilih pulang.
"Saya masih orang Jawa, orang Indonesia, jadi harus pulang. Ketika masih di Jepang, kalau mengingat kondisi Indonesia saya menangis, di mana-mana diremehkan. Saya ingin melakukan yang terbaik di kampung halaman."
Menghadapi keterbatasan dukungan dana dan fasilitas penelitian setiba di Indonesia, Nurul tetap berkarya. "Pertama saya kembali dari Jepang hanya punya meja dan kursi. Tak ada satu alat pun untuk mendukung penelitian nanoteknologi, juga belum ada laboratorium dan peneliti lain yang mendalami nano," katanya.
Ia terus bekerja dan memanfaatkan jaringan di Jepang untuk mengembangkan penelitian nanoteknologi di Indonesia. Ketiadaan alat pembuat partikel berskala nano (sepermiliar meter) di tempat bekerja tak menghentikan langkahnya. Dia mencipta alat sendiri dengan semua komponen dibeli di Glodok, Jakarta. Ia berhasil menciptakan dua spesifikasi alat pembuat partikel nano. Kedua temuan ini sudah dipatenkan.
Dia juga membentuk tim nanoteknologi di LIPI. Direkrutnya orang-orang muda yang baru lulus sarjana dari berbagai universitas di Indonesia. Seorang anggota tim, Agus Sukarto, disekolahkan di Universitas Kaghoshima, tempatnya dulu belajar.
"Kita belum punya alat untuk mengarakterisasi partikel nano. Selain belajar, Agus juga mendapat tugas mengarakterisasi material yang telah kami hancurkan hingga skala nano di laboratorium di Kagoshima," ujarnya.
Tiap hari Nurul dan sembilan anggota tim berada di kantor pukul 08.00 hingga 22.00. Hari Minggu pun mereka sering datang ke laboratorium. Bahkan, beberapa anggota tim tidur di laboratorium. Hasilnya, selama Januari hingga Juni 2007 tim ini sudah mematenkan dua temuan, memublikasikan 20 karya ilmiah skala nasional dan dua untuk jurnal internasional.
Tak hanya menghidupkan laboratorium nanoteknologi di LIPI, dia pun berusaha membangkitkan nanoteknologi di Indonesia. Ia mendirikan Masyarakat Nanoteknologi Indonesia dan menggandeng universitas, lembaga penelitian, hingga Departemen Pendidikan Nasional untuk mengembangkan nanoteknologi.
Ia juga menciptakan Nano- Edu, paket pengajaran nanoteknologi untuk pelajar, berisi buku dan alat peraga. "Kita harus mengenalkan nanoteknologi kepada anak-anak sejak dini. Alat peraga Nano-Edu sudah dibeli Jepang untuk menunjang pendidikan di sana, tetapi di Indonesia belum dipakai," kata Nurul yang mematenkan temuan ini pada tahun 2006.
Akan tetapi, kepuasan sebenarnya yang dialami Nurul adalah saat berkeliling ke industri-industri kecil di Indonesia dan membantu menyelesaikan permasalahan riil yang dihadapi.
Riwayat
Tahun 1989 Dr Nurul Taufiqu Rochman MEng menamatkan SMA di Lawang, Malang.
Ia melanjutkan pendidikan S-1 di Teknik Industri ITB sampai September 1990 (tak selesai) sebab mendapat beasiswa belajar di Jepang.
Pendidikan sarjana diselesaikannya di Fakultas Teknik Universitas Kagoshima dengan predikat terbaik. Pendidikan master, doktor, dan post-doktor diselesaikan di universitas sama sambil menjadi asisten.
Suami Dr Etik Mardiyati MEng ini memperoleh delapan hak paten atas temuannya, menulis 40 publikasi ilmiah di jurnal internasional dan 43 publikasi di jurnal nasional. Sejumlah penghargaan diperolehnya, seperti Adhidarma dari Persatuan Insinyur Indonesia pada 2005 dan Peneliti Muda LIPI terbaik tahun 2004.
Nurul juga memperoleh penghargaan Fuji-Sankei dari Sankei News Paper Company, Japan Foreign Ministry, dan Higashi Nihon House Company sebagai peneliti terbaik di Jepang pada 1995. Pada tahun yang sama ia mendapat Hatakeyama Award, penghargaan dari The Japan Society for Mechanical Engineering (JSME) sebagai mahasiswa terbaik di Fakultas Teknik Mesin Universitas Kagoshima.
Ayah lima anak—Umar Al Faruqi (10), Rumaisho (8), Assyafa (6), Usman (4), dan Fatih (20 bulan)—ini salah satu dari lima peneliti muda Indonesia yang hadir di Lindau, Jerman, sebagai wakil Indonesia pada The 55th Nobel Laureates Meeting tahun 2005.
Sejak 1998 hingga kini ia menjadi peneliti di Pusat Penelitian Fisika, LIPI.
Sumber : Kompas, Jumat, 6 Juli 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment