Jun 3, 2009

Ugi Sugriwa, Bersembunyi di Tempat Terang

Ugi Sugriwa, Bersembunyi di Tempat Terang
Oleh : Agustinus Handoko

Hujan kembali turun dan suhu udara makin dingin. Kabut menggantung di puncak-puncak bukit. Gemericik air berirama memecah kesunyian Kasepuhan Ciptagelar. Ugi Sugriwa Rakasiwi keluar dari imah rurukan atau tempat istirahat keluarga. Dia menyapa beberapa orang yang ingin menemuinya di teras, awal pekan kedua Desember.

Pembicaraan pun mengalir, sesekali menjadi serius, tetapi di kesempatan lain penuh tawa. Pemuda berusia 22 tahun ini mulai membiasakan menyebut diri abah, sebutan untuk orang-orang tua di lingkungan Sunda. Ketika itu Ugi masih lajang, tetapi dia harus disebut dan menyebut diri abah.

Abah Anom Ugi Sugriwa, begitu panggilannya. Sosoknya menjadi sangat sentral di Kasepuhan Ciptagelar, Kesatuan Adat Banten Kidul, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sepeninggal Encup Sucipta atau Abah Anom. Encup Sucipta yang menjadi sesepuh girang atau pemimpin adat Kasepuhan Banten Kidul meninggal dunia setelah menjalankan tugasnya selama 25 tahun. Maka, tongkat estafet ada pada Abah Anom Ugi.

Ema (Emak) mengungkapkan, Ugi tetap menggunakan nama Abah Anom meski dia masih muda dan belum menikah saat naik ke tampuk pimpinan adat, sama seperti almarhum Abah Anom. Pertengahan Januari 2008 Abah Ugi Sugriwa akan melangsungkan pernikahan dengan Destri yang berusia 19 tahun.

Dalam aturan adat Kasepuhan Ciptagelar, sesepuh girang harus segera melangsungkan pernikahan bila saat pengukuhan dia belum menikah. Ugi akan dikukuhkan menjadi sesepuh girang oleh baris kolot (para tetua adat). Namun, jauh hari sebelum Encup Sucipta meninggal, ia sudah minta pernikahan Ugi Sugriwa dilaksanakan pada Januari.

"Sempat muncul dalam hati, apakah saya sanggup memimpin adat dan menjalankan tugas dengan baik? Bebannya pasti berat," ujar Abah Anom Ugi Sugriwa. Pertanyaan itu muncul di hatinya beberapa bulan lalu, saat ayahnya secara tersirat minta dia melanjutkan kepemimpinan adat.

Saat itu Encup Sucipta bersama Ugi dan beberapa tetua adat sedang memilih jenis padi yang akan ditanam untuk memulai masa tanam adat. Dalam upacara melak pare atau menanam padi secara adat, pemimpin adatlah yang pertama kali menanam kemudian diikuti warga adat lainnya.

"Tahun depan, Aa Ugi yang harus melak pare," ujar Abah Anom Ugi menirukan ucapan almarhum ayahnya saat memilih padi yang akan mereka tanam. Kasepuhan Ciptagelar dan warganya hanya menanam padi setahun sekali sehingga upacara melak pare juga dilaksanakan setahun sekali.

Ugi sempat kaget mendengar ucapan sang ayah. Itulah ungkapan tersirat Encup Sucipta yang memilih Ugi memimpin adat sepeninggalnya. Perintah memimpin melak pare itu akhirnya dilaksanakan Ugi tahun depan.

Abah Anom Ugi Sugriwa harus memosisikan diri sebagai orang tua saat adat menjadikannya pemimpin kendati jiwanya masih merasa sebagai pemuda. "Kalau mau diikuti, sebenarnya saya masih ingin seperti pemuda lain. Namun, saatnya sudah tiba, saya harus berpikir jauh ke depan dan mengemban tugas dengan baik. Warga adat butuh panutan, saya harus mampu menjadi panutan mereka," ujarnya.

Belajar

Ugi kecil dibesarkan dalam adat istiadat ketat. Saat itu kasepuhan masih di Ciptarasa, belum pindah ke Ciptagelar pada 2001. "Baik buat kamu, jelek juga buat kamu," begitu Ugi menerjemahkan pola pendidikan ayahnya. Ugi diajarkan berpikir sendiri bahwa apa pun yang dilakukannya akan kembali kepadanya juga.

Sejak kecil Ugi menyadari dia anak tertua dari pemimpin adat yang memiliki 150.000 warga. Maka, kendati mengikuti arus anak-anak kecil seusianya, Ugi tetap belajar memegang adat. Salah satunya menghormati alam tempatnya berpijak. Sejak kecil pula ia menyadari, cara bertani yang dianut adatnya, seperti hanya menanam padi setahun sekali, adalah cara bertani yang bijak. Maka, hingga kini warga adat tak pernah kelaparan.

Ugi kecil adalah anak yang penasaran dengan hal baru. Saat dibelikan mainan dari kota, ia ingin tahu bagaimana mainan itu bisa berfungsi. Semua mainan yang dimiliki semasa kecil hancur karena keingintahuannya itu. Namun, dari situlah Ugi belajar. Sejak masuk sekolah menengah pertama, ia tertarik elektronika dan mempelajarinya secara otodidak.

Kampung Ciptagelar di rimba Gunung Halimun terisolasi dari komunikasi dengan dunia luar. Ugi memutar otak bagaimana caranya Ciptagelar terhubung dengan dunia yang lebih luas, dengan adat tetap dipegang.

Ia membuat pemancar radio yang menjadi media komunikasi satu arah dari adat kepada warga. Ugi memodifikasi pesawat telepon seluler agar mendapat sinyal di Ciptagelar dengan merakit antena yang frekuensinya disesuaikan dengan frekuensi seluler.

Ugi punya trik untuk menimba ilmu dari lingkungan di luar adat. Saat bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Warungkiara dan Sekolah Menengah Atas Cikembar, ia menyembunyikan identitasnya sebagai anak pemimpin adat.

"Dengan begitu saya bebas masuk ke semua kelompok. Bagi saya, tak ada untungnya menyebutkan identitas sebagai anak pemimpin adat. Orang tak akan terbuka karena takut saya melanggar adat," katanya. Ia merasa sedang bersembunyi di tempat terang. Bersembunyi untuk belajar.

Kini, Ugi sampai pada tahap paling menentukan dalam hidupnya. Dia harus bertanggung jawab atas masa depan warga adat yang tersebar di Banten, Bogor, dan Sukabumi. Warga adat juga tersebar di sejumlah kota hingga luar negeri.

Manajer jaipong

Dia membiayai sendiri pembuatan stasiun radio untuk alat komunikasi satu arah bagi adat dan memodifikasi telepon seluler.

"Abah Anom tak pernah memberikan modal sedikit pun untuk pembuatan stasiun radio dan modifikasi telepon seluler," cerita Ugi.

Dana yang dikeluarkan Ugi untuk radio dan telepon itu dikumpulkan dari uang saku saat dia sekolah. Selain itu, ia mengumpulkan uang dengan menjadi manajer kelompok jaipong milik adat.

Ia bercerita, pernah tak dipercaya Abah Anom saat memodifikasi telepon seluler agar bisa digunakan di Ciptagelar, yang saat itu tak ada satu pun sinyal provider yang tertangkap. Ugi bersikeras karena melihat teman sekolahnya memodifikasi pesawat yang sama. Saat modifikasi selesai, Abah Anom masih meledek dia.

Namun, sebulan berikutnya, pesawat telepon yang dimodifikasi itu justru menjadi barang kesayangan Abah Anom. "Beliau pernah berpesan, kalau telepon ini rusak jangan dibuang, disimpan saja," ujar Ugi.

Ia pernah ingin berkuliah ke Jepang untuk memperdalam ilmu elektronika. Namun, Abah Anom melarang, dengan alasan terlalu jauh dari adat.

***
BIODATA

Nama: Ugi Sugriwa Rakasiwi
TTL: Sukabumi, 16 Oktober 1985
Pendidikan:
- SD Linggarjati, Sukabumi, lulus tahun 1997
- SMP Warungkiara, Sukabumi, lulus tahun 2000
- SMA Cikembar, Sukabumi, lulus tahun 2003
- Pernah kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, Sukabumi, tetapi tak sampai selesai

Sumber : Kompas, Senin, 24 Desember 2007

2 comments:

Unknown said...

maaf ralat sedikit... lulus SMA thn 2004

Unknown said...

Luar biasa pemuda yang mempertahankan tradisi leluhurnya,juga Tanggap terhadap Modernisasi tanpa harus meninggalkan jatidirinya,Ya alloh ingin sekali aku bisa ke cipta gelar

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks