Oleh : Reny Sri Ayu Taslim
Awalnya, I Wayan Mertha tidak berpikir muluk-muluk saat menanam berbagai jenis bibit pohon di antara tanaman kakaonya di Desa Balinggi, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, sekitar 120 kilometer arah timur Palu, pada tahun 2000.
Tanaman kakao harus dilindungi dengan tanaman lebih besar dan rimbun demi mendapatkan buah-buah yang bagus,” cerita Wayan Mertha mengenai pemikiran sederhananya waktu itu.
Selain itu, ia juga berharap, tanaman pelindung tersebut suatu saat bisa dipanen dan menghasilkan uang. Di sisi lain, untuk lingkungan sekitarnya, tanaman pelindung juga dapat berfungsi menguatkan tanah dan menyerap air.
Maka, Wayan Mertha pun menanam berbagai jenis tanaman berakar kuat, berdaun rimbun, dan berbatang besar di antara tanaman kakao. Bibitnya dia pungut di hutan sekitar kebunnya. Pembibitan dia lakukan sendiri hingga menjadi anakan pohon siap tanam.
”Saat itu, banyak yang mencemooh dan menertawakan apa yang saya lakukan. Kata mereka, ngapain tanam pohon, enggak ada untungnya, enggak bisa jadi uang. Lagi pula, orang-orang pada menebang pohon, saya malah menanam pohon,” tutur Wayan Mertha.
Dicemooh, dia bergeming. Dengan tekun, ia terus menanam bibit pohon, seperti meranti, palupi, nantu, dan durian. Khusus pohon durian, Wayan tidak menanam untuk mengambil buahnya, tetapi lebih memanfaatkan batang kayunya.
Suami Ni Wayan Aryani ini tak peduli bahwa penanaman pohon itu mengakibatkan tanaman kakao miliknya jadi tak sebanyak di kebun orang lain yang memenuhi kebunnya hanya dengan tanaman kakao. Namun, kebun sekaligus hutan kecil Wayan Mertha itu terus bertambah sedikit demi sedikit karena ia membeli lahan terbengkalai di sekitar kebunnya. Luas kebunnya pun mencapai 17 hektar.
Ketekunan Wayan kemudian mulai membuka mata warga sekitarnya, terutama para pemilik kebun. Sebab, pohon kakao di kebun Wayan ternyata tumbuh lebih subur dan berbuah lebih bagus dibandingkan kakao di kebun milik petani lainnya. Selain itu, tanah di kebunnya juga menjadi lebih subur. Sumber airnya pun tak pernah kering pada musim kemarau sekalipun.
”Warga lain lalu mulai ikut menanam pohon di antara tanaman kakaonya, atau menebang tanaman kakao yang sudah tua dan menggantinya dengan tanaman pohon. Bibitnya mereka ambil gratis dari saya. Memang, hampir sepanjang waktu saya terus melakukan pembibitan dan memberikan kepada siapa saja yang mau,” katanya.
Industri kayu
Mata warga sekitar betul-betul terbuka, bahkan tidak sedikit yang terenyak ketika, Agustus lalu, Wayan Mertha memanen tanaman pohon yang sudah berumur dari lahan sekitar satu hektar. Kayu dari hutan miliknya itu dijual dengan harga ”lumayan”. Bahkan, ia bisa membuat industri kayu kecil-kecilan untuk mengolah kayu dari hutannya tersebut.
”Tetapi, saya tidak memanen pohon dengan begitu saja. Jauh sebelum saya panen, saya sudah menanam anakan pohon di sejumlah luas areal, atau batang yang saya panen. Jadi, lahannya tidak akan kosong. Lagi pula, pola penanamannya saya atur juga agar panen tidak serentak, melainkan bergiliran sesuai usia pohon dan besarnya anakan yang ditanam,” ceritanya.
Wayan Mertha sejauh ini sudah terbilang berhasil memadukan bisnis dan penghijauan, dengan mengawinkan kebun dan hutan. Dari sisi penghijauan, lahan kosong yang semula telantar kini sudah penuh tanaman dan menjelma menjadi hutan.
Dari sisi bisnis, kayu yang ditanamnya pun menghasilkan uang. Bahkan seperti virus, apa yang dilakukan Wayan mulai menjalar kepada para pemilik kebun lainnya. Di sekitar kebunnya saja sudah ada 50-an petani yang mengikuti jejaknya.
Mukramin, Kepala Dinas Kehutanan Parigi Moutong, bahkan mengakui, konsep bisnis dan penghijauan yang dilakukan Wayan Mertha dijadikan percontohan oleh dinas kehutanan untuk disosialisasikan kepada para pemilik kebun yang lain.
”Masyarakat sudah mulai mengikuti apa yang dilakukan Wayan. Dampaknya, selain menjaga kesuburan tanah dan terpeliharanya sumber air, warga juga sedikit demi sedikit mulai sadar agar tidak menebang hutan sembarangan. Mereka sadar pada pentingnya fungsi tanaman pelindung, sekaligus melihat tanaman pelindung sebagai investasi jangka panjang,” tutur Mukramin.
Manja dan seenak hati
Wayan Mertha adalah lelaki sederhana yang hanya tamat sekolah dasar. Sebagai anak tunggal diakuinya membuat dia menjadi manja dan berlaku seenak hati, termasuk tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Masa muda lebih banyak dia habiskan dengan bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Keinginannya merantau keluar dari Bali, kendati pada awalnya ditentang orangtuanya, membawa Wayan ke Parigi Moutong pada tahun 1976. Saat itu ia sekadar mengikuti beberapa temannya yang sudah terlebih dahulu pergi ke Parigi.
Tanpa bekal keterampilan dan pendidikan memadai, Wayan Mertha bertahan hidup dengan menjadi kenek. Hidup jauh dari orangtua dan sanak keluarga membuat dia sadar harus menata sendiri kehidupannya, dan tidak bergantung kepada orang lain. Terlebih saat ia memutuskan menikahi Ni Wayan Aryani pada 1982.
Pendapatan jadi kenek dan buruh kasar sebagian dia tabung, dan digunakan untuk membeli sebidang sawah. Penghasilan dari sawah itu dia kumpulkan pula guna membuka usaha warung kecil-kecilan.
Seiring berjalannya waktu, Wayan Mertha lalu membeli lahan kebun untuk bertanam kakao. Lahan yang semula cuma sepetak terus bertambah. Dia kemudian mulai menanam pohon pada tahun 2000.
Pengetahuannya mengenai penanaman pohon, antara lain, diperoleh saat masih tinggal di Bali. Wayan bercerita, tempat tinggalnya di Bali berada di tepi hutan sehingga dia mengenal jenis-jenis pohon, termasuk bagaimana pemeliharaannya.
Belakangan, Wayan Mertha juga melakukan berbagai eksperimen menanam pohon dengan menggunakan batang pohon, bukan bibit.
Kalau semula menanam pohon sekadar melindungi tanaman kakaonya, kini Wayan Mertha terobsesi menghijaukan lahan gersang. Setidaknya hal ini sudah dia mulai dengan membeli 17 hektar lahan kosong di Kayumalue, Palu. Lahan ini akan dia tanami berbagai jenis pohon. Penanaman dilakukan pada November ini, bersamaan dengan datangnya musim hujan.
”Menanam pohon itu mudah, yang penting bibitnya bagus, anakan yang ditanam sudah cukup umur, dan waktu penanamannya tepat. Kalau akarnya sudah cukup kuat, dibiarkan saja juga tidak jadi soal karena pohon akan tumbuh alami. Setelah itu kita tinggal menikmati hasilnya, baik dampaknya pada lingkungan, maupun sebagai tambahan penghasilan,” tutur Wayan Mertha bersemangat.
Sumber : Kompas, Selasa, 18 November 2008
0 comments:
Post a Comment