Nisro, Melestarikan Salak Menambah Penghasilan
Oleh : Winarto Herusansono
Memasuki jalan setapak di Dusun Kalimendong, Wonosobo, Jawa Tengah, orang harus berhati-hati. Sepanjang kanan kiri tepi jalan selebar 1,5 meter itu penuh dengan pohon salak setinggi sekitar 2 meter. Bila tak hati-hati, badan bisa tergores duri salak yang runcing. Ratusan pohon salak itu juga tumbuh lebat di bawah tegakan pohon pinus dan pohon albasia.
Ini tumpang sari pertama di Jawa Tengah, menanam pohon salak di bawah tegakan pinus. Ketika berumur empat tahun, pohon salak bisa berbuah. Panen pertama mematahkan mitos salak tak bisa tumbuh baik di bawah pohon pinus,” kata Nisro, Ketua Masyarakat Hutan Rimba Mulyo di Kalimendong, Kecamatan Leksono, Wonosobo.
Berkat tumpang sari pula, salak mengantarkan Nisro menjadi juara tingkat nasional kategori kepala desa penggerak pembangunan kehutanan. Alhasil, pada 6 Desember 2006, Nisro yang juga Kepala Desa Kalimendong menerima penghargaan sebagai penggerak pembangunan kehutanan dari Menteri Kehutanan.
Prestasinya itu juga mengantarkan Kelompok Tani Hutan Rakyat Sido Makmur di Desa Kalimendong menyabet juara nasional kategori kelompok tani hutan yang berprestasi pada 2006. Atas prestasinya itu, pria lulusan SMA ini kerap diminta menjadi penyuluh.
”Mengajak warga desa melestarikan hutan itu harus dengan semangat berbagi. Selain agar hutan tetap lestari, masyarakat juga bisa hidup dengan penghasilan layak. Tanpa penghasilan, sehebat apa pun hutan dijaga, tetap akan dijarah,” kata Nisro.
Pendataan tanaman salak pada 2008 mencapai 36.000 pohon dan hampir 60 persennya telah panen. Upaya menambah jumlah pohon salak dia lakukan melalui pembibitan sendiri.
Pilihan pada salak sebagai penopang kehidupan masyarakat tak salah sebab pohon salak berbuah sepanjang tahun dengan masa subur sampai 10 tahun. Rata-rata umur pohon salak di Kalimendong adalah 4-5 tahun, berarti masih cukup waktu untuk mengganti salak tua dengan pohon baru.
Rumadi, petani salak yang menemani Nisro, menambahkan, salak memberi penghasilan Rp 12.500 per pohon sehari. Setiap petani memiliki 25-50 pohon salak. ”Kami perkirakan pada 2009 akan ada penambahan pohon salak baru sekitar 1.000 pohon,” katanya.
Mencegah pembalakan
Tekad Nisro mengajak warga Kalimendong mengembangkan tanaman salak di pekarangan, kebun, ladang, dan kawasan hutan rakyat bercermin dari kerusakan hutan di desa-desa tetangga. Krisis moneter 1998 berimbas sampai desa yang berbatasan dengan hutan.
Hutan rakyat dan hutan produksi milik Perhutani dijarah masyarakat. Lahan kosong digarap untuk pertanian, tetapi tak sedikit pula yang dibiarkan menjadi lahan kritis.
”Ketika terjadi penjarahan hutan, syukurlah hutan di Kalimendong selamat. Itu berkat kesigapan warga yang turut menjaga hutan dari pembalakan pihak luar,” katanya.
Ketika pembalakan terjadi, ia baru setahun menjadi Kepala Desa Kalimendong. Ia berusaha membangkitkan kesadaran warga akan pentingnya menjaga hutan. Kuncinya, hutan harus dikelola bersama dan memberi hasil bagi warga.
”Melestarikan hutan tak bisa hanya dengan menanam pohon. Kalau pohon yang ditanam tak dirasakan hasilnya, warga tetap miskin. Hutan juga harus berfungsi sosial-ekonomi,” kata Nisro.
Ia menyadari, tanaman salak bisa berfungsi ganda, melestarikan hutan, dan meningkatkan pendapatan warga desa. Saat itu, banyak lahan di hutan produksi milik Perhutani yang bisa dimanfaatkan untuk perluasan tanaman salak. Pilihannya tak salah, salak telah memicu warga untuk bahu-membahu menjaga kelestarian hutan. Hingga kini, kawasan hutan di Kecamatan Leksono, termasuk Desa Kalimendong, tetap asri.
Di lahan hutan produktif seluas 69 hektar milik Perhutani, pohon-pohon pinus masih utuh. Nisro selaku Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) mengajukan izin menanam salak di bawah tegakan pinus di dua petak, seluas 19 hektar. Di lahan itu ditanam 16.000 pohon salak dari target 24.000 pohon.
Ia juga mendukung kelompok tani hutan Sido Mulyo yang anggotanya pesanggem (petani hutan) untuk menanam albasia di bawah tegakan pinus. Sudah 16.623 pohon yang ditanam. Tanaman albasia itu memberi tambahan penghasilan bagi 510 anggota pesanggem.
Cara penanaman seperti itu membuat setiap petani memperoleh tambahan penghasilan sekitar Rp 6 juta setahun. ”Setiap penambahan penghasilan dari pengelolaan hutan bersama warga itu semakin meyakinkan saya bahwa jika penduduk makmur, hutan akan lestari,” katanya.
Menuju desa wisata
Setelah 10 tahun memperjuangkan kelestarian hutan melalui pengembangan salak dan albasia, Nisro berharap desanya kelak menjadi desa wisata. Kalimendong berada di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut, berhawa sejuk, dan terletak sekitar 16 km arah barat Kota Wonosobo.
Penduduk desa yang berjumlah 3.308 jiwa (713 keluarga), kata Nisro, berhasil memecahkan problem pemanfaatan hutan untuk masyarakat setempat.
Salak dan albasia telah mengantarkan warga memperoleh penghasilan lebih. Dibandingkan dengan saat masih bertani jagung dan cengkeh, penghasilan warga Kalimendong belakangan ini jauh lebih baik. ”Virus” menanam pohon salak telah menyebar di 14 desa di dua kecamatan terdekat, yakni Leksono dan Sukoharjo.
Tak hanya pesanggem yang menikmati salak dan albasia, hasil panen pun dirancang bersistem bagi hasil dengan Perhutani. Dari tiap pohon salak, petani menyumbang Rp 1.000. Rinciannya, Rp 800 untuk Perhutani dan Rp 200 untuk kas LMDH per tahun. Sementara itu, sumbangan albasia, 40 persen untuk Perhutani, 20 persen bagi LMDH, dan pesanggem mendapat 40 persen.
Meski sudah menunjukkan kepedulian terhadap kelestarian hutan, Nisro belum puas. Keasrian desa dan hasil panen salak yang melimpah ingin dia bagi dengan para tamu yang datang ke desa di lereng Gunung Sumbing ini.
”Kalau orang mengunjungi desa ini, saya ingin tak hanya untuk studi banding, tetapi juga piknik menikmati hutan yang asri, sejuknya hawa desa, sambil makan salak,” tutur Nisro.
Untuk itu, ia menyiapkan satu dari tiga rencana gardu pandang agar pengunjung leluasa menikmati pemandangan pegunungan. Satu gardu pandang itu telah dimanfaatkan pencinta alam dan petugas Perhutani bila hendak bertemu pesanggem.
Nisro juga merintis peternakan kambing ettawa dan kambing lokal. Ternak kambing itu mencapai lebih dari 1.800 ekor. ”Di desa ini banyak tanaman kaliandra yang bisa menjadi pangan ternak. Ini juga bisa menambah penghasilan warga desa,” kata Nisro, sosok yang seolah tak pernah kehabisan ide kreatif ini.
Sumber : Kompas, Selasa, 23 Desember 2008
0 comments:
Post a Comment