Jun 26, 2009

Zohra Andi Baso : 30 Tahun Pergulatan Andi Baso

30 Tahun Pergulatan Zohra Andi Baso
Oleh : Ninuk M Pambudy

Di antara 23 nama perempuan Indonesia yang dicalonkan Organisasi 1000 Women for the Nobel Peace Prize 2005 bersama-sama 977 perempuan lain dari 153 negara penerima Nobel Perdamaian 2005, ada nama Zohra Andi Baso.

Biasa saja, karena selama ini saya bekerja tidak pernah dengan tujuan mendapat penghargaan,” kata Zohra Andi Baso pekan lalu di Jakarta ketika ditanya mengenai pencalonan itu.

Meskipun tinggal di Makassar dan fokus kegiatannya banyak di Sulawesi Selatan, batas geografi tidak mampu menghalangi aktivitas perempuan kelahiran 17 April 1952 di Labbakkang, Pangkep, Sulawesi Selatan, ini. Sebagai Ketua Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia dia kerap hadir dalam lokakarya di Jakarta, termasuk pekan lalu setelah beberapa hari sebelumnya pulang dari San Francisco.

Ikut konferensi Sexual Rights and Moral Panic yang diadakan San Francisco State University. Saya memasukkan abstrak mengenai pendidikan seksual sebagai alternatif mencegah penularan HIV/AIDS. Sekarang kan anak-anak pun dengan mudah bisa membeli VCD dan bacaan porno atau membuka internet porno. Ternyata abstrak saya diterima, kata Zohra.

Kesehatan reproduksi adalah satu dari isu perempuan dan anak yang diakrabi Zohra. Pada tahun 1975 ketika masih kuliah di Jurusan Komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar, Zohra ikut mendirikan Remaja Keluarga Berencana Club, organisasi di bawah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Saat kuliah itu pun dia sudah menggugat mengapa dalam Dewan Mahasiswa perempuan hanya mendapat posisi yang stereotip: bila bukan bendahara pasti seksi konsumsi.

Sebagai ketua kelompok perempuan saya tidak mau perempuan hanya jadi bendahara atau seksi konsumsi. Mereka mendengar protes itu karena kami membuktikan kemampuan melalui diskusi kampus, kata sulung dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan ini.

Setelah itu, dia meluaskan aktivitasnya dalam hak-hak konsumen melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sulawesi Selatan pada tahun 1987 dan tahun 1994 menjadi ketuanya. Memang aktivitas saya ada di berbagai bidang, tetapi saya mempertajam fokus pada hak-hak perempuan papar Zohra yang tahun 1994 mendirikan Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan. Kegiatan utama adalah mengadvokasi masyarakat dan penegak hukum untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan, menegakkan hak asasi perempuan, dan kampanye internal kepada anggota.

Mengikutkan perempuan

Organisasi 1000 Women for the Nobel Peace Prize 2005 yang berpusat di Bern, Swiss, yang memprakarsai pencalonan tersebut, mengatakan, angka 1000 adalah simbolisasi untuk jutaan perempuan di dunia yang berjuang demi perdamaian dan martabat manusia. ”Saya tidak tahu kenapa saya dan siapa yang mencalonkan,” kata Zohra.

Ketertarikan peraih gelar master lingkungan dari Institut Pertanian Bogor ini terhadap isu perempuan dari begitu banyak isu adalah karena dia melihat perempuan masih termarjinalisasi hak-haknya.

Bila ingin masyarakat yang demokratis, perempuan harus ikut di semua lini kegiatan masyarakat, papar Zohra. Nyatanya, di Sulawesi Selatan hanya ada lima perempuan anggota DPRD, dan ada kabupaten yang tidak memiliki wakil perempuan.

Sebagai keluarga bangsawan, Zohra beruntung memiliki ibu yang anggota Aisyiah yang gigih mendorong anak perempuannya terus maju, meskipun kebiasaan saat itu anak perempuan di kampungnya hanya bersekolah hingga tamat sekolah dasar (SD).

Sepupu saya yang perempuan setamat SD tidak bisa sekolah lagi karena untuk ke SMP harus ke Makassar, lalu melanjutkan ke Jawa. Sedangkan sepupu laki-laki boleh sekolah terus, tambah mantan koresponden harian Sinar Harapan dan kemudian Suara Pembaruan (1975-2000) itu.

Saya ingin perempuan mengerti haknya dan laki-laki juga paham persoalan perempuan, tambah Zohra.

Melalui Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan bekerja sama dengan Partnership, Zohra telah memberi pendidikan politik untuk 2.000 perempuan lewat forum Diskusi Kampung. Mereka lalu menjadi simpul di komunitas masing-masing. Dengan memberi pengetahuan akan hak atas akses dan kontrol terhadap jalannya pembangunan, mereka berani memosisikan diri menjadi pengawas di tingkat lokal.

Pekerjaan itu bukan tanpa tantangan. Menurut Zohra, Di tingkat lokal ada yang mengatakan yang kami ajarkan ini anti-agama. Saya katakan kepada teman-teman untuk tidak panik. Kami jelaskan, ajaran agama mengakui setiap orang sama, yang berbeda adalah keimanannya. Ternyata banyak perempuan di kampung-kampung yang pintar dan mereka bersemangat ikut Diskusi Kampung. Jadi, harapan tetap ada meskipun perjalanan masih panjang.

Sumber : Kompas, Selasa, 12 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks