Yusmael, Bermula dari Sekadar Iseng
Oleh : Agnes Rita S
Sepatu bukan sekadar alas kaki bagi Yusmael (42). Perpaduan kulit dan kayu itu merupakan proses belajar tak berkesudahan. Kini, sepatu menjadi alas hidup bagi dia, keluarga, serta 30 perajin sepatu.
Yusmael dikenal sebagai pengusaha sepatu handmade dari bahan kulit bermerek Honesty. Kebesaran bisnis sepatu yang digelutinya sejak 1994 ini terlihat dari gerainya yang terletak di Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, di tepi jalan lintas Padang-Kota Pariaman, yang selalu penuh pengunjung.
Pemakai Honesty mulai dari orang Sumbar, Riau, hingga Malaysia. Ketika banyak orang sekampung memilih bekerja sebagai pegawai, Yusmael justru asyik membuat ratusan model sepatu, pria dan wanita dengan beragam warna, yang kini terpajang di tokonya.
"Masyarakat sering kali terpaksa membeli sepatu handmade buatan luar negeri dengan harga mahal karena tidak ada pilihan lagi. Kami mencoba membuat sepatu berkualitas dengan harga terjangkau," tutur Yusmael yang mematok harga mulai Rp 60.000 hingga Rp 350.000 per pasang.
Puluhan bahkan ratusan kotak sepatu hampir memenuhi ruangan di rumahnya yang terletak tepat di belakang toko itu. Pengunjung yang sudah dikenalnya boleh masuk ke rumah untuk memilih sepatu yang disukai. Maklum, tidak semua sepatu bisa dipajang di toko yang hanya berukuran sekitar 5 x 7 meter persegi itu.
Pada ruangan lain, kain-kain bahan sepatu, kayu, lem, dan beragam bahan pembuat sepatu digeletakkan. Di ruang paling belakang, 30 perajin menekuni mesin jahit dan alat-alat yang diperlukan dalam proses produksi. Pilihan menekuni sepatu justru membuka tempat kerja baru bagi puluhan warga kampung yang menganggur.
Baginya, "dapur" pembuatan sepatu tidak harus ditutupi, tetapi justru dibuka bagi siapa pun yang ingin belajar. Seperti merek Honesty, Yusmael berani jujur tentang kualitas sepatu yang diproduksinya.
Soal kualitas ini, Yusmael bahkan berani menggaransi produk sampai enam bulan. "Garansi ini bukan untuk konsumen, tapi untuk para perajin agar mereka serius membuat produk, bangga bila produknya awet, sekaligus menjamin keberlangsungan produksi," kata dia.
Mudah diperbanyak
Ilmu membuat sepatu bukanlah sesuatu yang sulit dipelajari, tetapi membutuhkan keterampilan khusus dan ketekunan. "Dalam kurun waktu tiga bulan seseorang sudah bisa membuat sepatu," kata Yusmael yang juga pernah mengajar bahasa Inggris ketika kuliah.
Dengan bantuan Departemen Pendidikan Nasional, dia membuka kesempatan bagi pemuda putus sekolah di sekitar daerahnya tinggal untuk mengikuti workshop pembuatan sepatu selama 3 bulan di bengkel sepatunya.
Setelah itu, peserta workshop bisa bekerja di tempatnya. Tiga puluh karyawan pembuat sepatu yang bekerja di bengkelnya saat ini merupakan alumnus pelatihan itu, sementara 10 orang lainnya memilih keluar dari pekerjaan ini.
Keterampilan yang dimiliki perajin sepatu bisa ditularkan kepada orang lain. Dengan demikian, perajin sepatu yang dicetak Yusmael bisa mencetak perajin lain lagi. Produksi sepatu mereka kemudian ditampung Yusmael.
Yusmael mengakui, tidak mudah mengubah paradigma anak muda untuk menjadi wirausahawan. "Masih banyak orang yang mengantre untuk menjadi pegawai negeri ketimbang menekuni kerajinan sepatu, meskipun pendapatan sebagai perajin sepatu sering lebih besar dibandingkan penghasilan pegawai negeri sipil," tutur Yusmael, sambil menambahkan, upah perajin sepatu di tempatnya mencapai Rp 750.000 per minggu.
Jumlah nominal itu setara dengan upah minimum regional Sumbar tahun 2007. Dia mengakui usaha sepatu yang dijalankannya masih butuh perbaikan di sana-sini. Masalah manajemen tenaga kerja, misalnya, masih perlu dipoles lagi.
"Ada saja karyawan yang bermasalah. Ada yang merasa tidak puas dengan gaji lalu memilih untuk keluar. Seharusnya, masalah seperti ini bisa dikomunikasikan dengan pimpinan," kata Yusmael yang menjalankan usaha bersama istrinya, Nuraini.
Terlepas dari pelbagai masalah itu, Yusmael berencana mendirikan toko di daerah Bukittinggi dan sekitarnya, serta Pekanbaru, mulai tahun 2008. Ekspansi ke berbagai wilayah di Sumatera ini juga tengah direncanakannya.
Tumit sepatu
Perkenalan Yusmael dengan sepatu berawal dari keisengan anak kecil. Sejak kelas VI SD dia menghabiskan waktu luang dengan membentuk kayu menjadi tumit sepatu atau mainan anak-anak.
Keterampilan membuat tumit sepatu inilah yang dijualnya di bangku SMP. Dia bekerja di sebuah bengkel milik orang China di daerah Pondok, Padang. Gambar-gambar sepatu yang dipajang di majalah-majalah dari luar negeri menjadi sumber inspirasi Yusmael ketika memahat tumit sepatu. Melihat sepatu sebagai bisnis yang menjanjikan, Yusmael remaja tertarik belajar membuat sepatu.
Di SMA, ketika namanya sudah dikenal sebagai tukang tumit dari Lubuk Alung, Yusmael mulai belajar memadukan kain dan kayu menjadi sebuah sepatu.
Ketertarikan pada sepatu masih membayangi Yusmael, pun ketika ia memilih kuliah di Jurusan Bahasa Inggris, Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan (STIK) Lubuk Alung. Yusmael sempat mengajar bahasa Inggris di sejumlah sekolah, sambil menyelesaikan kuliah.
Namun, sepatu belum bisa digeser begitu saja. Tahun 1993 dia mengambil kesempatan belajar serba-serbi membuat sepatu di Cibaduyut, Bandung, Jawa Barat. Bila belasan peserta kegiatan ini memilih menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan, Yusmael justru asyik mengamati proses pembuatan sepatu sekaligus mempraktikkannya.
"Saya juga tidur di rumah pembuat sepatu," kata Yusmael, yang ketika itu sangat ingin menimba ilmu sepatu dari Cibaduyut. Setelah berhasil membuat sepatu sendiri, Yusmael kebingungan memasarkannya.
Awalnya, dia menitipkan sepatu di toko-toko sahabatnya yang keturunan Tionghoa. Lama-lama, hasrat untuk membuka toko sepatu semakin membara. Di tanahnya sendiri, Yusmael membuka toko sepatu hingga kini.
Ada dua prinsip Yusmael ketika memasarkan sepatu: mempertahankan kualitas dan menekan harga agar terjangkau banyak orang. Konsekuensinya, alokasi dana promosi dipangkas habis.
"Iklan kami, ya, hanya dari mulut ke mulut. Konsumen yang datang hari ini adalah konsumen yang pernah memakai sepatu buatan saya dan merasakan kualitas yang sama dengan sepatu berharga mahal," tutur Yusmael.
***
BIODATA
Nama: Yusmael
Tempat/Tanggal Lahir: Padang Pariaman, Sumatera Barat, 13 Juni 1965
Istri: Nuraini (39)
Anak-anak:
Taufik Azani (17)
Arief Rahmat Azani (11)
Haulia Rahman (4)
Pendidikan:
SMAN Lubuk Alung (1985)
Jurusan Bahasa Inggris, Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan (STIK) Lubuk Alung (1991)
Pengalaman Kerja sebagai guru Bahasa Inggris:
- Guru SMA Yayasan Dharma Bhakti (YDB) tahun 1988-1990
- Guru STM YDB Lubuk Alung, 1988-1990
- Guru Sekolah Perikanan Kiambang, 1988-1990
- Guru SMP Sosial, 1989-1990 (sekolah ini kini telah tutup)
Profesi kini: pemilik usaha sepatu Honesty
Alamat: Desa Toboh Baru, Sintuk Barat, Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumbar
Jumlah pekerja: 30 orang
Kapasitas produksi: 75 pasang sepatu per hari
Sumber : Kompas, Sabtu, 29 Desember 2007
Jun 3, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment