Fina dan Bibit Sapi Perah Unggul
Oleh : Hermas E Prabowo
Fina Rosdiana (42) mungkin hanya satu dari sedikit perempuan pengusaha yang menekuni usaha pembibitan sapi perah. Meski jenis usaha yang satu ini menyisakan marjin keuntungan kecil dan tak banyak orang melirik, di tangan Fina usaha pembibitan tetap menjanjikan.
Tengok kandang sapi di Sukabumi, Jawa Barat, yang menaungi sekitar 420 bibit sapi perah hanya dalam waktu 15 tahun usahanya. Sebagian besar sapi-sapi itu berusia dara bunting dan siap dilelang dengan kisaran harga Rp 8 juta per ekor.
Yang menarik dari bibit-bibit sapi yang dikelola Fina dan Kelompok Tani Goalpara binaannya adalah semua bibit sapi itu berkualitas. Mereka dilahirkan dari induk sapi yang tercatat memiliki produktivitas tinggi, sebagian di antaranya bahkan produktivitas susunya mencapai 30 liter per hari. Rata-rata produktivitas sapi perah sekarang di bawah 15 liter per hari.
Bibit sapi itu juga dijamin memiliki masa laktasi atau masa produksi susu lebih panjang. Bila sapi perah umumnya hanya beranak lima kali, bibit sapi Fina bisa beranak sampai tujuh kali, dengan rata-rata laktasi 305 hari per tahun.
Hal terpenting yang tak dilupakan Fina adalah mencatat semua silsilah sapi miliknya. Mulai dari pejantan, induk, tanggal inseminasi buatan, hingga kapan sapi itu mulai berahi. Pencatatan silsilah atau garis keturunan sapi amat penting untuk menghindari kawin sedarah (inbreeding).
Di luar keunggulan bibit-bibit sapinya, dia juga menjaring anak-anak sapi milik peternak rakyat yang sudah tak sanggup lagi membesarkan pedet (anak sapi). Pedet itu dibeli dengan harga Rp 1,5 juta-Rp 2,5 juta per ekor.
Setelah dipelihara dengan memberi pakan cukup selama sekitar 1,5 tahun, sapi itu dikawinkan. Ketika sapi itu bunting dan siap laktasi baru dijual. Meski menjual sapi dengan cara lelang, Fina tetap memprioritaskan pemilik semula untuk membelinya.
Syaratnya, ada kontrak jual beli yang menyatakan, bila pemilik semula anak dari sapi yang dibeli itu tak sanggup membesarkan, sapi harus dijual kembali kepadanya.
Akan tetapi, karena minimnya sapi anakan di Sukabumi, Fina tak jarang membeli pedet dari peternak di sentra-sentra produksi susu atau perusahaan pembibitan lain. Tujuannya, bagaimana meningkatkan kualitas sapi agar produksi susunya tinggi.
Terperangkap
Fina boleh jadi terperangkap dalam usaha peternakan sapi perah. Lulus D-III Politeknik Jurusan Peternakan IPB, dia langsung bekerja pada Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Pusat di Jakarta.
Dua tahun kemudian, 1998, Fina dipindahkan ke Unit Penampungan Susu (UPS) GKSI wilayah Sukabumi. Lima tahun bekerja di tempat ini, dia merasa tergugah oleh kondisi budidaya peternakan sapi perah yang memilukan.
Saat itu, para peternak sapi perah rakyat di Sukabumi gulung tikar. Semangat peternak hilang. Mereka malas memelihara sapi akibat susu produksinya ditolak GKSI karena berkualitas buruk, yakni kadar kepadatan (total solid/TS) dalam susu hanya 11,1 persen dan kandungan lemak 3,1 persen. Padahal, GKSI saat itu mensyaratkan TS di atas 12,5 persen dan kandungan lemak 3,3 persen.
"Buruknya kualitas susu peternak akibat ulah mereka sendiri. Susu sapi produksinya dicampur air agar volumenya bertambah," tuturnya.
Peternak tak sepenuhnya bisa disalahkan. Kebijakan pemerintah rezim Soeharto yang menggenjot produksi susu nasional dengan mewajibkan industri pengolahan susu (IPS) mengutamakan penyerapan susu lokal menjadi bumerang karena gairah peningkatan produksi dan kewajiban menyerap tak didasarkan pada kualitas.
"Kalau susu kualitas buruk saja bisa diterima, mengapa harus menjual yang baik," ungkap Fina melukiskan cara berpikir peternak saat itu.
Penolakan dan anjloknya harga susu tersebut membuat peternak patah arang. Mau meningkatkan kualitas susu, mereka tak mampu karena tak punya sarana produksi, seperti alat pemerah, pendingin, dan mobil tangki. Banyak di antara mereka lalu memutuskan berhenti beternak.
Akibatnya, produksi susu yang diserap UPS GKSI Sukabumi turun, dari semula 12-15 ton per hari menjadi 2-3 ton. Melihat penurunan pasokan susu, manajemen GKSI melakukan pendampingan agar peternak kembali menekuni usahanya.
"Memberi penyuluhan tanpa melakukan usaha sendiri tidak bagus karena tak tahu kesulitan yang dirasakan peternak. Jadilah saya mulai usaha sapi perah," cerita Fina tentang usaha yang dimulai tahun 1992 dengan modal enam sapi senilai Rp 24 juta.
Modalnya berasal dari tabungan dia dan suami selama bekerja di GKSI dan pegawai negeri sipil Kabupaten Sukabumi, serta separuhnya pinjaman koperasi. Sapi itu dipeliharanya di rumah.
Makin mantap
Dengan pengalaman memelihara sapi perah, Fina semakin mantap memberikan penyuluhan kepada peternak anggota GKSI. Setelah bekerja keras bersama teman koperasi dan peternak, tak lama kemudian kualitas susu hasil produksi peternak Sukabumi meningkat, menjadi nomor dua di Jawa Barat.
Meski kualitas meningkat, produktivitas susu tak berubah. Dia lalu mendirikan usaha pembibitan. Dasar pemikirannya: usaha sapi perah berkembang bila ada jaminan harga susu di pasar.
Untuk menguasai pasar, dia harus memproduksi susu berkualitas. Untuk memperbaiki kualitas susu mesti dimulai dari perbaikan bibit sapi. Namun, modal Fina tak cukup.
Baru pada tahun 2003, setelah sapinya berjumlah 40 ekor, dia memutuskan keluar dari tempat kerjanya. Ia semakin konsentrasi dengan usahanya. Setahun kemudian dia merintis usaha pembibitan.
Sadar tak sanggup mengelola sapi dalam jumlah besar sendirian, dia bergabung dengan Kelompok Tani Goalpara. Bersama kelompok ini, dia menempati lahan PT Perkebunan Nusantara VIII Goalpara, Sukabumi, untuk pengembangan ternak sapi perah.
Bersama kelompok tani itu, Fina mengembangkan usaha pembibitan dan produksi susu atau "rumah susu" dalam skala yang lebih besar dan dikelola lebih modern. Jumlah sapi perah milik Fina kini 70 ekor. Konsep industri coba dia terapkan dalam lingkup kelompok. Bersama kelompok tani itu pula, Fina dipercaya mengelola 350 sapi bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sukabumi.
Di kelompok tani yang beranggotakan puluhan peternak itu, ada orang yang bertanggung jawab soal kebutuhan rumput, teknis pemeliharaan, pemerahan, pengangkutan, hingga pemasaran susu ke sekolah-sekolah. Semua anggota punya peranan.
Sumber : Kompas, Rabu, 25 Juli 2007
May 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment