Jun 20, 2009

Yusuf Kurniajaya : Ilmu Gepuk dari Salatiga

Ilmu Gepuk dari Salatiga
Oleh : Frans Sartono

Enting-enting gepuk seperti lekat dengan Kota Salatiga, Jawa Tengah. Penganan yang terbikin dari bahan dasar gula dan kacang yang digepuk atau digebuk dengan kayu di atas landasan batu itu banyak diproduksi di kota yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu.

Yusuf Kurniajaya alias Khoe Yoe Tjay (48) adalah salah seorang pembuatnya. Ia mewarisi ”ilmu gepuk” dari sang kakek, Khoe Tjong Hok, imigran asal Fukkian, China, yang merintis usaha enting-enting di Salatiga sejak sekitar tahun 1920-an.

”Waktu itu masih dibungkus kelobot, kulit buah jagung. Nenek saya menjualnya dengan tampah keliling kampung,” tutur Yusuf yang ditemui di rumahnya di Klaseman Hijau, Salatiga.

Lima dari enam anak Khoe Tjong Hok meneruskan usaha enting-enting itu. Salah satunya adalah Gunarso alias Khoe Poo Liong, ayah Yusuf. Belakangan, Yusuf memegang estafet sejarah keluarga. ”Jadi, saya ini generasi ketiga enting-enting gepuk,” tutur Yusuf.

Jika produk keluarga Khoe Tjong Hok menggunakan cap Klenteng dan 2 Hoolo, itu memang sesuai dengan riwayat sang pembuat. Kakek Yusuf adalah juru kunci Klenteng Hok Tik Bio—Biara Dewa Bumi—di Jalan Sukowati, Salatiga.

”Setelah diangkat menjadi juru kunci, kakek membuat enting-enting di kompleks klenteng. Orang tahunya itu enting-enting dari klenteng. Itu lalu menjadi merek dan sudah saya patenkan,” kata Yusuf, yang kini menjadi Ketua Umum Klenteng Dua Hoolo Bird Club, sebuah kelompok pencinta burung di Salatiga.

Ilmu gepuk

Enting-enting gepuk tetap bertahan di tengah industri penganan modern yang digerakkan modal raksasa dan teknologi era komputer. Penggepukan masih dilakukan dengan kayu sawo berbentuk silinder seberat 3-4 kilogram. Kacang yang telah dipanaskan dalam cairan gula kental digepuk di atas landasan batu berbentuk empat persegi panjang setebal 15 sentimeter. ”Pernah kami coba menggunakan blender, tapi kacangnya mengeluarkan minyak,” tuturnya.

Justru dengan cara gepuk itulah enting-enting mendapatkan daya hidup dan bertahan hingga lebih dari tujuh dekade. Daya hidup itu, menurut Yusuf, tak semata karena urusan modal, tetapi terlebih karena kecintaan kepada pekerjaan dan penguasaan ilmu gepuk. ”Kalau hanya modal, setiap orang juga bisa. Proses pembuatan, setiap orang juga bisa mempelajari. Tapi keuletan, ketelatenan, dan kecintaan itu yang tak semua orang bisa dapat,” kilahnya.

Urusan gepuk-menggepuk memang menjadi unsur penting dalam proses pembuatan enting-enting gepuk. Ini bukan sembarang gepuk. Jika penggepukan kurang keras, kacang tidak hancur. Akan tetapi, jika terlalu keras, kacang akan mengeluarkan minyak. Kacang berminyak akan menimbulkan bau tengik. ”Kacang harus halus. Tidak boleh mringkil (kasar-keras). Nanti yang makan bisa marah, ha-ha....”

Yusuf menguasai benar ilmu gepuk. Sewaktu duduk di kelas lima sekolah dasar, ia sudah mencoba-coba untuk ikut menggepuk kacang. ”Tangan saya sampai hancur,” ujarnya mengenang.

Ia menguasai seluruh proses pembuatan, mulai dari menyangrai kacang, memasak gula, menggepuk, mengulur gepukan kacang, sampai membungkus. Rampung kuliah dari Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Yusuf memilih untuk melanjutkan usaha enting-enting ketimbang mengajar. Ia merasa mempunyai tanggung jawab moral.

”Dengan usaha itu, banyak orang bisa ikut kerja. Itu lebih bermanfaat,” kata Yusuf yang mempunyai 25 karyawan.

Usaha enting-enting itu kemudian menjadi laku hidup Yusuf dan karyawannya. Setiap bagian dari proses pembikinan menjadi tahapan yang mematangkan pribadi. Untuk menjadi penggepuk, minimal diperlukan waktu enam bulan belajar. Penggepuk yang berpengalaman lebih dari sepuluh tahun bisa menjadi pengulur.

”Tak ada yang instan dalam proses ini. Dengan tahapan itu mereka akan mencintai, menjiwai pekerjaan. Mereka bekerja sepenuh hati, tidak waton (asal),” katanya.

Penghayatan akan kerja itu, katanya, menimbulkan passion, gereget, rasa cinta dalam bekerja, sehingga mereka tidak bosan. Di antara penggepuk itu ada yang telah bekerja sampai 30 tahun. Ada pula yang bisa membiayai kuliah anaknya sampai tingkat S-2 di Universitas Gadjah Mada.

Yusuf kini tentu tidak lagi ikut menggepuk. Dibantu Juwariah, sang istri, bapak empat anak itu terus mengawasi kualitas enting-enting gepuk yang bisa diperoleh di banyak toko oleh-oleh itu.

Ia pernah mencoba bisnis kayu, tetapi gagal dan kena gepuk sana-sini. Ia mengaku tidak bisa ”main” kayu. Rupanya, ia menemukan jalan hidup dengan bermain gepuk.

Sumber : Kompas, Senin, 7 November 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks