Amandus Y Kaize, Hidup dengan Nilai Adat
Oleh : Aryo Wisanggeni Genthong
Empat belas tahun lalu, ketika Amandus Yolliu Kaize mendirikan sanggar yang menjadi pusat kegiatan konservasi hutan di Kampung Kaisa, banyak orang menertawakannya.
Sepuluh tahun kemudian, ia dituding menyembunyikan kelompok separatis karena menolak rencana pemerintah membangun jalan melintasi hutan ulayat suku Malind Ezam di Kampung Kaisa. Namun, karena keberaniannya menyelamatkan hutan ulayatnya, Kaize menerima anugerah Kalpataru 2007.
Sorot matanya yang tajam menyelidik serta nada bicaranya yang hati-hati menyiratkan kekerasan hatinya. Kekerasan yang membuatnya teguh menjalankan ajaran adat Marind, salah satu suku peramu berpopulasi terbesar di Kabupaten Merauke, Papua.
"Selama waktu itu saya dikatai, ’Kau mau matikah, berani sekali.’ Apa yang saya kerjakan adalah tuntunan adat, dan saya tetap memegang adat itu. Akhirnya, mereka mendukung," kata Kaize.
Lelaki 42 tahun yang rambut dan kumisnya mulai memutih itu tidak banyak mengecap pendidikan formal. Pada tahun 1971 ia mulai bersekolah di SD YPPK Kaisa. Tahun 1982 hingga 1983, ia melanjutkan pendidikannya di SD YPPK St Petrus Bupul. "Tetapi, selama dua belas tahun sekolah, saya hanya bisa mencapai kelas lima SD. Sekolah tidak pernah jelas, sebentar guru ada, satu-dua tahun guru tidak ada. Karena sudah berjenggot, akhirnya saya malu dan memilih berhenti sekolah," tutur bapak sepuluh anak itu tertawa lirih.
Sejak saat itu, alam dan hutan ulayat suku Malind Ezam menjadi guru bagi Kaize. Kini, ia menghayati berbagai ajaran adat Marind tentang unam (bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta saling berhubungan erat), nakali (bahwa semua hal di dunia berkaitan dengan manusia), dan berbagai nilai adat lainnya.
Pada 30 November 1990 Kaize terpilih sebagai ketua adat suku Malind Ezam di Kampung Keisa. Sebuah kesadaran muncul, bahwa dirinya bisa berbuat lebih banyak. Tahun 1993 ia mendirikan sanggar. Mulailah ia mengumpulkan berbagai tumbuhan langka dan mereboisasi hutan ulayat suku Malind Ezam.
Sampai kini ia terus menginventarisasi semua tumbuhan dan binatang yang ada di hutan ulayat Marind Ezam. "Alam ini yang kasih pintar saya. (Saya) pelajari dan catat semua, rumput, semut, jenis tanah, jenis air, keberadaan air di mana saja, semua saya catat dalam bahasa Marind. Nantinya, anak cucu saya akan mengerti semua hal yang saya catat," kata Kaize.
Di sanggarnya, Kaize menanam berbagai tumbuhan yang penting bagi pelaksanaan berbagai ritual adat Marind, seperti wati (bahan minuman tradisional Marind), anggin, dan sagu. Selain menanam sagu, ia juga mengumpulkan berbagai jenis bunga furing dan berbagai jenis pohon yang menjadi tempat bermain dan makanan burung langka.
Bibit yang dikumpulkannya itu kemudian ditanam di hutan ulayat Malind Ezam, di sekitar tepian Sungai Kumb. "Itu semua kerja murni, tidak ada yang membantu," ujar Kaize.
Kaize mendidik masyarakat adat Malind Ezam untuk melindungi hutan ulayat mereka. Ia pun gigih melawan rencana pembangunan jalan penghubung Muting-Okaba yang melintasi hutan ulayat Malind Ezam. "Pernah ada buldoser sudah sampai di pinggir hutan ulayat kami. Saya tolak karena pembangunan jalan tidak pernah meminta izin kami," ucapnya.
Penolakan Kaize sempat berbuntut panjang. Ia dipanggil polisi untuk diperiksa karena bersikeras melarang pembangunan jalan itu. Pihak lain malah mengembuskan isu bahwa Kaize menolak pembuatan jalan karena ia menyembunyikan kelompok separatis bersenjata di hutan ulayat Malind Ezam.
"Kami simpan hutan, tetapi mereka malah menuduh kami simpan Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka di dalam hutan. Sekarang memang sulit. Semua masalah sudah campur aduk," katanya.
Keberanian Kaize mempertahankan hutan ulayat membuat burung cenderawasih hingga kini masih berkicau di kampungnya. "Kalau musim kopi, mereka makan di kampung saya. Asal burung yang menjadi tempat mainnya tetap kita jaga, kami bisa memindah burung dari pohon yang jauh agar bermain di pohon yang dekat. Rusa ada mana-mana. Umbi-umbian tidak bisa ditanam tanpa diberi pagar karena bakal habis dimakan binatang liar," kata Kaize.
Kalpataru
Semua tudingan miring soal pilihan keras Kaize menjaga kelestarian hutan akhirnya pupus ketika Presiden RI memberikan penghargaan Kalpataru kepada Kaize. Sejak menerima Kalpataru, ia menjadi lebih berhati-hati dan menjaga diri lantaran ingin merenungkan makna Kalpataru.
"Ketika mereka (tim seleksi) temukan nama saya, saya bilang kalau saya tidak mampu, saya takut nanti saya cepat mati. Mereka bilang saya harus ikut karena tidak ada orang lain. Kini saya berpikir, itu kan pohon kehidupan. Harus diteliti kembali agar dunia ini menjadi lebih baik, kalau Tuhan setuju," ujarnya. Ia juga memutuskan untuk mengizinkan pemerintah membangun jalan. Akan tetapi, jalan yang akan dibangun harus mengikuti batas yang ia tentukan, dengan mempertimbangkan kelestarian hutan ulayat yang selama ini dijaganya.
Kaize pun mawas diri, merasa malu karena sampai saat ini ia masih terikat kontrak penjualan kulit pohon gambir. "Saya melihat ternyata hal itu tidak baik. Mulai akhir tahun ini semua penjualan kulit gambir harus saya putus. Presiden memberikan hadiah Kalpataru itu sebagai amanah yang begitu tinggi, dan saya harus menjaganya. Saya harus membersihkan rumah saya," kata Kaize menuturkan kiasannya.
Selain menjadi lebih mawas diri, Kaize yang dulu tetap tidak berubah. Ia tetap sedih dengan kerusakan alam yang terjadi di mana-mana. Ia juga sedih melihat satu demi satu tanah ulayat Marind dijual sehingga banyak orang Marind kehilangan tanah dan jati diri mereka.
Ia berharap penghargaan Kalpataru yang diterimanya menjadi pangkal tolak kebangkitan orang Marind dan nilai adat Marind yang kini mulai ditinggalkan. Kini, suku besar Marind memang menghadapi tantangan berat karena banyak bagian dari hutan ulayat mereka diproyeksikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Belakangan, kebutuhan stok kelapa sawit melonjak akibat konversi energi biodiesel—sebuah konversi yang dinilai lebih ramah lingkungan, tetapi bisa menjadi bencana besar bagi suku besar Marind yang merupakan masyarakat peramu dan sangat bergantung kepada alam.
*
Semua Orang Bisa asal Berani...
Soal keberanian untuk berbeda, Amandus Yolliu Kaize tidak perlu diragukan. Ia menjadi pusat perhatian ketika para penerima Kalpataru bertemu Presiden. Ia tampil dengan baju adat Marind lengkap dengan himbu (mahkota), wale (gelang di lengan yang disisipi daun anggin dan kundama), kalam baba (kalung di dada), dan buway (sejenis rok penutup bagian bawah tubuh).
"Setelah memakai baju adat di kamar hotel, saya turun ke lobi. Begitu saya keluar dari hotel, orang terkejut dan berkata, ’Wah, ini boleh.’ Mereka justru senang karena saya tampil berbeda," kata Kaize.
Setelah kabar ia menerima Kalpataru tersebar luas, Amandus Kaize beberapa kali menghadapi peristiwa lucu. Suatu kali ada pemuda mendatangi dan meminta obat pintar. "Dia bilang, pasti saya punya obat pintar sehingga bisa mendapat Kalpataru. Ia meminta obat pintar itu. Saya bilang tidak ada obat pintar, semua itu kerja keras, tidak ada jalan pintas," kata Kaize.
"Sekarang banyak orang adat menjadikan nilai adat sekadar bantal pemalas. Orang Marind sering menyalahkan orang lain sebagai penyebab kerusakan alam. Sebenarnya, kami orang adat juga memiliki kesalahan. Kami orang adat sendiri yang malas mengurus diri," tambahnya. (ROW)
Sumber : Kompas, Selasa, 14 Agustus 2007
May 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment