Jun 18, 2009

Wisnu Wardana, Dokter Gajah Liar

Wisnu Wardana, Dokter Gajah Liar
Oleh : Neli Triana

Berada di belantara Suaka Margasatwa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, tepat di tengah kelompok gajah liar, laki-laki separuh baya itu tampak santai. Kaus dan celana hitam selutut menjadi seragamnya, sendal jepit dan topi turut melengkapi.

Wisnu Wardana, demikian nama laki-laki asal Boyolali, Jawa Tengah, kelahiran 25 Mei 1959 itu, adalah salah satu dari segelintir dokter hewan di Indonesia yang ahli di bidang medis satwa liar.

Selama dua pekan hingga awal April ini, Wisnu sibuk luar biasa. Sabtu (8/4) siang itu, Wisnu baru selesai mengoperasi salah satu gajah liar yang sakit.

Bahu kanan gajah itu terinfeksi akibat lubang menganga karena tembakan. Sebelumnya, bersama dua dokter dari Yayasan Gajah Sumatera, Wisnu menyelesaikan operasi tiga gajah liar lain.

"Gajah ini merupakan bagian dari 10 ekor gajah liar yang menyerang Desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Maret lalu. Mereka ditangkap petugas setempat untuk dialihkan ke lokasi penampungan agar tidak mengganggu masyarakat. Namun, ada kesalahan prosedur sehingga justru gajah-gajah ini terluka parah dan hampir mati kelaparan," katanya.

Sebagai dokter yang dipercaya menjadi konsultan penanganan satwa liar oleh World Wide Fund for Nature (WWF), Wisnu langsung dihubungi begitu organisasi dunia pemerhati kehidupan satwa liar itu menemukan 10 ekor gajah liar dalam kondisi terikat, terluka parah, dan kelaparan di daerah Balai Raja akhir Maret lalu.

Pertama kali melihat kondisi 10 gajah liar itu, Wisnu yang juga bekerja di Balai Penyelidikan dan Pengujian Veterinary Regional II, Bukittinggi, Sumatera Barat, tak kuasa menahan air mata. Rasa sedih dan marah meluap di hatinya.

"Kaki mereka terluka begitu hebat karena tergerus rantai pengikat. Kulitnya terkelupas hingga menampakkan dagingnya yang kemudian membusuk. Tak ada makanan apa pun tersedia di sekitar gajah diikat. Mereka sudah 10 hari tidak makan!" ungkap Wisnu.

Semakin menyusut

Menurut Wisnu yang mengamati perkembangan masalah lingkungan di Riau sejak tahun 1985-an dan dari berbagai jurnal penelitian, gajah sumatera yang berhabitat di hutan Riau pada tahun 1980-an berjumlah sekitar 1.600 ekor.

Dalam waktu 20 tahun terakhir, populasi binatang endemik Sumatera ini terus menyusut. Tahun 2006, diperkirakan populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Riau kurang dari 300 ekor.

Populasi itu berkurang drastis akibat menipisnya luasan hutan, habitat alami binatang ini. Berdalih pembangunan dan peningkatan perekonomian rakyat, antara tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an pembukaan hutan di Riau sempat dilegalkan, antara lain lewat hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI).

Sebagai dokter yang juga ilmuwan dan peneliti, Wisnu mengerti benar tentang kearifan alam. Hutan ada untuk mengolah air dan udara yang tercemar agar kebutuhan dasar manusia dan seluruh makhluk hidup selalu terpenuhi.

Memahami fenomena alam, menurut Wisnu tidak harus dengan menuntut pendidikan formal. Yang penting keinginan selalu belajar dan sering-sering berada di lapangan, langsung menimba ilmu dari sumbernya.

Lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor tahun 1985 ini memang tidak terlalu menyukai gelar formal. Namun, berbagai kursus dan pendalaman materi serta praktik lapangan menyangkut dunia medis hewan telah dilakukannya hingga ke Munchen, Jerman, beberapa negara di Asia, dan Amerika Serikat.

Di Arkansas, Amerika Serikat, pada tahun 2003 ia mengikuti pendidikan dan pelatihan penanganan medis khusus satwa liar. Penanganan medis terhadap gajah liar adalah pilihannya dan menjadi bidang keahlian tambahan yang kini dia kuasai.

Hewan besar

Dalam kegiatannya sehari-hari, ayah dua putra ini antara lain berhasil melatih 17 anjing pelacak narkotika dan obat-obatan terlarang yang kini tersebar di berbagai bandara internasional di Indonesia. Tim anjing pelacak binaannya itu berhasil memergoki Corby, model asal Australia, dan enam warga Australia anggota sindikat perdagangan narkoba di Bali.

Wisnu juga laris diminta menjadi konsultan sejumlah kebun binatang di Indonesia. Selain membuka praktik pribadi di Jakarta dan Bukittinggi, ia menjadi pengawas Kebun Binatang Bukittinggi. Di kebun binatang ini, ia mulai intensif menangani hewan besar, seperti unta, orangutan, dan gajah.

Operasi kepala orangutan pernah dia lakukan dan binatang yang sempat divonis bakal kehilangan nyawa itu sekarang masih asyik menghibur pengunjung kebun binatang. Perkenalan dengan hewan besar itu turut memberinya bekal dasar menekuni penanganan satwa liar, terutama gajah.

WWF termasuk salah satu pihak yang kemudian mendaulatnya sebagai konsultan penanganan medis terhadap gajah liar. Kerja sama dengan WWF semakin mempererat "hubungan kasih"-nya dengan gajah liar. Menurut dia, gajah adalah binatang paling cerdas dan berperasaan halus.

Jumlah pakan yang dikonsumsinya sama besar dengan keuntungan yang bakal diperoleh alam dari kotorannya. Biji tanaman dalam kotoran gajah akan tersebar ke seluruh areal hutan sebab radius jelajah gajah mencapai 10 kilometer persegi.

Wisnu menegaskan, sudah waktunya pemerintah dan masyarakat Riau turut andil dalam pelestarian gajah. Kehidupan gajah dan satwa liar yang terjamin dalam hutan yang lestari berarti telah melestarikan kehidupan manusia.

Sumber : Kompas, Kamis, 13 April 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks