Jun 3, 2009

Chairul A Halim : Chairul dan Kisah Markisa Makassar

Chairul dan Kisah Markisa Makassar
Oleh : Reny Sri Ayu Taslim

Chairul A Halim tak pernah lupa pengalaman saat mulai memasarkan sirop markisa produknya. "Maaf, merek markisa Anda belum terkenal, pembeli hanya mau merek yang sudah terkenal dan kami juga cuma menjual yang sudah dikenal pembeli, lain kali saja ya...." Itulah ucapan orang yang diingatnya.

Kalimat itu selalu dia dengar setiap membawa sirop markisa buatannya dari satu toko ke toko lain. Ada juga satu-dua pemilik toko —yang entah iba atau memang penasaran dengan markisa merek Cemerlang bikinan Chairul—yang bersedia memajang di tokonya.

Namun, tetap lebih banyak sirop yang dia bawa pulang. Kadang bila jengkel, markisa itu diminumnya sendiri. Bila kebanyakan, dia bagi-bagikan ke tetangga, sekadar ingin mendengar komentar mereka tentang rasa markisanya.

Kejengkelan itu tak sampai membuatnya putus asa. Dengan sabar, ayah dua putri ini terus memasarkan markisa racikannya, kendati harus menghadapi penolakan demi penolakan.

Berbagai cara ia lakukan agar orang tertarik membeli, di antaranya mengemas markisa dalam beragam ukuran botol—dari yang kecil hingga besar. Selama ini umumnya kemasan markisa dalam botol ukuran sedang dan besar. Botol-botol markisa tak lagi dikemas dalam dus, tetapi dia "bungkus" dalam keranjang anyaman.

Dengan kemasan seperti itu pun tak serta-merta markisa produknya laris di pasaran. Ia lalu menyertakan produk markisa itu dari pameran ke pameran. Chairul bercerita, pernah dalam satu pameran di Jakarta dia sampai tak punya uang lebih selain cukup untuk biaya pesawat pulang bersama seorang anaknya.

"Tadinya saya pikir penginapan dan makan ditanggung pengundang, ternyata tidak. Terpaksa saya tidur di kolong meja tempat memajang produk selama pameran berlangsung. Saat itu saya merasa sangat sedih, terlebih bila mengingat anak perempuan saya," tuturnya.

Perjuangan tak kenal lelah dan perubahan kecil yang dilakukan Chairul membuahkan hasil. Markisa Cemerlang tak hanya ada di toko kecil, tetapi juga di toko swalayan dan penjual oleh-oleh khas Makassar. Markisa produknya menjadi salah satu oleh-oleh khas Makassar yang laris, bahkan telah diekspor ke Australia.

Petani dan perajin

Usaha sirop markisa Chairul boleh dikata salah satu yang mampu bertahan dan relatif berhasil di Makassar. Usahanya itu bahkan berkembang dengan produk yang lain, seperti kacang mede dan kopi.

Para tetangga Chairul yang awalnya sering mendapat sirop markisa gratis setelah ditolak pemilik, juga jadi punya pekerjaan tambahan. Ibu-ibu rumah tangga dan remaja putri yang menganggur, terutama di sekitar rumahnya, ikut membantu pembuatan markisa.

Semakin banyak bahan baku yang siap diolah, makin banyak pula ibu rumah tangga dan remaja yang ikut mendapat penghasilan dari usaha ini. Setidaknya ada 30 orang membantunya dengan upah minimal Rp 10.000 per hari. Chairul memproduksi sedikitnya 10.000 liter sirop markisa per bulan. Harga sebotol markisa berkisar Rp 18.000-Rp 50.000.

Keterbatasan bahan baku buah markisa dari hari ke hari juga mendorong dia melakukan kemitraan dengan ratusan petani markisa di Desa Kanre Apia, Kecamatan Tinggimoncong, dataran tinggi di Kabupaten Gowa. Kerja sama itu dimulai dari pembibitan, penanaman hingga menampung hasil panen mereka. Dimintanya pula para petani untuk menanam bibit markisa yang bagus dan memetik hanya buah yang betul-betul telah matang.

"Keterbatasan bahan baku membuat sebagian petani memetik markisa setengah matang, bahkan mentah, karena permintaan industri yang besar. Hasil panen petani maupun areal penanaman markisa juga kian berkurang. Hal ini membuat saya sering tidak kebagian, karena saya hanya menggunakan buah yang betul-betul matang. Dengan bermitra, saya bisa mendapat buah markisa yang saya butuhkan, bukan hanya dalam kualitas, tetapi juga kuantitas," katanya.

Kemitraan juga dia lakukan dengan perempuan-perempuan perajin anyaman di Kabupaten Takalar untuk kemasan botol markisa. "Kendati tidak seberapa uangnya, pembuatan keranjang anyaman memberi penghasilan tambahan bagi para perajin, tanpa mereka harus meninggalkan pekerjaan utama, menanam padi atau sebagai ibu rumah tangga. Menganyam itu mereka lakukan di waktu senggang," tutur Chairul.

Usaha markisa juga menjadi penopang hidup keluarganya, termasuk menyekolahkan kedua anaknya hingga S-2 di Institut Pertanian Bogor. Bahkan, istrinya pun bisa melanjutkan kuliah S-2 bidang Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar.

Dalam menjalankan usaha, keluarga Chairul kompak. Mereka turut terlibat dengan pembagian kerja yang berbeda, dan digaji secara profesional. Misalnya, salah seorang anak bekerja di bagian keuangan, dan mendapat gaji untuk prestasi kerja yang bisa dia capai.

Tidak sengaja

Sebenarnya usaha markisa Chairul bermula dari ketidaksengajaan. Ini bermula pada tahun 1996, saat Chairul dan istri yang sudah dikaruniai anak, bingung karena belum memiliki pekerjaan tetap. Segala upaya dia lakukan. Dia bekerja serabutan demi menafkahi keluarga. Dalam kebingungan itulah Chairul dan istri terpikir untuk membuat sirop markisa.

"Pemikirannya waktu itu sederhana saja. Markisa kan salah satu buah tangan khas Makassar. Di Indonesia tidak semua daerah punya buah ini. Saya berpikir, proses pembuatannya sederhana dan tidak butuh modal besar. Kami mulai usaha markisa ini lewat CV Surya Lestari," cerita dia.

Kendati terkesan mudah dan sederhana, nyatanya ia terkendala saat hendak memasarkan produk itu. Terlebih di tengah keberadaan puluhan industri markisa yang telah lebih dulu ada dan sudah punya nama.

"Selalu dibutuhkan inovasi atau perubahan sekecil apa pun dari produk yang sudah ada. Selain itu, yang lebih penting adalah usaha dan tak putus asa," ujarnya.

Jatuh bangun meniti usaha bukan hanya berlangsung dalam hitungan bulan atau setahun, tetapi hingga empat tahun. Ketika usahanya berjalan cukup bagus, bahkan berhasil mengekspor mulai tahun 2005, kendala tetap ada. Mulai dari keterbatasan bahan baku hingga modal usaha.

Keterbatasan kedua faktor itu pula yang membuat ekspor markisa produknya ke Australia belakangan ini tersendat. Permintaan besar dan pasokan bahan baku yang tak menentu menyebabkan ekspor tak bisa dipenuhi sesuai permintaan. Untuk mengatasinya, Chairul berharap pada kemitraan yang dirintisnya dengan para petani.

Modal usaha memang menjadi persoalan lain baginya. Bolak-balik ke bank dia jalani, meski kucuran modal belum berhasil diperolehnya. "Padahal, saya sudah menunjukkan bukti pemesanan dan jumlah produksi. Untunglah pemerintah mau membantu dengan penyediaan alat dan promosi," kata pria yang bertekad membangun pabrik sirop markisa ini.

Sumber : Kompas, Jumat, 28 Desember 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks