Ahmad Bastari, Pelestarian Surat Ulu
Oleh : Wisnu Aji Dewabrata
Masyarakat Sumatera Selatan telah memiliki budaya tulis yang tinggi jauh sebelum masa Kerajaan Sriwijaya. Kini budaya tulis yang diwujudkan dalam sistem aksara tersebut di ambang punah. Salah satu penyebabnya, para pewaris naskah kuno cenderung mengkeramatkan benda tersebut. Terdorong oleh perasaan takut akan hilangnya budaya tulis Sumsel, Ahmad Bastari Suan (61) seorang guru SMP Srijayanegara Palembang terus bergerilya untuk melestarikan budaya tulis setempat.
Ahmad adalah salah satu dari sedikit orang di Sumsel yang mampu membaca dan mengartikan Surat Ulu atau Naskah Ulu yang ditulis dalam aksara Kaganga.
Istilah Surat Ulu atau Naskah Ulu dipakai untuk menyebut naskah kuno yang hanya ditemukan di daerah pedalaman Sumsel atau disebut daerah Ulu. Naskah tersebut tidak ditemukan di daerah pesisir Sumsel seperti Palembang tapi di daerah pedalaman seperti Pagar Alam, Lahat, Kayu Agung, dan Ogan Komering Ulu.
Menurut Ahmad Bastari, cara membaca aksara Kaganga dipelajarinya tahun 1973 dari seorang kakek bernama Senoetoep yang saat itu usianya lebih dari 100 tahun. Kebetulan kakek Senoetoep tinggal di Dusun Sadan, Kecamatan Jarai tak jauh dari Dusun Ahmad.
“Saya tertarik belajar aksara Kaganga setelah melihat dinding rumah kayu di kampung saya banyak tulisan dengan aksara Kaganga yang ditulis memakai kapur. Saya berpikir alangkah ruginya kalau tidak bisa membaca aksara itu," kata Ahmad.
Mempelajari aksara Kaganga tidak terlalu sulit. Ahmad memastikan seseorang sudah bisa membaca aksara Kaganga hanya dengan belajar selama satu bulan.
Aksara Kaganga bentuknya menyerupai huruf paku yang runcing. Bentuk-bentuk huruf mirip aksara Kaganga yang sudah ditemukan pada peninggalan zaman megalitikum di Sumsel. Misalnya di Desa Gunung Megang, Kabupaten Lahat terdapat peninggalan megalitikum yang disebut Batu Kitab karena terdapat goresan-goresan mirip aksara Kaganga.
“Cikal bakal aksara Kaganga diperkirakan sudah ada sejak tahun 200 Masehi. Itu terbukti dengan adanya penemuan batu bertulis dengan aksara mirip aksara Kaganga," kata Ahmad.
Penulisan aksara Kaganga semakin maju. Aksara Kaganga tidak lagi digoreskan di atas batu namun dalam perkembangannya digoreskan di bilah bambu yang disebut Gelumpai, ada juga digoreskan di ruas bambu yang disebut Surat Buluh, di tanduk kerbau, dan ada juga di kulit kayu yang disebut Kitab Kakhas. Bentuk Kitab Kakhas sudah menyerupai buku karena dilipat sedemikian rupa menyerupai buku.
Menurut Ahmad, aksara yang mirip aksara Kaganga bisa ditemukan sejak dari pedalaman Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumsel, Lampung, Sulawesi Selatan, bahkan sampai ke Filipina.
Bahkan, naskah La Galigo dari Sulawesi Selatan diyakini menggunakan aksara yang mirip aksara Kaganga. Anehnya di sepanjang pesisir timur Sumatera seperti Medan, Riau, Jambi, Palembang, dan Bangka tidak ditemukan aksara Kaganga tapi ditemukan aksara Arab Melayu.
“Aksara Kaganga di Sumsel dibagi menurut daerah asal dan usianya. Menurut daerah asal ada aksara Kaganga Besemah, Lembak (sekitar Lubuklinggau), Kayu Agung, Ogan (sepanjang Sungai Ogan dan Sungai Komering), Enim (sekitar Muara Enim), dan Rambutan (sekitar Banyuasin). Sedangkan menurut usianya ada aksara tua dan muda," kata Ahmad.
Aksara Kaganga terdiri dari 28 huruf yaitu ka, ga, nga, pa, ba, ma, ca, ja, nya, sa, ra, la, ta, da, na, kha, ha, mba, ngga, nda, nja, mpa, ngka, nta, nea, kha, wa, ya yang dilengkapi sejumlah tanda baca.
Pada aksara Kaganga dengan dialek Komering akhiran semua huruf dibaca a (ka ga nga), pada dialek Kayu Agung dibaca é (ké gé ngé), pada dialek Besemah dan Ogan dibaca e (ke ge nge), pada dialek Lintang dan Serawai (Lampung) dibaca o (ko go ngo). Sedangkan menurut bentuknya yang ditulis dengan gaya runcing dan ada yang agak melengkung. Aksara Kaganga mirip aksara Jepang dan China, yaitu satu huruf bisa mewakili beberapa huruf sekaligus atau satu suku kata.
Mengenai isi Surat Ulu, Ahmad menjelaskan isinya beraneka ragam mulai silsilah keluarga, mantra-mantra, pengobatan, tuah untuk ayam sebelum disabung, ramalan tentang nasib dan sifat manusia, dan lain-lain.
“Aksara Kaganga tidak berkembang kemungkinan karena terdesak oleh aksara Palawa dan semakin terdesak oleh aksara Arab Melayu. Setiap daerah di Sumsel punya dialek dan bentuk huruf sendiri, kemungkinan karena antarsuku tidak pernah berinteraksi. Ini berbeda dengan di Sumatera Utara dan Lampung yang hanya ada satu jenis huruf," kata Ahmad.
Dikeramatkan
Hambatan yang terbesar dalam melestarikan Surat Ulu justru datang dari para pewaris Surat Ulu yang disebut Jurai Tui. Para Jurai Tui menganggap Surat Ulu itu sebagai barang keramat yang tidak boleh dipegang oleh sembarang orang.
“Pada umumnya Surat Ulu itu hanya jadi barang simpanan dan diselimuti hal-hal gaib serta mistik. Saya pernah bermaksud meminjam Surat Ulu untuk dipelajari tapi saya malah dimarahi. Sikap seperti itu yang membuat sejarah kebudayaan Sumsel tertutup," kata Ahmad.
Oleh karena sikap tertutup itu, Ahmad tidak memiliki satu pun salinan Surat Ulu yang pernah dilihatnya dari sejumlah pewaris Surat Ulu. Ahmad hanya bisa membuktikan bahwa Surat Ulu itu benar-benar ada.
“Saya sering diejek ketika keluar masuk kampung untuk melihat peninggalan megalitikum yang ada di tengah hutan. Katanya untuk apa, bikin kotor baju saja. Kesadaran budaya masyarakat begitu rendah sedangkan pemerintah juga kurang peduli. Penyebabnya karena masyarakat sekarang berpikir materialistis," kata Ahmad.
Untuk menjaga kelestarian Surat Ulu, Ahmad telah menyusun panduan cara membaca Surat Ulu dalam bentuk lembaran-lembaran kertas yang belum dijilid dalam bentuk buku. Kekhawatiran akan punahnya Surat Ulu semakin meningkat karena para pewaris Surat Ulu biasanya menyimpan Surat Ulu di sembarang tempat sehingga semakin cepat hancur dimakan usia.
Selain hancur dimakan usia, ada Surat Ulu yang hilang atau sengaja dihancurkan oleh pewarisnya karena tidak tahu manfaatnya. Ada juga Surat Ulu yang dihancurkan karena dulu takut jatuh ke tangan Belanda atau Jepang.
“Upaya melestarikan Surat Ulu di Sumsel seharusnya dengan memasukkan aksara Kaganga dalam mata pelajaran muatan lokal. Saya tidak bisa mengajarkannya di sekolah karena harus berpedoman pada kurikulum sedangkan di kurikulum tidak ada. Lagipula ada banyak tipe aksara Kaganga di Sumsel, harus ditentukan mana yang akan diajarkan. Saya tidak tahu kapan cita-cita itu terwujud," ujar Ahmad.
Sepengetahuan Ahmad di Sumsel hanya tiga orang yang bisa membaca aksara Kaganga selain dirinya yaitu Suwandi yang tinggal Lubuk Linggau dan Pamong Budaya Ahli pada Museum Balaputradewa, Palembang; dan Rafanie Igama yang saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Yogyakarta.
Saat ini beberapa Surat Ulu berupa Surat Buluh dapat dilihat di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan kitab Kakhas dapat dilihat di Museum Balaputradewa. Sebagian besar Surat Ulu masih tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta.
“Kalau tidak ada yang menyayangi Surat Ulu dan aksara Kaganga, saya takut suatu waktu kekayaan budaya Sumsel ini hilang," kata Ahmad.
***
BIODATA
Nama: Ahmad Bastari Suan
TTL: Dusun Pelajaran, Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat, Sumsel/27 Agustus 1946
Nama istri: Ernawati (46)
Nama anak: Awang Gusnan Pasmawan, dengan 8 anak.
Pendidikan:
- Sarjana Muda Hukum Unsri (1968-1971)
- Sarjana Bahasa dan Sastra FKIP Unsri (1995- 1998)
Pekerjaan :
- Guru Sejarah SMP Srijayanegara Palembang (1976-sekarang)
- PNS pemkot Palembang (1980-2002)
Pengalaman :
- menulis puisi sejak 1964
- menulis artikel budaya dan sejarah sejak 1974
- ikut penelitian bahasa dan sastra Indonesia dan daerah Sumsel sejak 1980
- mengusulkan kata "mantan" menjadi bahasa Indonesia
- menulis cerita sejarah bersambung Lidah Pahit Lawan Mata Empat
- menulis cerita dan sinopsis film Pak Andigh
- menulis buku berjudul Sejarah Besemah: Dari Zaman Megalitikum, Lampik Mpat Mardike Duwe, Sindang Mardike, ke Kota Perjuangan, dan buku Atung Bungsu: Sejarah Asal Usul Jagat Besemah
Sumber : Kompas, Rabu, 15 Agustus 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment