Jun 8, 2009

Y Andi Trisyono : Keprihatinan Andi atas Pestisida

Keprihatinan Andi atas Pestisida
Oleh : Djoko Poernomo

Banyaknya nama dagang pestisida yang beredar di Indonesia membuat prihatin Prof Y Andi Trisyono, yang pada hari Rabu 27 Desember 2006 menyampaikan pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Lewat pidato berjudul "Refleksi dan Tuntutan Perlunya Manajemen Pestisida" dalam sebuah acara di Balairung Kampus UGM Bulaksumur, Yogyakarta, Andi menuturkan bahwa tahun 2006 beredar 1.500 nama dagang pestisida. Ini berarti ada peningkatan cukup tajam dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Tahun 2004 hanya tercatat 1.082 dan tahun 2002 tercatat 813 nama dagang. Acara itu dipimpin Ketua Majelis Guru Besar UGM Prof Boma Wikan Tyoso.

Padahal, demikian Andi, penggunaan pestisida yang tidak tepat (misuse), berlebihan (overuse), serta tidak bijaksana (injudicious use) bersifat kontraproduktif. Pendapat ini juga disampaikan Metcalf, 1980.

Meningkatnya jumlah pestisida tersebut disebabkan oleh banyaknya pestisida generik yang terdaftar. "Bahkan cukup banyak ditemukan satu bahan aktif didaftarkan dengan lebih dari 10 nama dagang," tutur Andi yang merupakan guru besar termuda di Fakultas Pertanian UGM. Ia dilahirkan di kota kecil Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, 26 September 1963, sebagai anak sulung pasangan Paulus Sutrisno-Maria Magdalena Marsiyam.

Dari 30-an Guru Besar di Fakultas Pertanian UGM, 11 di antaranya berasal dari Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, tempat Andi berkantor sehari-hari selaku ketua jurusan tiga tahun terakhir. Di sela-sela kesibukan di jurusan, Andi juga menjadi wakil ketua Komisi Perlindungan Tanaman yang bertugas memberi masukan kepada Menteri Pertanian.

Pertengahan tahun 1980-an, tiga negara Eropa (Swedia, Denmark, dan Belanda) membuat produk hukum yang memberi mandat untuk mengurangi penggunaan pestisida sebanyak 50 persen sampai akhir tahun 2000. Motivasi yang melatarbelakangi kebijakan tersebut adalah respons terhadap kekhawatiran publik dan keinginan untuk meningkatkan nilai kompetitif produk pertanian di pasar global.

Tidak lama setelah tiga negara Eropa itu berkomitmen dan berhasil mengurangi penggunaan pestisida secara signifikan, AS atas inisiatif gabungan antara US Environmental Protection Agency, United States Department of Agricultute, dan Food and Drug Administration pada tahun 1993 mencanangkan hal yang sama melalui program adopsi pengendalian hama tanaman sebanyak 75 persen dari luas lahan sampai akhir tahun 2000.

Beberapa negara kemudian juga membuat produk hukum lain dengan mandat untuk mengurangi penggunaan pestisida. "Gambaran tersebut tampaknya berbalikan dengan apa yang terjadi di negara kita," tutur Andi, lulusan Fakultas Pertanian UGM tahun 1986.

"Meningkatnya jumlah nama dagang pestisida tanpa diikuti dengan meningkatnya jumlah bahan aktif, tidak memberikan nilai tambah terkait dengan usaha untuk memperkecil risiko penggunaan pestisida. Dalam hal tertentu justru akan memperbesar risiko," tegasnya.

Dengan nada prihatin Andi kemudian berkata, "Mungkinkah kita mengurangi jumlah pestisida yang diaplikasikan di bumi Indonesia 50 persen lebih rendah pada akhir tahun 2020 dari jumlah yang digunakan saat ini?"

Ia kemudian melanjutkan, sebagian program pertanian tampaknya belum selaras dengan harapan tersebut di atas, misalnya, penanaman beberapa komoditas pertanian secara luas dan monokultur—kelapa sawit, jarak, dan jagung—dapat berakibat meningkatkan penggunaan pestisida karena potensi terjadinya ledakan organisme pengganggu tanaman semakin besar.

Pertimbangan anak

Begitu lulus S-1, Andi langsung diterima sebagai dosen di almamaternya. Sembilan tahun kemudian (1995), ia meraih gelar MSc dari Michigan State University (MSU) East Lansing, Michigan, AS. Tahun itu pula ia mendapat jaminan beasiswa untuk program doktor dari dua universitas terkemuka di AS, yaitu MSU dan University of Missouri (MU), Columbia, Missouri.

"Saya sempat bimbang menentukan dua pilihan tersebut. Saya lalu minta pertimbangan kepada anak sulung saya," ungkap Andi terus terang. Anak sulungnya, Maria Riandika, kala itu masih duduk di kelas I sekolah dasar. Berdasar pertimbangan pindah ke Missouri bakal mengenal dan bersahabat dengan lebih banyak orang sesuai "saran" anaknya—kini mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM—Andi sekeluarga pun lalu pindah ke Missouri untuk mengambil program doktor di MU Columbia. Program ini diselesaikan pada tahun 1999.

Sebelum memutuskan mengambil gelar master di MSU, Andi sebenarnya juga sempat gamang, mengingat sang istri, Natalia Ekowarni, yang ditinggal di Indonesia tengah hamil tua. Dua minggu setelah melahirkan anak kedua yang kemudian diberi nama Ignatius Putra Andika (kini siswa SMP), Ekowarni baru menyusul ke Michigan. Anak ketiga, Alexander Bima Andika (kini siswa SD) lahir di Missouri menjelang kepulangan ke Indonesia. Untuk menunjang biaya hidup selama tujuh tahun di AS, Ekowarni bekerja paruh waktu.

Mengapa tertarik entomologi? "Saya dilahirkan di Muntilan dan sewaktu kecil sudah menjadi kewajiban ke sawah membantu orangtua. Jadi saya dipengaruhi pengalaman semasa kecil. Kalau kemudian tertarik ke ilmu serangga (entomologi) karena kehilangan hasil pertanian sebagian besar disebabkan oleh serangan hama yang notabene sebagian besar adalah serangga. Nah, di situlah sambungannya," tutur Andi. Kali ini dengan nada optimistis....

Sumber : Kompas, Senin, 15 Januari 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks