Mahmudin, Karang Hias dari Kepulauan Seribu
Oleh : R Adhi Kusumaputra
Dia tak takut untuk berubah. Pria yang awalnya bercita-cita menjadi guru ini harus bertahan hidup sebagai nelayan selama puluhan tahun. Kini, Mahmudin berhasil menjadi pengusaha karang hias dari Kepulauan Seribu yang beromzet jutaan rupiah per bulan.
Pria kelahiran Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, yang kini berusia 45 tahun itu memulai budidaya karang hias sekitar awal tahun 2003. Mahmudin yang suka belajar dan mengajar ini tak ragu mencoba pengetahuan yang didapatnya dari Kepala Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu atau BTNLKpS Sumarto.
"Pak Sumarto mengajarkan kami, nelayan di sini, untuk mencoba melakukan transplantasi karang hias," kata Mahmudin. Dia termasuk nelayan yang rajin mencoba pengetahuan baru dari 108 nelayan yang dibina Kepala BTNLKpS waktu itu.
Mereka terbagi dalam 18 kelompok masyarakat nelayan, yang kemudian beralih melakukan budidaya karang hias. Dengan melakukan budidaya karang hias, nelayan tak melulu menyandarkan penghasilan mereka dari hasil laut, tetapi mendapat tambahan dengan usaha karang hias.
Di sisi lain, budidaya karang hias yang mereka lakukan juga merupakan upaya membangun konservasi sumber daya alam laut, memulihkan lingkungan, serta memperbaiki kondisi terumbu karang. Kelebihan Mahmudin lainnya adalah kejujuran dan rasa tanggung jawabnya.
"Bapak angkat yang memberinya modal jadi senang karena dia jujur, mau belajar manajemen, teknologi, dan pengetahuan tentang pasar. Dia kayaknya pantang putus asa, juga jeli melihat peluang pemasaran," kata Sumarto tentang Mahmudin.
Keberhasilan Mahmudin menjalankan usaha karang hias juga telah menjadi "promosi" bagi warga lain di Kepulauan Seribu. Kabar sukses dia yang menyebar dari mulut ke mulut membuat warga lain tak ragu untuk mencontohnya membudidayakan karang hias.
Padahal, cerita Mahmudin, dia memulai usaha karang hias dengan modal beberapa ribu rupiah saja. Modalnya bisa dikatakan hanya semen dan paralon.
Kini, dia bisa menjual karang hias hasil budidaya tersebut seharga mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 67.000. Menurut dia, tak kurang dari 114 jenis karang hias yang sudah berhasil dibudidayakan.
Penghasilan meningkat
Sejak budidaya karang hias dikembangkan di Kepulauan Seribu, bisa dikatakan penghasilan warga yang melakukan budidaya itu meningkat. Sebagai perbandingan, sebelumnya warga yang semula langsung mengambil karang hias dari bawah laut hanya memperoleh sekitar Rp 1 juta per bulan.
Namun, dengan budidaya karang hias yang dilakukan di daratan, penghasilan mereka bisa meningkat pesat. Mahmudin, misalnya, bisa berpenghasilan sampai jutaan rupiah per bulan. Ini antara lain karena konsumen pun lebih menghargai karang hias dari hasil budidaya.
Tak hanya penghasilannya yang meningkat, Mahmudin juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi warga sekitar tempat tinggalnya. Dari awalnya hanya mengerjakan sendiri budidaya karang hias, kini dia bisa mempekerjakan 21 orang.
"Ada delapan orang yang mengerjakan budidaya karang hias di Pulau Pramuka, tujuh orang di Pulau Panggang, dan enam orang lainnya di Pulau Karya," tutur Mahmudin.
Kebutuhan ekonomi
Mahmudin bercerita, dia sebenarnya bercita-cita menjadi guru. Karena itu, dia memilih belajar di sebuah pondok pesantren di Jawa Tengah. Dia lalu melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Situ Gintung, Balaraja, Tangerang, Banten.
"Selepas dari pesantren, saya merasa punya kewajiban untuk mengajar. Saya ingin membagi pengetahuan yang saya miliki. Saya memilih kembali ke Pulau Pramuka," ujarnya.
Akan tetapi, desakan kebutuhan ekonomi membuat Mahmudin tak dapat hanya mengandalkan penghasilan dari mengajar. Dia lalu melakukan hal yang juga dikerjakan warga pulau lainnya, yakni mencari karang hias di laut dan menjualnya ke pasar meski diakui ini pun hasilnya tidak seberapa.
Ketika itu, meski hal itu merusak lingkungan, seperti warga Kepulauan Seribu pada umumnya, mereka tak menyadari hal itu. Kalaupun sebagian ada yang tahu, umumnya beralasan karena tak ada penghasilan lain demi mempertahankan hidup.
"Makanya, saya bersyukur sekali bisa mendapat ilmu budidaya karang hias dari Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu," ujar Mahmudin.
Ia mengaku tak langsung meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan untuk menekuni budidaya karang hias. Bedanya, nelayan yang sudah mendapat pengetahuan tentang budidaya karang hias biasanya tak lagi "semena-mena" ketika mencari ikan tangkapan.
"Kami jadi lebih berhati-hati kalau lagi menyelam. Kami berusaha tidak menginjak atau menyentuh terumbu karang. Alasannya, kata Pak Sumarto, menyentuh terumbu karang itu saja bisa merusak habitat," ujar Mahmudin.
Segi positif usaha budidaya karang hias ini adalah mampu mengalihkan kebiasaan buruk nelayan. Semula, mereka merusak habitat terumbu karang dan menjual karang hias ke pasar, kini mereka sudah mengandalkan hasil budidaya.
Ketekunan dan kejujuran Mahmudin mulai membuahkan hasil. Selama bertahun-tahun sebelumnya dia hanya mampu tinggal di rumah kontrakan di Pulau Pramuka. Kini, dari hasil budidaya karang hias tersebut dia bisa membeli tanah seluas sekitar 180 meter persegi.
"Ah, jangan dibilang saya sudah berhasil. Masih jauh...," ucap Mahmudin merendah. Katanya, tanah itu dibelinya dengan harga sekitar Rp 26 juta. "Buat saya, itu jumlah uang yang tidak sedikit ya," kata Mahmudin menambahkan.
Meski dia telah "berhasil" menjadi pengusaha budidaya karang hias, Mahmudin tetap melaut. "Mungkin memang karena punya darah nelayan, jadi kalau tidak melaut rasanya kurang lengkap," ujar pria yang kini melaut hanya sebagai pengisi waktu itu.
Bagaimanapun, dari hasil ketekunannya berbudidaya karang hias, Mahmudin bisa mempunyai usaha sendiri, bahkan dia mampu memberi lapangan kerja bagi 21 orang lain.
BIODATA
Nama: Mahmudin
Lahir: Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, tahun 1962
Pendidikan:
- Pondok Pesantren di Jawa Tengah
- Pondok Pesantren Situ Gintung, Balaraja, Tangerang
Istri: Rubi’ah (36)
Anak:
1. Choirul Umam (8)
2. Nur Asinah (6)
Sumber : Kompas, Jumat, 13 Juli 2007
May 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment