May 31, 2009

Ki Agus Wirawan Rusdi : Wirawan Menyelamatkan Wayang Palembang

Wirawan Menyelamatkan Wayang Palembang
Oleh : Boni Dwi Pramudyanto dan Ardus M Sawega

"Kalo dak katik bantuan Sultan Iskandar dan UNESCO, mengkali kitoni sudah main wayang palembang dak bebaju dan beralat (Kalau tak mendapatkan bantuan dari Sultan Iskandar dan UNESCO, barangkali kami bermain wayang palembang tanpa baju dan peralatan)."

Kalimat bernada sindiran itu diucapkan Ki Agus Wirawan Rusdi (34) saat adegan gara-gara yang menampilkan Petruk dan Gareng dalam pementasan wayang palembang, menyambut Sidang I Asosiasi Wayang ASEAN, di depan rumah wali kota Palembang, 7 September lalu.

Banyak celetukan improvisasi yang dilontarkan Wirawan saat menggelar lakon berjudul Pendita Cakromayo, sebuah cerita carangan yang mengacu pada epos Bharatayuda. Pementasan wayang palembang dalam bahasa Palembang tergolong langka. Wirawan bersama Sanggar Wayang Sri Palembang adalah kelompok wayang kulit palembang yang tercatat masih aktif.

"Barangkali Sanggar Sri Palembang satu-satunya kelompok kesenian wayang (palembang) yang masih ada," tutur Wirawan, Kamis (13/9).

Saat ditemui di rumahnya, di tengah perkampungan padat Kelurahan Tangga Buntung, Lorong Cek Ipah, sekitar 200 meter dari terminal bus dan Pasar Tangga Buntung, siang itu, sikap dan pembawaan Wirawan berlawanan dengan penampilannya di panggung pertunjukan. Sikapnya yang pendiam dan terkesan murung berbeda dengan kemampuannya berimprovisasi (sekalipun sebagian membaca teks), humornya cerdas dan vokalnya lantang saat mendalang.

Sempat mengenyam pendidikan SMA, Wirawan mengaku terjun menjadi dalang wayang berkat "bujukan" pamannya, Amiruddin. Pamannya bersemangat menghidupkan kembali wayang palembang dan melakukan regenerasi dalang, semenjak ayah Wirawan, Ki Agus Rusdi Rosyid, meninggal tahun 2002.

Almarhum kakek Wirawan, Ki Agus Rosyid bin Abdul Roni, adalah dalang wayang palembang kondang pada era 1960-an. Kakeknya beberapa kali diminta mendalang di Jakarta, antara lain di Taman Ismail Marzuki, Taman Mini Indonesia Indah, dan Istana Presiden tahun 1978.

"Sebenarnya, selulus SMA tahun 1992 saya berniat mencari kerja. Namun, tak segera dapat, lalu pakcik (paman) minta saya meneruskan pekerjaan ayah almarhum sebagai dalang," ujarWirawan, anak pertama Rusdi dari sembilan bersaudara.

Seperti di Jawa, untuk urusan dalang, di Palembang juga dikenal sistem trah (keturunan). Wirawan ditunjuk Amiruddin karena dianggap sebagai ahli waris dalam kesenian yang mulai langka ini. Sebelum ayahnya meninggal dunia, Wirawan belum intensif menekuni wayang meski sejak usia sembilan tahun ia sering menemani ayahnya mendalang. Dari sinilah tradisi mendalang itu terwariskan.

Tidur lama

Setelah ayah Wirawan meninggal, generasi dalang wayang palembang sempat terputus sekitar 10 tahun. Dalang wayang palembang seangkatan Rusdi Rosyid, yakni Ki Syukri Ahkab, memilih berhenti mendalang karena harus pindah bekerja di RRI Semarang. Nasib wayang palembang pun di ambang kepunahan.

"Wayang palembang sempat tidur lama. Setelah itu, ada semacam panggilan hati sangat kuat yang mengajak saya untuk melestarikan wayang palembang," ujar Wirawan.

Pada 2001, Wirawan mulai melirik kotak berisi seperangkat perlengkapan wayang kulit yang diwariskan almarhum kakek dan ayahnya. Sayangnya, banyak tokoh wayang yang sudah rusak karena faktor usia. Dengan perlengkapan terbatas, dan dukungan Amiruddin, Wirawan pun berlatih mendalang. Amiruddin merekrut anak-anak muda yang masih terhitung kerabat dan anak kampung setempat untuk menjadi penabuh gamelan.

Tak mudah bagi Wirawan menjadi dalang wayang. Boleh dikata ia memulai dari nol, selain langkanya sumber pembelajaran untuk wayang palembang. Tak ada dalang senior yang bisa jadi narasumber, tak ada buku penuntun, juga tak ada bahan tertulis yang berisi lakon-lakon khas wayang palembang.

Beruntung Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) mengiriminya kaset-kaset rekaman wayang palembang. Lewat kaset tersebut, ia bersama kelompoknya belajar mendalang; selain belajar gending-gending pengiring. Pepadi pula yang membantu Wirawan mengenai cara mendalang, misalnya soal sabet atau teknik memainkan wayang kulit, dengan mendatangkan seorang dalang dari Jawa.

"Saya menemui beberapa kesulitan saat harus melatih suara (tokoh) laki-laki dan perempuan, menghafalkan cerita lakon, membuat improvisasi humor yang menarik dan sesuai situasi, serta melatih sabet," ungkap Wirawan yang sempat berputra dua orang, tetapi keduanya meninggal akibat diare dan demam berdarah.

Setelah belajar sekitar tiga tahun, ia menyimpulkan, dalang harus mampu menghidupkan pementasan sehingga penonton "terhanyut". Hidup-tidaknya pementasan sangat ditentukan kepiawaian dalang memainkan semua aspek pementasan.

Wirawan mengaku terharu atas dukungan moral maupun material yang diberikan Sultan Iskandar, keturunan terakhir Kesultanan Palembang, serta Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) melalui Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi). Sultan Iskandar mengucurkan bantuan sebesar Rp 10 juta, sedangkan dari UNESCO Wirawan dan sanggarnya menerima sumbangan sekotak wayang kulit serta seperangkat gamelan dan sejak tahun 2005 mendapat bantuan uang Rp 500.000 per bulan.

Akan tetapi, impian Wirawan untuk mengembangkan wayang palembang masih menghadapi kendala, di antaranya kian lunturnya minat masyarakat terhadap seni tradisi dan minimnya dukungan pemerintah setempat terhadap wayang palembang.

"Dalam hajatan, masyarakat lebih memilih hiburan populer, misalnya organ tunggal, daripada mengundang wayang palembang. Padahal, wayang merupakan hiburan yang punya nilai seni serta ajaran moral yang bisa diteladani," ungkapnya.

Kondisi riil yang dihadapi kesenian wayang palembang ini menyebabkan Wirawan tak bisa menggantungkan hidup dari profesi sebagai dalang. Untuk bertahan hidup, Wirawan dan istrinya, Yosi Epiyanti, sehari-hari berdagang kelontong serta membuat manisan.

Dia adalah contoh seniman yang ingin menyelamatkan kesenian tradisi dari kepunahan, dengan segala keterbatasan daya sekaligus kerentanan saat harus menghadapi berbagai perubahan sosial. Jika tak ada gayung bersambut dari pemerintah dan masyarakat Palembang, hampir bisa dipastikan wayang palembang akan tidur selamanya.

Andai Ada Sindennya…

Menurut Dalyono, pemerhati seni dan budaya Palembang, wayang kulit palembang berkembang karena pengaruh wayang kulit jawa, yang diperkirakan sejak awal abad ke-20. Saat itu wayang kulit purwa gaya Solo dan Cirebon dipentaskan sebagai hiburan di kalangan pejabat di Palembang. Wayang kulit purwa ini berakulturasi lalu mengambil bentuknya sendiri.

Semula, wayang palembang dimainkan dalam bahasa campuran, Jawa dan Melayu. Lalu, mulai 1900-an menggunakan bahasa Palembang. Selain bahasa, sejumlah perubahan lainnya juga dilakukan terhadap wayang palembang. Wayang ini mengalami masa kejayaan antara 1960-1980-an. Pada masa ini hidup beberapa dalang terkenal, yakni Wak Rohim dan Ki Agus Rosyid.

Ada beberapa tokoh dan lakon di wayang palembang yang berbeda dengan wayang purwa di Jawa. Lakon wayang palembang, antara lain, adalah Pendita Cakromayo, Prabu Indropuro, Prabu Bantarangin, dan Suryadadari.

Tokoh-tokoh wayang palembang punya ciri khas, yaitu selalu dimainkan urut dari kelas raja, bangsawan, baru tokoh awam pada pertengahan cerita. Filosofinya, setiap pemimpin harus berjalan lurus di depan rakyat dan bisa menjadi panutan.

Dukungan konkret Senawangi untuk melestarikan wayang palembang dimulai setelah wayang Indonesia ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia tahun 2004. Dukungan UNESCO untuk sanggar Sri Palembang berupa 40 wayang dan seperangkat gamelan, meliputi saron, gong, gendang, keprak, kempul, dan gambang kayu.

Hanya, ada yang kurang dari pementasan wayang palembang, yaitu tidak ada pesinden, vokalis yang biasanya mengiringi musik karawitan seperti di Jawa. "Wah, kalau ada sindennya, akan lebih asyik ya," ujar Wirawan.

Sumber : Kompas, Selasa, 18 September 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks