Jun 28, 2009

Tri Sabdono : Namaku Bre Redana

Namaku Bre Redana
Oleh : Linda Christanty

POSTER bugil Madonna. Parfum-parfum dari Loris Azzaro. Tempat tidur bambu. Lemari kayu. Sebuah ruang yang sederhana.

Dari kamar 3x3 meter persegi itu ia kerap melihat hujan lewat jendela. Ia selalu mendahuluinya dengan ritual kecil, tanpa suara; mematikan lampu, berbaring dalam gelap.

Ia senang mendengar jejak hujan pada atap, turun bergemericik di kolam kecil.

Sebelum lelap sebotol bir Bintang diteguknya. Jumlah botol yang kosong makin bertambah bila ia sulit memejamkan mata. Sebentar kemudian ia turun ke lantai bawah, membuka kulkas di dapur dan mengambil sebotol bir lagi. Rumah begitu sunyi. Ia menyalakan televisi, lalu duduk di sofa. Keponakannya, Ferri, sudah tidur sejak tadi. Joko, pembantunya, sudah pulas. Petman, anjingnya yang blasteran Chow Chow dan anjing kampung sudah mendengkur.

Pengaruh alkohol mulai terasa. Matanya mengantuk. Adegan televisi mulai mengabur. Ia bangun dengan susah-payah, lalu mendaki anak-anak tangga menuju kamarnya.

Dalam lelap ia tak bermimpi apa-apa. Dunia menjadi ringan.

Namun, malam ini tak ada hujan. Langit hitam pekat. Jalan aspal di muka rumah sunyi. Udara terasa bersih dan dingin.

Ia juga tak minum bir. Seorang perempuan menemaninya di perpustakaan.

“Setelah di Kompas saya nggak mau kerja di mana-mana lagi. Saya ingin pensiun, lalu menulis. Saya nggak mau diperbudak,” katanya.

Bre Redana meluruskan punggungnya di kursi, menghela napas dalam-dalam. Ia menggerai rambutnya yang keriting, panjang, dan beruban, lalu mencopot kacamatanya.

“Sekarang ini saya cuma pengrajin tulisan saja. Semua tulisan saya kerjakan dalam waktu singkat, sesuai permintaan, kayak gitu. Ya, pengrajin tulisan.” Ia terkekeh.

Ruangan ini dipenuhi musik. Suara penyanyi Cina—yang ia tak hapal namanya—bersenandung dalam irama tenang. Suara itu seperti denting pada dawai kecapi, bening dan tinggi.

Hampir tiga tahun ini ia tak punya waktu luang di hari Sabtu, bekerja sampai tengah malam, menyiapkan Kompas edisi Minggu. Ia menyunting tulisan sampai memeriksa tata letak. Ia juga bertanggung jawab terhadap feature di halaman pertama dan profil di halaman 12 suratkabar itu, dari Senin sampai Jumat. Ia redaktur budaya sekaligus kepala desk Kompas Minggu.

Di kantor tadi ia menunggu kabar terakhir dari Ambon pasca penangkapan Ja’far Umar Thalib dari Laskar Jihad. Ja’far ditangkap polisi di bandar udara Surabaya, Jawa Timur. Ia dituduh membakar emosi massa lewat pidatonya, selain dianggap menghina pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pendukung Ja’far di Ambon protes. Mereka membuat rusuh. Dua orang meninggal. Sebelas luka-luka.

Berjam-jam Bre menunggu. Tak ada perkembangan baru. Ia lelah sekali, tapi mencoba bertahan sampai pukul 23.00. Ya, sudah, itu kabar terakhir. Berita ini pun menjadi headline.

Seringkali menjelang tengah malam terjadi perkembangan drastis di lapangan. Ia tak boleh luput. Urusannya bisa ramai nanti.

“Don, mau ke mana?” tanya Soelastri, salah seorang staf redaksi, ketika melihatnya bersiap meninggalkan ruangan di lantai tiga itu.

“Ke Tanamur,” serunya, menyebut salah satu diskotik Jakarta, seraya menyambar ransel.

Ia hanya bergurau.

Bre masuk ke dalam lift. Nissan Terrano hitamnya menunggu di tempat parkir, pasti berembun. Ia ingin segera pulang, bukan ke kafe. Besok ia berangkat ke luar kota dengan penerbangan pukul 09.45.

“Untuk mewawancarai calon-calon wartawan di daerah. Ini yang melelahkan saya sebetulnya, melebihi pekerjaan rutin saya. Beban psikologisnya berat. Karena ini menentukan masa depan seseorang. Jangan sampai kita membuat kesalahan pada nasib orang, kayak-kayak gitu.”


BRE Redana baru saja lulus sarjana muda Bahasa Inggris dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, pada 1981 saat harian Kompas membuka lowongan wartawan. Ia nekad ke Jakarta untuk melamar.

Kereta api ekonomi jurusan Semarang-Jakarta itu berhenti di stasiun Gambir. Seorang pemuda kurus bercelana jins lusuh menggendong ransel terseret dalam arus penumpang turun. Ia melangkah ke luar stasiun, menyeberang ke arah jalan Merdeka Selatan. Ia terpaksa berjalan agak jauh untuk mencapai halte bus. Tak ada uang untuk naik taksi.

Kecemasan mampir juga di benaknya, “Keterima nggak, ya di Kompas?”

Seorang pemuda berambut gondrong melangkah di jalan yang sama. Mereka berpapasan. Keduanya sama-sama kaget. Mereka saling kenal. Akrab.

“Ariel! Eh, ngapain kamu?”

Ariel Heryanto adalah dosen dan temannya main teater di Satya Wacana.

“Kamu ngapain di Jakarta?”

“Ngelamar di Kompas.”

“Kamu ngapain kerja di Kompas? Jadi alat kapitalis,” sergah Ariel.

“Ya, saya nyoba-nyoba.”

“Udah, kamu pasti diterima.”

“Masak, sih?”

“Memangnya dites apa?”

“Bahasa Inggris sama psikotes.”

“Ya, udah, pasti lulus kamu.”

Ariel pun mengajak Bre menginap bersamanya di Hotel Transaera. Hotel tua, sederhana, punya kamar lumayan besar dengan dua ranjang, dekat stasiun. Bre menerima tawaran itu dengan senang hati. Tentunya, mereka tak lapor penjaga untuk menghindari tambahan biaya hotel. Ariel Heryanto tengah mengikuti tes beasiswa Fulbright untuk kuliah di Amerika Serikat. Semua biaya transportasi dan akomodasi para calon penerima beasiswa ini ditanggung Fulbright.

Niat Bre agak aneh di mata Ariel. Ketika itu lembaga swadaya masyarakat sebagai counter argument terhadap pemerintah sedang ngetren dan anak-anak muda yang cerdas serta kritis memilih bergabung di dalamnya. Pemerintah Presiden Soeharto sedang jaya dan sewenang-wenang. Tak suka orang punya pendapat berbeda. Otoriterisme ini harus dilawan bersama.

Tetapi, Bre punya cita-cita lain. Ia ingin bakat menulisnya berkembang. Suratkabar adalah salah satu wadah.

Kata-kata Ariel terbukti. Bre diterima di Kompas. Pertama kali bekerja, ia ditugaskan di desk kebudayaan, lalu dipindahkan ke desk olah raga, dan terakhir di desk metropolitan, sebelum kembali ke desk kebudayaan lagi.

“Hampir seluruh karir saya di Kompas di desk itu. Nggak tahu, kenapa nggak dipindah-pindah.”

Bre menulis apa saja, dari ketoprak keliling sampai tayub.

“Sejak pertama masuk Kompas, saya lebih tertarik pada kebudayaan massa ketimbang adiluhung, seperti teater rakyat, ketoprak, sandiwara keliling. Ini kesenian yang hidup di masyarakat dan saya menulis kesenian lebih untuk menulis masyarakat ketimbang keseniannya sendiri,” katanya.

Ia segera terseret dalam irama kerja yang cepat dan rutin. Tapi, tujuh tahun kemudian, mata rantai ini terputus. Penyebabnya, situasi politik Indonesia.

Pada 1988, terjadi ketegangan dalam pemilihan wakil presiden, antara Sudharmono dan Try Sutrisno. Sudharmono dari Golongan Karya, orang sipil. Try jendral bintang empat dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, militer aktif. Masing-masing, punya kepentingan dalam kancah politik nasional. Puncaknya, Sudharmono dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia. Meski ia kemudian terpilih jadi wakil presiden, dampak tuduhan tersebut meluas. Orang-orang yang dianggap “tak bersih lingkungan” di instansi pemerintahan diberhentikan. Ibarat epidemi, orang-orang media pun tak luput dari serangan. Harmoko, menteri penerangan ketika itu, gencar mengkampanyekan “bersih diri” dan “bersih lingkungan.” Pernyataan resminya dikutip koran-koran, “Ada PKI dalam tubuh pers kita.” Momok komunisme dihidupkan kembali.

Jakob Oetama, pemimpin redaksi Kompas, suatu hari memanggil Bre. Mereka bertemu di ruang kerja Oetama pagi itu. Hanya berdua.

“Keadaannya begini, kamu dianggap tak bersih lingkungan,” kata Oetama, agak enggan.

“Ya, sudah, kalau mau dikeluarin,” batinnya.

“Kamu sekarang nggak nulis dulu aja. Ya, kamu bantu-bantu apa, tapi nggak nulis.”

Ia sedih. Frustasi. Tak punya bayangan tentang hidup tanpa menulis.

“Kemungkinan Pak Jakob juga berpikir, itu bukan salah saya. Salah negeri ini, pemerintah ini. Tapi, mau bilang apa,” katanya, mencoba memahami keputusan Oetama.

Situasi semacam ini bahkan pernah terjadi di sebuah negara demokrasi, seperti Amerika Serikat. Pada 1945 senat Amerika menyetujui pembentukan House Committee on Un-American Activities, sebuah komite untuk memburu anggota atau simpatisan partai komunis. Komite tersebut lahir atas prakarsa Joseph McCarthy, seorang senator anti komunis. Di masa awal Perang Dingin negara-negara kapitalis dengan negara-negara komunis, Presiden Harry Truman membuat program penangkalan “subversi komunis” dan melibatkan komite tadi. Pada Maret 1947 sampai Desember 1952 sekitar 6,6 juta pegawai pemerintahan diperiksa. Program ini merembet ke berbagai sektor, seperti industri film dan media lain.

Komite menyebarkan jutaan pamflet yang diberi tajuk “One Hundred Things You Should Know About Communism (Where can Communists be found? Everywhere).” Komite menyusun daftar orang-orang yang dianggap sesuai kriteria mereka. Hasilnya? Banyak seniman, aktor, dan penulis tamat karirnya.

“Anti komunis, anti PKI ini legitimasi Orde Baru, sehingga untuk mempertahankan kekuasaan ia harus melakukan move ini, kalau mengendor, harus cari move lain. Stigma ini dipakai terus-menerus, kayak gitu,” kata Bre Redana.


BRE Redana berusia delapan tahun ketika ayahnya pergi. Ketika itu puluhan burung emprit terbang meninggalkan pohon kenari di muka rumah besar berdinding kayu milik keluarganya. Setiap hari ia melihat mereka pulang di sore hari. Pohon kenari menjadi sarang mereka. Cericit burung-burung itu riuh. Kelepakan sayap mereka menjauh pada pukul enam pagi.

Lalu-lintas masih sepi. Hanya derap andong dan langkah pejalan kaki terdengar sesekali. Udara dingin dari kota kecil Salatiga yang tenang mengalir dalam rumah.

Bulan Maret 1966. Angkatan Darat tengah merayakan kemenangan. Dipa Nusantara Aidit, ketua komite sentral Partai Komunis Indonesia ditembak mati pasukan yang dipimpin Kolonel Jasir Hadibroto. Pembersihan orang-orang komunis di seluruh Pulau Jawa dan Bali tengah berlangsung di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dari Resimen Para Komando Angkatan Darat. PKI dituduh merencanakan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno.

Para pembantu di rumah keluarga Gondo Waluyo tengah sibuk di dapur. Anak-anak belum berangkat ke sekolah. Tiba-tiba pintu ruang muka terpentang lebar. Orang-orang tak dikenal, tetangga, polisi, dan tentara berseragam memenuhi halaman. Mereka mengepung rumah.

Seakan sudah siap, Gondo Waluyo sudah mengemasi pakaiannya ke dalam tas. Ia menenteng tas yang biasa dibawanya ke kantor itu, lalu menghampiri sang istri.

“Saya mau diambil.” Ia pamit.

Semua berjalan amat cepat. Bre melihat ayahnya melewati ambang pintu. Orang-orang membawanya pergi.

Ibunya menutup pintu dengan kalut dan gugup, lalu berkata, “Papa dijemput teman-temannya.”

Pada siang hari Yutinem mengajak tiga putranya menjenguk ayah mereka di kantor polisi. Namun, sore hari pria yang dicintainya itu sudah tak ada lagi. Seseorang memberitahu, “Sudah dibunuh.” Puluhan tahun kemudian, Yutinem masih merasa pedih tiap mengenang suaminya, membayangkan ia hilang. Kebencian telah berakar dalam hatinya pada kekuasaan.

Setelah itu para tetangga menjadi sinis serta menjauh. Rumah mereka yang dulu ramai kini sunyi. Orang-orang takut mendekat. Bahkan, ada yang tega menakut-nakuti dan berteriak pada anak-anaknya, “Ada polisi!”

Situasi ini juga berlangsung di sekolah Bre. Pandangan mengejek terlihat di wajah sebagian anak. Mereka saling berbisik tiap melihat ia datang. Ia tak mendengar apa yang mereka katakan, tapi merasa dirasani.

Ia tumbuh menjadi anak pemalu, agak minder..

Namun, keadaan tersebut tak berlangsung lama. Orang-orang perlahan melupakan peristiwa itu, seperti tak pernah terjadi. Kehidupan berlangsung bagai sediakala.


MUSIM semi di Darlington, Inggris, 1990. Bunga-bunga crocus putih bermekaran. Seluruh kota seperti bersalju. Pohon-pohon oak dan pinus berbaris di sisi-sisi jalan Southend Avenue. Di muka rumah induk semangnya ada sebuah monumen kecil dari granit hitam. Ia membaca tulisan keemasan yang terukir di situ: crocus ini untuk mengenang cinta saya pada istri saya.

Bunga-bunga crocus putih adalah tanda cinta J Douglas Chilton untuk istrinya, Maude. Chilton, seorang bangsawan kaya, yang hidup pada abad ke-19. Ia tak memiliki keturunan, lalu mewariskan seluruh hartanya pada walikota Darlington. Namun, ia berpesan agar sebagian hartanya itu dibelikan bibit bunga crocus putih dan ditanami di seluruh kota. Chilton ingin semua orang mengenang cintanya pada sang istri saat mereka melihat bunga-bunga crocus mekar di musim semi.

Bre baru saja memenangkan lomba menulis pariwisata tentang kota Darlington. Potretnya sedang berjabat tangan dengan walikota dimuat koran setempat, Evening Chronicle. Rasa percaya dirinya kembali pulih. Ia bisa menulis lagi!

Dalam kamar sewaannya di lantai atas rumah kuno berkamar empat milik Maureen Vasarheley, seorang janda, Bre tercenung. Ia bersyukur menerima beasiswa dari pemerintah Inggris untuk kuliah Media Studies selama dua tahun di Darlington College of Technology. Setidaknya, kuliah bisa mengobati kekecewaan akibat situasi politik di Indonesia. Ia mengambil cuti tanpa tanggungan dari Kompas. Gaji tetap dibayar, tapi tunjangan hilang.

Darlington hanya berpenduduk sekitar 10 ribu jiwa. Jarang sekali orang asing bermukim di sini. Dari mereka yang sedikit itu, ia satu-satunya orang Indonesia.

“Kota ini saya impikan setiap saat, kota kecil, seperti Salatiga. Di sana ada buku kecil tipis yang dijual murah, sehingga kalau kita beli, kita akan tahu seluruh Darlington. Kita juga jadi tahu, angkutan kereta api pertama untuk penumpang ada di kota ini. Ada sejarah pasar, pedagang tertua, pemilik warung Capuccino paling enak,” ujar Bre.

Ia menikmati waktu senggang sepulang kuliah dengan minum Capuccino di kafe atau minum-minum sampai pagi dengan teman-temannya.

“Sampai jam dua pagi,” kenangnya, terkekeh lagi.

Ia menjejakkan kaki ke Inggris pada musim panas, Juni 1989. Ia tak langsung ke Darlington, tapi mampir di New Castle Upon-Tyne. Banyak klub musik di kota tersebut. Di tepi sungai Tyne itu pemusik dunia macam Sting pernah berpentas sebelum terkenal dengan kelompok The Police. Di belakang asrama mahasiswa tempat ia tinggal, ada sebuah stadion sepak bola. Ia pernah menonton pertunjukan Rolling Stones di sana, lalu mengirim ulasannya untuk Kompas.

Sepulang dari Inggris, ia kembali bekerja di Kompas. Namun, tema-tema artikelnya mulai berkembang, dari kesenian rakyat ke budaya massa.

“Saya melihat masyarakat kita sudah berubah. Menurut saya yang paling mencerminkan masyarakat kontemporer adalah mall, kafe, bioskop 21. Saya menulis budaya pop atau budaya massa, agar orang mengerti kapitalisme itu apa, sadar terhadap keburukannya, sehingga mereka tak begitu terlena amatlah, kayak-kayak gitu.”


COFFEE Club, kafe yang terkenal dengan sajian Capuccinonya di sudut lantai pertama Plaza Senayan, Jakarta Barat. Di salah satu ruangan coklat yang sejuk itu, di tepi jendela kaca berbingkai coklat, yang melapangkan pandangan ke arah para pengunjung, perempuan-perempuan berdandan funky serta wangi, yang hilir-mudik mencari kursi, seorang pria perlahan membuka halaman daftar menu. Ia sering menikmati Capuccino di sini, sendirian. Percakapan dan derai tawa menggemuruh, tapi keramaian justru memberinya rasa asing yang nyaman. Ia tak perlu bertegur sapa atau berbasa-basi dengan siapa pun, berbeda dengan kebiasaan saat bertemu tetangga di kampung halamannya di Salatiga, kota kecil di bagian tengah Pulau Jawa.

“Irish, ya. Tapi, kopinya sedikit saja,” katanya dalam nada tenor yang sopan pada pelayan, yang menunggu di sisi meja kayu sewarna ruang tersebut.

“Kopinya sedikit saja.” Ia mengulangi permintaan itu, seraya mengatur jarak sempit di antara jempol dan telunjuknya yang ramping.

Irish, sejenis minuman dari ramuan whisky yang dicampur kopi dan krim.

Ah, sebetulnya ia tak boleh minum kopi. Dokter melarangnya. Ia punya penyakit maag. “Sedikit aja masak nggak boleh?” pikirnya, nakal.

Sore itu ia kembali mengamati orang-orang yang datang melalui kaca jendela di sisi kirinya, sebentar-bentar menoleh dan tersenyum. Seorang pria berkemeja hitam dan berambut gondrong terlihat memasuki kafe, menarik perhatiannya. Ia tertawa sambil melambaikan tangan pada Dimas Jayadiningrat, sutradara videoklip Indonesia. Jayadiningrat membalas lambaian dan tawanya, tapi mereka tak saling mendekat.

Pelayan datang membawa pesanan, Irish dan Capuccino, lalu menaruh cangkir-cangkir yang mengepulkan aroma pahit itu di atas meja. Bre meraih pot gula dan membubuhkan dua sendok kecil serbuk manis tersebut ke dalam Irishnya dengan tenang.

“Belum diberi gula,” katanya, menunjuk Capuccino teman wanitanya.

Sepotong cinnamomum burmani, kayu manis, menggeletak di sisi cangkir. Keras, harum, coklat.

“Itu untuk mengaduk,” katanya, lagi.

Ia suka minum kopi di sini, kalau bete di kantor. Jarak kantornya ke Plasa Senayan dekat, cuma 10 menit. Inilah tempat yang membuatnya merasa berada di sebuah unikum dari kelahiran seni kontemporer.

Gaya rambut, busana, selera musik, makanan, dan pemikiran anak-anak muda yang nongkrong di situ berbeda, khas, bahkan terputus dari generasi sebelumnya. Mereka nonton MTV, makan Big Mac, dan gemar surfing atau chatting di internet. Mereka inilah generasi yang mencipta film Ada Apa dengan Cinta, Jelangkung, atau Pasir Berbisik. Dari mereka pula lahir Dewi Lestari, penyanyi yang menulis novel Supernova atau Ayu Utami yang menulis Saman. Karya-karya mereka tak bisa dinilai dengan kerangka orang menilai karya Pramoedya Ananta Toer atau Achdiat Kartamiharja. Tak ada keterkaitan sejarah, tak ada keterikatan nilai dengan masa lampau.


BRE tiba-tiba mematikan lampu, berjalan ke jendela, menggesernya. Ia sering melihat bulan purnama dalam gelap. Namun, tak ada bulan kali ini, walau sepotong. Ia kembali menyalakan lampu, menuju kursinya dan bertelekan di meja.

Ia terlahir sebagai Tri Sabdono. Bre Redana bukan nama sebenarnya, hanya nama untuk berdamai dengan sejarah.

Di usia yang hampir 45, Bre masih melajang. Ibunya khawatir ia akan sendirian selamanya.

“Punya pacar?” tanya saya.

“Kadang ada, kadang nggak.”

“Ibu bilang, banyak.”

“Ibu sebutkan semuanya?” Tawanya berderai

Bre merasa ia mungkin seperti Tomas, tokoh dalam Unbearable Lightness of Being. Ini salah satu novel Milan Kundera, penulis Cekoslovakia yang ia suka.

Tomas adalah orang yang ingin melepaskan diri dari semua ikatan yang berlaku, termasuk dengan perempuan. Ia menjalin hubungan erotis dengan Sabina dalam waktu yang panjang, tapi mereka sama sekali tak menyebut cinta di sana.

Suatu hari Tomas berjumpa perempuan lain di bar hotel, Teresa. Mereka saling jatuh cinta. Tapi, cinta pun ternyata bukan penyelesaian buat Tomas. Ia kaget melihat Teresa berdiri di muka pintu apartemennya, menjinjing dua koper. Tomas merasa dalam dua koper itu tersimpan seluruh hidup Teresa, yang hendak diserahkan padanya.

“Rumus hubungannya dengan perempuan itu kira-kira begini: Kamu memilih hubungan yang mana? Kamu bertemu dengan seorang perempuan, jatuh cinta habis-habisan, kemudian kalian pulang ke rumah bersama, bercinta selama seminggu atau dua minggu, setelah itu kalian ternyata bosan, merasa tidak cocok, dan tidak ketemu lagi seumur hidup. Atau pola yang kedua, ketemu wanita dalam sebuah petang di kafe, pulang ke rumah bersama, tidur bersama, terus pagi harinya kaget karena ternyata jam delapan pagi ini ada appointment, si cewek juga terkaget-kaget ternyata ada meeting. Masing-masing kabur ke tempat kerja, dan seharian itu tidak sempat bertelepon, besoknya juga tidak bertelepon, hari ketiganya makin lupa, hari keempatnya sudah tidak merasa kenal lagi, tapi dua minggu kemudian, mereka saling ingat, bertemu dan bercinta lagi. Dalam hubungan Tomas dan Sabina sebetulnya ada komitmen yang sangat mendalam, sampai akhir hayat Tomas. Jadi, dalam karya yang kelihatan hubungan manusia itu amburadul ada sebuah nilai yang sangat dahsyat.”

Tokoh Tomas yang dokter bedah ini tersingkir dari negerinya, Cekoslowakia, akibat invasi Rusia. Ia melarikan diri ke Prancis. Sebagai intelektual bebas, Tomas tak ingin mengikuti doktrin negara komunis yang menyeragamkan semua hal.

“Tomas tak mengecam komunisme, karena yang diperjuangkannya bukan ideologi apa pun, tapi kebebasan,” kata Bre.

Ia juga tak menaruh dendam pada masa lalu, juga tak menyesali apa pun. Ia penganut historisisme, salah satu mazhab besar pemikiran. Manusia jadi pahlawan atau pemberontak akibat konsekuensi sejarah.

“Jadi, ada sebuah insiden sejarah, sebuah kecelakaan sejarah, yang menjadikan satu pihak sebagai pahlawan, yang satu pihak yang lain menjadi korban. Ayah saya, sayangnya, berada di pihak yang jadi korban.”

Pukul tiga pagi. Sebuah rumah mungil berjendela kaca patri warna-warni di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, berjaga sejak malam. Lampu masih menyala di perpustakaan. Suara penyanyi wanita Cina masih terdengar. Empat jam lagi ia harus sampai di bandara. *

Sumber : Aceh Feature, 3 Juni 2002

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks