Jun 28, 2009

Eddie Bloom : Eddie

Eddie
Oleh : Linda Christanty

KAMPUS Universitas Michigan. Suatu malam di bulan Oktober 1960. John Fitzgerald Kennedy, calon presiden Amerika ke-35, bercerita tentang impiannya.

Dia ingin generasi muda Amerika terlibat dalam perdamaian dan pembangunan di seluruh dunia. Dia mengajak mereka melawan tirani, kemiskinan, wabah penyakit, dan perang.

Kennedy meresmikan Peace Corps pada 1 Maret 1961.

Seorang pemuda Chicago bernama Eddie Bloom bergabung dengan Peace Corps, karena terkesan pada misi organisasi itu. Dia sarjana muda psikologi lulusan Western Illinois University. Dia mudah tersentuh melihat penderitaan orang lain. Eddie tak ingin hanya memikirkan diri sendiri, meski hidupnya penuh kesulitan.

Dia anak ke-12 dari 16 bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai salesman. Mereka tinggal di rumah milik pemerintah di Oak Lawn, di pinggiran Chicago, dan pindah dari sana menjelang dia masuk sekolah menengah. Eddie menyebut tempat itu “ghetto”. Mayoritas warga berkulit hitam. Perkelahian rasial sering terjadi si situ. Sekelompok pemuda kulit hitam dan kulit putih saling serang. Namun, Eddie punya banyak teman kulit hitam dan bergaul akrab dengan mereka.

“Waktu saya taman kanak-kanak, dari tiga puluh anak di kelas, hanya dua yang berkulit putih, yaitu saya dan seorang lagi,” kenangnya.

Dia melihat ketidakadilan berlangsung di negerinya. Orang kulit hitam sangat sedikit memperoleh pendidikan dan hidup layak. Diskriminasi menumbuhkan sikap anti-ras.

“Macam-macam diskriminasi masih terjadi di Amerika sampai hari, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap perempuan, banyak lagi…”

Peace Corps mengirim Eddie ke Afghanistan pada 1977. Masa tugas dua tahun tanpa jeda. Usianya 22 tahun ketika itu.

Afghanistan dalam konflik politik. Sardar Mohammed Daoud berkuasa setelah menggulingkan saudara tirinya Zahir Shah pada 1973. Masa pemerintahan Daoud diwarnai pertumpahan darah. Klimaksnya, Daoud dan seluruh keluarganya tewas dalam aksi kekerasan pada 1978. Pemerintahan terpecah dua; kubu sipil dan militer. Pemerintah Uni Soviet mendukung kubu militer, sedang pemerintah Amerika mendukung seterunya. Muhammad Taraki, “orang Moskow” yang menggantikan Daoud, juga tewas dieksekusi akibat perselisihan dua faksi kiri. Kematian Taraki membuat Uni Soviet marah.

Eddie ada di Kabul, ibu kota Afghanistan, saat peristiwa itu terjadi. Dia mengajar Bahasa Inggris di Universitas Kabul dan mengembangkan kurikulum untuk membaca serta menulis dalam Bahasa Inggris. Pihak intelijen selalu hadir di kelasnya, mendengar dan menunggu apakah dia melontarkan kata-kata yang bersifat politis.

“Seorang teman saya, juga anggota Peace Corps ditangkap militer, dijebloskan ke penjara, diinterogasi selama tiga hari dengan tuduhan sebagai mata-mata CIA,” kisah Eddie.

CIA atau Central Intelligence Agency merupakan lembaga intelijen pemerintah Amerika.

Huru-hara berdarah terus berlangsung. Tank-tank Uni Soviet mulai datang. Pesawat-pesawat jet tempur membelah langit Afghanistan, memekakkan telinga. Warga yang mengenal Eddie sering mampir ke rumahnya dan memohon padanya agar membawa mereka keluar dari wilayah yang makin terpuruk dalam konflik itu.

“Ketika suara tembakan datang, saya bersembunyi dalam rumah. Saat keadaan berangsur sepi, saya diam-diam mencoba mengintai di jendela, ingin mengetahui apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba tentara sudah di depan jendela dan mengarahkan moncong senjatanya pada saya, saya langsung merunduk lagi,” kisahnya.

Pembantaian terhadap Adolf “Spike” Dubbs, duta besar Amerika untuk Afghanistan, pada Juli 1979 membuat pemerintah Amerika memutuskan mengevakuasi warganya dari sana. Sebelum serbuan Uni Soviet ke negeri tersebut pada Desember 1979, Eddie sudah hengkang.

“Tapi Afghanistan sangat kuat. Sejak masa Jenghis Khan, Afghanistan tak bisa dikuasai. Seluruh Asia nyaris jadi taklukan Jenghis Khan, tapi tidak Afghanistan. Inggris berhasil menjajah India, Pakistan, dan menjadikan mereka daerah berbahasa Inggris, tapi tak bisa menaklukkan Afghanistan. Sepuluh tahun Rusia menginvasi Afghanistan dan lagi-lagi gagal, sama seperti Amerika kehilangan Vietnam.”

Masa-masa penuh ketegangan usai. Eddie pun melanjutkan kuliah di Ohio University. Dia belajar ilmu politik dan kajian internasional dengan Indonesia sebagai fokus.

Setelah lulus kuliah, Eddie bekerja di Texas Rehabilitation Commission atau disingkat TRC, lembaga milik pemerintah federal yang mengurus berbagai kepentingan warga, mulai dari pendirian sekolah untuk orang buta sampai pemberian tunjangan untuk pengangguran.

Eddie bekerja selama 23 tahun di TRC, menduduki berbagai posisi. Dia membawahi 900 staf saat menjabat Deputy Commissioner TRC. Ini jabatan terakhirnya sebelum minta berhenti.

“Teman-teman saya bilang, saya benar-benar gila, karena saya punya pekerjaan yang sangat baik, menghasilkan banyak uang, dan sekarang saya tidak menyukainya,” katanya, tersenyum.

Kini Eddie Vice President Austin International Rescue Operations (AIRO), sebuah yayasan yang membuat perahu dan jaring untuk nelayan Aceh pasca-tsunami.

“Di AIRO saya digaji sedikit,” katanya, seraya memamerkan jarak sempit antara jempol dan telunjuknya, “Saya justru banyak menghabiskan uang pribadi saya di sini,” lanjutnya, tersenyum lagi.

Meskipun hidup tak semapan dulu, Eddie bahagia bisa melakukan sesuatu untuk orang lain.

Saya berkenalan dengan Eddie di sebuah kedai kopi di Ulee Kareng, Banda Aceh, pada 15 Januari lalu. Eddie biasa minum kopi di situ sambil membaca suratkabar The Jakarta Post. Penampilannya sederhana. Kaos oblong, celana jins, sepatu sandal. Bicara cepat, bersemangat.

Selain saya, tak seorang perempuan pun tampak di kedai itu.

“Coba kamu lihat! Semua laki-laki. Saya tidak bisa duduk atau bebas ngobrol dengan kamu di Afghanistan, tapi di sini kamu bisa sendirian bersama saya, kamu tidak mengenakan kerudung, tidak memakai baju lengan panjang. Islam di Aceh lebih fleksibel, lebih terbuka. Di Afghanistan kamu harus jadi muslim. Kamu harus patuh pada hukum Islam. Saya harus mengenakan pakaian muslim di sana,” kata Eddie.

Namun, tak berapa lama, dengan suara rendah, Eddie berkisah tentang pria yang sering mondar-mandir di depan kantornya.

Pria ini suatu ketika menegur Eddie, “Apa kamu muslim?”

Eddie menjawab, “Saya Katolik.”

“Kamu harus belajar agama Islam dan masuk Islam. Kalau muslim, kamu masuk surga. Kalau tidak, kamu masuk neraka,” balas si pria.

Perasaan Eddie jadi kecut.

“Tahu nggak, wajahnya serius sekali. Dan itu bukan becanda,” kata Eddie pada saya.

Hukum Islam mulai diterapkan di Aceh. Pada Jumat, 27 Januari lalu, sepasang kekasih dihukum cambuk di pelataran masjid Jamiek Lueng Bata, Banda Aceh. Mereka dituduh melanggar qanun tentang khalwat atau berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Qanun adalah aturan administrasi pemerintahan daerah Aceh. Serambi Indonesia, suratkabar dengan oplag terbesar di Aceh, pada 1 Februari 2006, memuat berita pelaksanaan hukum cambuk atas 14 pemuda yang berjudi. Dua di antaranya masuk rumah sakit, karena tak sanggup menahan sakit luka cambuk.


RUMAH merangkap kantor Eddie terletak di Jalan Hasan Krueng Kalee No.25, Lampulo, tepat di depan pasar Peunayong. Di belakang bangunan ini mengalir Krueng Aceh atau Kali Aceh yang hitam keruh. Warga membuang bangkai ayam, bebek, bahkan biawak serta sampah rumah tangga mereka ke dalamnya.

Bau busuk dan amis daging langsung menyerbu rongga hidung ketika saya melangkah di lorong sempit di muka jajaran toko dan kios itu.

Meja-meja kayu memenuhi jalan. Ayam hidup. Ayam mati. Daging sapi. Ikan tongkol. Ikan mata merah. Udang... Tanah becek. Air menggenang. Lalat-lalat hinggap, terbang, mendengung. Orang lalu-lalang, tawar-menawar. Pasar riuh.

Seorang perempuan berjilbab menunggu di muka pintu bangunan tiga lantai itu. Dia mempersilahkan saya masuk. Namanya, Diana. Dia sekretaris merangkap bagian keuangan AIRO.

“Nama kantor ini Big Fish. Kamu pernah nonton film Big Fish? Di film itu ada tokoh bernama Edward Bloom. Nama saya sebenarnya Edward, kemudian lebih sering dipanggil Eddie. Ini kebetulan. Edward Bloom dan Big Fish,” kata Eddie, bernada riang.

Big Fish, film yang disutradarai Tim Burton, mengisahkan hubungan ayah dan anak laki-lakinya, Edward Bloom dan Will Bloom. Ketika ayahnya meninggal, Will tertarik menyelidiki kebenaran dalam cerita hidup sang ayah yang fantastis. Dia ingin memilah fakta dari fiksi.

Lantai bawah bangunan ini relatif kosong. Ada sebuah kursi panjang kayu dekat pintu masuk. Di tengah ruang teronggok semacam peti kayu yang belum selesai. Lantai dua berfungsi sebagai kantor. Seperangkat komputer, meja tulis, dan beberapa kursi mengisi ruangan ini. Foto-foto kegiatan AIRO terpampang di salah satu dinding.

“Perahu pertama AIRO,” ujar Eddie, menunjuk potret tiga perahu biru berjajar.

AIRO punya tiga proyek di Banda Aceh, yaitu pembuatan perahu di Krueng Raya, rehabilitasi perahu di Lampulo, dan pembuatan jaring yang juga di Lampulo.

“Sudah 32 perahu yang jalan. Sekarang AIRO akan bikin 50 perahu lagi, kerja sama dengan LDS, dan bikin 30 perahu untuk kerja sama dengan UN-FAO. Di Lampulo, kami memperbaiki 6 perahu besar, panjangnya masing-masing 23 meter, terus… kami juga membuat 6 jaring untuk perahu nelayan di Lampulo,” jelasnya, panjang lebar.

LDS singkatan dari Latter-Day Saint Charities. Lembaga ini badan amal milik Gereja Mormon. UN-FAO atau United Nation-Food and Agriculture Organization adalah salah satu lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian.

Lampulo, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari pasar Peunayong, adalah sentra ikan penting sebelum tsunami. Sirkulasi uang di situ hampir Rp 500 juta tiap hari.

“Pedagang kecil, pedagang besar, dari boat es, boat minyak, itu sirkulasi keuangan, jadi hiduplah orang itu, itu lebih kurang untuk muge… pedagang kecilnya aja lebih kurang 3000,” kata Yusrizal, salah seorang nelayan.

Menurut Yusrizal, dia pernah meminta bantuan perahu dari lembaga-lembaga besar, tapi mereka tak menanggapinya. Padahal seringkali bantuan itu mubazir dan salah sasaran.

“Misalnya, jumlah nelayan 40 orang, jumlah bantuan 60 boat, jadi 20 lagi yang terima terpaksa tukang becak atau yang jual kelontong di kedai, syukur-syukurlah mereka, apalagi itu bantuan pre (gratis) jadi kan diterima.”

Empat bulan lalu Eddie datang menemui panglima laut Lampulo dan menawarkan bantuan untuk nelayan di situ.


USIA AIRO baru setahun. Pembentukannya bersifat dadakan.

Pada Januari 2005, Eddie cuti kantor selama sebulan. Tapi cuti kali ini tidak untuk bersenang-senang. Dia dan dua teman akrabnya, kakak beradik Aaron dan Eric Lyman, memutuskan pergi ke Aceh yang dilanda tsunami pada 26 Desember 2004. Mereka nekad jadi relawan.

“Saya transit di Singapura tepat pada hari ulang tahun saya, 25 Januari 2005. Pada 26 Januari saya tiba di Jakarta, terus ke Aceh. Ketika pertama kali datang ke sini, keadaannya sangat parah, banyak mayat, di Krueng Raya, di Ulee Lheue, contohnya. Sebagian bahkan masih berada di air… Benar-benar menyedihkan dan itu membuat seluruh tenaga saya lenyap. Sesudah dua minggu, saya pikir mungkin lebih baik saya pulang saja. Saya beritahu teman saya, ‘tahu nggak, kita tidak akan bisa melakukan apa-apa di sini, bencananya terlalu besar’, “ kata Eddie.

Eddie sampai lebih dulu di Banda Aceh. Penyakit hernia Aaron kumat dan dia harus dioperasi di Jakarta, sehingga Eric harus menemani kakaknya. Mereka juga sempat mengalami musibah di bandar udara Jakarta. Aaron kehilangan tas berisi pompa air canggih yang sengaja dibawanya untuk Aceh.

Eddie menumpang tidur di kantor Islamic Relief selama 4 minggu. Islamic Relief adalah sebuah lembaga internasional yang mendukung pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat lokal, tanpa peduli ras, agama, dan gender. Lembaga ini datang ke Aceh sehari sesudah tsunami. Mereka membangun rumah dan sekolah.

Seminggu kemudian, Eric menyusul Eddie. Aaron tetap di Jakarta untuk pemulihan pasca operasi.

“Saya bilang pada Aaron agar dia jangan ke sini dulu. Risiko terinfeksi sangat tinggi. Di sini kotor sekali.”

Dalam situasi tak menentu, Eddie dan Eric ikut pertemuan dengan berbagai organisasi dan pemerintah di media center. Mereka ingin membantu nelayan, tapi orang-orang yang hadir ingin data. Mereka diminta kembali minggu berikutnya setelah data terkumpul. Eddie tak menyerah.

Dia melihat Alwi Shihab, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, hadir di situ. Eddie langsung menemui Alwi Shihab dan mengungkapkan keinginannya membantu nelayan di Krueng Raya.

“Saya bilang kami di sini sudah empat minggu, saat dia pergi kami harus tinggal, kami tidak punya organisasi, kami tidak punya birokrasi, Alwi Shihab bilang, oke, kemudian dia menelepon orang untuk ke Krueng Raya. Kami kemudian mengajak pak khecik, panglima laut, setiap orang duduk menunggu dan kami mulai mencatat semua informasi demografi, populasi, mata pencarian, berapa jumlah orang yang hilang, berapa banyak orang yang tinggal di kamp pengungsian, sangat mudah,” kenang Eddie.

Namun, hambatan lain masih ada. Tiap mereka ikut pertemuan, orang bertanya mereka dari mana dan dengan ‘siapa’.

“Kami di sini tidak dengan siapapun, tidak dengan siapa-siapa, kami hanya tiga cowok, tapi mereka tidak menanggapi kami… sehingga kami menelepon Aaron. Aaron, kita harus jadi sebuah organisasi, kita tidak bisa hanya jadi tiga cowok begini. Kami berpikir soal nama… Aaron bilang bagaimana kalau AIRO, oke.”

Di Jakarta Aaron pun sibuk membuat kartu nama, kop surat, dan rompi. Eddie membeli stempel. Mereka kini punya organisasi.

“Waktu kami datang ke pertemuan yang sama di media center dan mereka tanya kami dengan siapa, kami bilang kami dengan AIRO, mereka bilang, Oh, AIRO, bagus, Bagaimana kami bisa membantu kamu?... Oh, kami perlu 10 perahu, oke di sini… kami perlu generator, oke pakai generator…kami perlu alat, oke, di sini, di sini, di sini… “

Setelah itu Eddie pulang ke Amerika. Dia kembali masuk kantor, sibuk, dan mengurus hal-hal rutin. Tapi hanya dua bulan. Dia gelisah. Dia ingin kembali lagi ke Aceh. Setelah menulis surat pengunduran diri dari TRC, dia langsung terbang ke Aceh.

“Saya menyukai tempat ini. Nggak tahu kenapa,” katanya, termenung-menung.

Dia kemudian bercerita bahwa banyak pedagang di depan kantornya tak bisa berbahasa Indonesia. Mereka menatapnya heran saat dia menyapa, “Apakabar?” Namun, mereka berubah ramah begitu Eddie mengucap, “Pu haba?” ‘Pu haba’ sama dengan ‘apakabar’. Mereka justru membalasnya dalam Bahasa Inggris. Good morning!


KATA favorit Eddie yang selalu muncul dalam percakapan kami adalah ‘perahu’. Sore itu dia mengajak saya pergi ke tempat pembuatan perahu di Krueng Raya, sekitar 45 menit perjalanan mobil dari Banda Aceh. Seminggu sekali dia datang untuk melihat tukang-tukang bekerja, memperhatikan perahu-perahu dibuat.

“Tukang yang bekerja ada 14 orang, terikat kontrak, keahliannya dipelajari dari UN FAO. Tentang proyek Krueng Raya, baru pertama kali di Aceh, sebagai proyek percontohan. UN FAO mungkin baca koran atau tahu dari media, bahwa banyak bantuan yang tak bisa diserap karena mutu daripada kapal sendiri yang tidak bagus,” kata Bambang Irawan, salah seorang staf Eddie, yang ikut serta.

Bambang hampir setahun bekerja di kantor Eddie. “Dengan Eddie semua urusan jadi mudah, nggak rumit,” katanya. Bambang asal Malang, Jawa Timur. Ketika darurat militer di Aceh, dia memboyong anak dan istrinya ke Jawa.

Bangsal pembuatan perahu berada di tepi laut. Di belakang bangsal terdapat bangunan untuk menyimpan kayu. Kayu-kayu yang masih basah tak boleh disatukan dengan yang kering. Tiap balok kayu diberi tanda sesuai masa penjemuran.

Lima perahu berjajar dalam bangsal. Belum rampung pembuatannya. Dibutuhkan waktu 6 minggu untuk menyelesaikan lima perahu ini.

“Ini perahu Cadillac. Mahal. Tapi tahan lama. Perahu tradisional cuma tahan 3 tahun. Perahu ini tahan sampai 15 tahun,” kata Eddie, bangga.

Cadillac adalah merek mobil mewah buatan Amerika.

Paku untuk perahu terbuat dari baja, tahan karat. Kayu harus benar-benar kering agar tak mudah bocor. Perahu AIRO punya lebih banyak pasak penyangga di bagian dalam ketimbang perahu tradisional, sehingga dinding-dindingnya lebih kuat terhadap tekanan air. Bentuk perahu lebih ramping dan membuat lajunya lebih cepat. Perahu tradisional hanya punya satu lunas, sedang perahu AIRO tiga lunas.

“Lunas tiga membuat kapal kokoh dan kuat, awet dan tahan hempasan gelombang,” kata Bambang.

Balok memanjang di dasar perahu disebut lunas.

Sore itu Tengku Abdulhadi dari Langkah Raseuki, sebuah lembaga pemberdayaan ekonomi masyarakat, juga datang ke lokasi pembuatan perahu, langsung dari Lhokseumawe. Jarak Lhokseumawe-Banda Aceh sekitar 6 jam. Dia ingin AIRO menyumbangkan perahu untuk nelayan-nelayan di Lhokseumawe. Dia sudah mendengar tentang kualitas perahu Eddie.

“Tapi saya mau dibuat perjanjian hukumnya. Jadi nelayan tidak boleh menjual perahu ini. Barangsiapa yang menjual terkena sanksi. Mbak tahu sendirilah, kalau nelayan itu berhutang, terus dia bingung membayarnya, dia bisa bilang… ya sudah ambil saja itu perahu,” kata Abdulhadi.

Eddie tampak senang. Dia mondar-mandir menjelaskan ini itu pada Abdulhadi.


SABTU, 22 Januari 2006, dia mengundang saya makan malam. “Saya akan masak untuk kamu. Kamu suka apa? Udang? Oke, saya akan masak udang. Kamu harus datang sekitar jam setengah enam… untuk melihat matahari terbenam di atas Krueng Aceh, indah sekali.”

Saya melewati pasar yang ramai itu lagi, menyusuri lorong sempit, mencium aroma lumpur bercampur amis.

Sore itu saya memotret Eddie satu kali di tempat jemuran. Klik. Langit hitam, kelabu, jingga jadi latar belakang. Air Krueng Aceh berkilau di lensa.

“Dulu di sini berantakan sekali. Sampah tinggi sekali…” Eddie mengenang saat tsunami.

Malam itu dia memasak cap cay. Irisan jahe, bawang putih, kembang kol, wortel, udang… ditumis dalam kuali. Tak berapa lama nasi cap cay tersaji di meja.

“Kamu suka musik apa?”

“Hoobastank, Switchtoot, Finn Brothers,” kata saya.

Dia meraih iPod, mencari lagu grup musik kesayangan saya. Dia menggeleng putus asa. Tak ada. Dia suka Ray Charles dan Willie Nelson. Tapi akhirnya kami mendengar Eric Clapton.

Kami bercakap-cakap sambil makan. Ternyata warga biasa di Amerika ikut menyumbang dana untuk AIRO. Itu pula yang membuat dia dan kakak beradik Lyman, memilih yayasan sebagai bentuk organisasi mereka. “Bukan untuk bisnis, karena ada dana publik di situ,” katanya.

Dia bercerai dari istrinya sepuluh tahun lalu. Anak laki-lakinya, 19 tahun, baru kuliah tahun pertama di universitas di Amerika. Dia benci George Bush, presiden Amerika sekarang.

“Bush menciptakan banyak terorisme, mencipta kekerasan di mana-mana, karena kebijakannya. Tujuh puluh persen perlawanan rakyat di Irak karena melawan pendudukan tentara Amerika, tidak ada kaitan dengan Al Qaeda. Mengapa Hamas menang? Mengapa Iran membuat proyek nuklir? Mengapa di mana-mana muncul seperti ini?”

Tiba-tiba dia berhenti bicara. “Saya terlalu banyak bicara, ya?”

Dia juga cemas Aceh akan mengalami masa sulit setelah lembaga-lembaga bantuan asing pergi. Gelembung ekonomi pecah. Rakyat sengsara. Dia akan tinggal 18 bulan lagi di sini, setelah itu mungkin terbang ke Vietnam atau Australia. Dia suka mengelana.

“Meskipun saya sudah tidak di sini lagi. Nelayan-nelayan sudah pulih lagi kehidupannya, punya bisnis yang bagus, bisa membuat perahu yang bagus… Mereka akan ingat perahu Eddie, “ katanya.*

Sumber : Aceh Feature, 2 Februari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks