Perselingkuhan Puitika Warih Wisatsana
Oleh : Agni Rahadyanti dan Putu Fajar Arcana
Sebelum baris terakhir, pergilah lebih jauh dari mimpi//Dengan remang topeng tikus// dan samaran muram mantel koyak// lintasi belukar malam, nyeri batuk dan sengat maut!//Kita kurcaci diburu kemalaman. Tak ada lubang// Kelinci. Tak ada tempat aman lagi untuk sembunyi….
Penggalan puisi berjudul Sebelum Baris Terakhir ini ibarat penegasan sikap hidup yang sejak 20 tahun terakhir dijalani penyair Warih Wisatsana (42). Kecintaannya pada puisi, keterpesonaannya pada kata-kata, akan ia bawa pergi (bila perlu) lebih jauh dari mimpi.
Apalagi yang jadi perhitungan kini, bukan lagi ketergodaan dan penumpukan materi. Karena itu, hanya akan berarti menyerah pada kultur konsumsi yang kini seperti merayap menguasai segala relung hidup kita.
Lelaki kelahiran Bandung, tetapi mengaku menemukan jalan puisi di Bali itu, bak pendekar dalam cerita silat China klasik yang memilih pedang sebagai karib. Warih menyelingkuhi puisi sehingga ia menjadi anomali dari kecenderungan gaya hidup modern.
Mungkin ada saja yang sinis memandangnya hanyut dalam romantisme kepenyairan pada masa lalu. Ia juga bisa dituding meneruskan kehidupan bohemian seperti pada zaman Chairil Anwar tahun 1940-an.
"Saya tidak menolak kultur konsumsi, tetapi kebetulan saya tidak sepaham. Saya cuma ingin hidup sederhana, berbahagia kalau kita bisa berbagi," tutur Warih dalam sebuah kunjungan ke Kota Yogyakarta, akhir Juni lalu.
Tentu saja berbagi dalam kosakata, Warih menyampaikan buah renungannya dalam masa pencariannya mengasah kata dan imajinasi. "Syukur kalau ada orang yang kemudian terinspirasi dan berbahagia setelah membaca karya-karya saya," ujar suami dari Anom Suhaemi ini.
Dalam lingkup kosakata berbagi itu pula sejak tahun 1991 ia menerima tawaran menjadi pembimbing sastra di SMPN 2 Denpasar. Bukan pekerjaan menjadi pembimbing yang ia cari. Buktinya, awal tahun 1990-an pula ia memutuskan berhenti bekerja sebagai wartawan.
"Saya tidak ingin mencetak para penyair. Itu soal pertemuan orang per orang dengan puisi. Saya hanya ingin berbagi mengembangkan imajinasi karena di situlah sumber kreativitas dimulai," ujar penghafal puisi-puisi para penyair pemenang hadiah Nobel ini.
Berbicara soal wilayah kreatif selalu membuat Warih bergairah. Ia seperti mendapatkan semangat hidup.
Terlepas apakah para siswa bimbingannya memang berotak cair atau karena sentuhan puisi, banyak di antara mereka kemudian menjadi orang-orang yang berprestasi dalam berbagai bidang. Beberapa di antaranya menjadi juara olimpiade dan lomba karya ilmiah di tingkat nasional, beberapa lagi merajai kompetisi-kompetisi penulisan sastra. Bahkan, karya-karya anak muda belia ini telah dimuat dalam kolom-kolom puisi di media nasional.
Dua anak didiknya, untuk sekadar menyebut, Ni Ketut Sudiani dan Ni Made Purnama Sari, baru saja keluar sebagai juara pertama dan kedua dalam Lomba Menulis Puisi Musibah tingkat nasional yang pesertanya tak kurang dari 1.000 orang. "Prestasi-prestasi ini yang melecut saya untuk terus mendampingi mereka," kata Warih.
Pendampingan ini menunjukkan Warih tidak berjalan sendirian dalam wilayah kreativitas. Ia menularkan "kegilaan" mencipta pada generasi yang jauh di bawahnya, tidak untuk mencetaknya menjadi sastrawan. "Tetapi, manusia-manusia kreatif yang memiliki daya pikir kritis. Kan itu tujuan pendidikan sebenarnya?" tambah penggemar permainan catur ini.
Pertemuan
"Pertemuan saya dengan puisi sebenarnya sudah berlangsung lama. Saat duduk di bangku SMP dan SMA, saya sudah suka menulis puisi," ungkap Warih.
Hanya saja, lanjutnya, waktu itu belum banyak buku-buku sastra yang dapat memuaskan kehausannya untuk mengenal puisi lebih jauh. Meski begitu, perjumpaan dengan kata-kata telah memikatnya. Pergaulannya dengan puisi terus berjalan seiring dengan dihabiskannya masa remaja di beberapa kota, seperti Pontianak dan Klaten.
Ketika memasuki Bali awal tahun 1980-an, kecintaannya pada puisi makin bertumbuh. "Saya memang lahir di Bandung, tetapi sebagai penyair saya lahir di Bali," ungkap Warih.
Di Bali, ia bergabung bersama Komunitas Sanggar Minum Kopi yang membuatnya lebih dekat dengan dunia sastra. "Di sanggar itulah saya bergaul intens dengan rekan-rekan seniman, begadang sampai pagi. Dari merekalah saya memperoleh pengalaman bagaimana mampu mengeksplorasi diri, sekaligus menjadikan eksplorasi diri sebagai kesadaran bersama," ujar peraih Borobudur Award tahun 1996 ini.
Di sanggar itu bergabung para seniman Bali yang kini banyak dikenal sebagai penyair nasional, seperti Tan Lioe Ie, Sindu Putra, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Adnyana Ole, dan I Wayan Sunarta.
Spirit tradisi dan seni di Bali yang pada saat bersamaan harus berhadapan dengan tawaran modernisasi disadari Warih menjadi kekuatan baginya untuk menempa kepekaannya terhadap dunia, sekaligus mempertegas keinginannya untuk memberikan diri sepenuhnya menjadi seorang penyair.
Sekitar tahun 1983-1984, Warih berproses untuk menentukan pilihan hidupnya sebagai penyair. Pertemuannya dengan penyair senior Umbu Landu Paranggi ketika ia masih bekerja sebagai wartawan di Bali Post semakin memantapkan pilihannya pada puisi. "Dia adalah guru yang tidak pernah menggurui," ujarnya mengenang.
Saking eratnya hubungan dengan puisi, Warih pun pernah mengalami masa-masa ketika hidupnya penuh dengan igauan. Ia melafalkan baris-baris puisi para penyair di mana saja ia berada, bahkan dalam tidurnya sekalipun.
Pertemuan-pertemuan dengan puisi-puisi itu pun menjadi bekal dalam proses penciptaan karya-karyanya sendiri. Puisi-puisinya yang memiliki kekuatan diksi dan rima di tiap-tiap bagiannya pun dipublikasikan ke berbagai media massa, jurnal, serta masuk dalam beberapa antologi. Terakhir, kumpulan puisinya diterbitkan dalam buku Ikan Terbang tak Berkawan pada tahun 2003 oleh Penerbit Buku Kompas.
Kurang produktif
Lelaki yang sekarang menetap di Bali ini menganggap dirinya kurang produktif karena tak bisa seketika menciptakan puisi, sebuah proses yang baginya merupakan wujud penghormatan kepada karunia kebebasan dan kesantunan pengalaman batin.
Melalui proses penciptaan yang tak terikat oleh waktu, Warih bisa bebas mengekspresikan pertemuan-pertemuannya dengan dunia sekitar. Satu hal yang prinsip baginya, penggambaran realitas sosial, alam, atau apa pun juga tak boleh melebihi penghargaan terhadap manusia itu sendiri.
Sudah pasti ketidakproduktifan itu berkaitan dengan aktivitas berbagi yang ia jalani. Selain membimbing siswa-siswa SLTP, Warih juga menjadi pengajar tak tetap di IKIP PGRI Denpasar. "Saya hanya ingin membagi pengalaman berbahasa pada orang lain, karena persoalan imajinasi itu menjadi problem akut pada bangsa ini. Kalau orang tak punya imajinasi, dia pasti tidak kreatif," tutur lelaki "pengembara" ini.
Sampai kini ia seperti berumah di "angin" di Denpasar. Rumah kontrakannya seperti hanya menjadi persinggahan. Warih lebih memilih menjadi nomaden, berkeliling dari kegiatan sastra satu ke kegiatan lainnya.
Hubungannya yang sangat dekat dengan peneliti kebudayaan asal Perancis, Dr Jean Couteau, membuat aktivitas pemikirannya semakin matang, terutama untuk lebih total menumbuhkan generasi yang penuh daya kreativitas.
"Berada di dekat anak-anak muda yang serius membuat saya jauh lebih hidup. Karena itu, saya sediakan waktu sebanyak-banyaknya untuk mereka," ujarnya. Barangkali ini menjadi "skandal" perselingkuhan kedua Warih setelah mencintai puisi … Istri?
Sumber : Kompas, Kamis 26 Juli 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment