Jun 21, 2009

Tri Mumpuni Wiyatno : Energi Tri Mumpuni

Energi Tri Mumpuni
Oleh : Maria Hartiningsih

Bagi Tri Mumpuni Wiyatno (41), desa adalah sumber kehidupan yang harus diperkuat kemandiriannya. Ia meyakini banyak persoalan bisa diselesaikan kalau ada pusat-pusat pertumbuhan baru di pedesaan. Karena itu, ia mencurahkan segenap daya dan pemikirannya untuk membangun desa.

Sejak lebih dari 10 tahun, Mumpuni dan timnya bersama Institut Bisnis Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) bergulat dengan keyakinan bahwa melistriki desa dengan teknologi ramah lingkungan—tanpa emisi karbon—mikrohidro adalah pintu masuk paling efektif untuk memberdayakan warga.

Selama ini listrik hanya dipahami sebagai infrastruktur. Itu membuat warga konsumtif. Jadwal kumpul-kumpul bisa berubah karena telenovela di televisi, ujar Mumpuni, yang menyelesaikan S1-nya pada Jurusan Sosial-Ekonomi Institut Pertanian Bogor tahun 1990.

Mikrohidro memanfaatkan debit dan ketinggian jatuhnya air pada sungai kecil di desa-desa untuk menghasilkan energi listrik di bawah 100 kilowatt.

Meski biaya investasinya untuk instalasi per kilowatt sedikit lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit besar, dampak positif mikrohidro terhadap masyarakat dan lingkungan hidup jauh lebih signifikan. Selain tak ada penggusuran, kelestarian hutan juga terjaga karena untuk mendapatkan satu kWh (kilowatt jam) harus ada satu pohon di hutan yang menahan air.

Rakyat kemudian dilatih manajemen air, pemeliharaan alat, menghitung energi yang disalurkan, serta biaya yang diperlukan karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Kalau energi listrik sudah dialirkan dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan.

Banyak suami pulang ke desa untuk membantu istrinya yang sudah menjadi pengusaha, sambung fellow Program Kepemimpinan untuk Lingkungan dan Pembangunan (Lead Program) yang mempromosikan mikrohidro ke berbagai negara itu.

Yang dilakukan Mumpuni dan timnya adalah mendayagunakan dana hibah untuk menjadikan warga desa sebagai pemilik (shareholder) infrastruktur yang dibangun. Bukan sekadar terlibat sebagai stakeholder. Dengan begitu tak sulit menciptakan kesetaraan yang sebenarnya, tegasnya.

Mumpuni menyebut sebuah desa di Subang yang warganya menguasai 50 persen kepemilikan dari kerja samanya dengan perusahaan swasta lokal. Di sebuah desa di Sumba kepemilikannya bahkan 100 persen, dikelola Koperasi Unit Desa (KUD). Di satu desa di Sumatera Selatan, suatu koperasi pesantren mendapat penghasilan Rp 60 juta per bulan dari listrik yang dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Mumpuni beserta timnya melistriki lebih dari 50 desa di berbagai pelosok di Indonesia. Kegiatan itu membuat World Wildlife Fund for Nature (WWF) memberikan penghargaan kepadanya sebagai Climate Hero.

Terbangun sejak kecil

Keberpihakan Mumpuni pada kelompok terpinggirkan sudah dibangun dari kecil. Waktu kelas IV SD saya diajak ibu keliling ke kampung-kampung untuk mengobati orang-orang yang korengan, kenang anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Wiyatno (alm) dan Gemiarsih ini.

Rumah keluarga di Semarang itu menjadi pusat berbagai kegiatan sosial, mulai dari Program Kelompok Belajar Paket A sampai posyandu. ”Ibu saya hebat meski pendidikannya hanya sekolah kepandaian putri,” sambungnya.

Mumpuni remaja menang dalam Lomba Karya Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 1982. Kecerdasan dan keberaniannya menarik perhatian Rektor IPB Andi Hakim Nasoetion, yang kemudian menawarinya kuliah di IPB.

Mumpuni baru mau menerima tawaran itu setelah gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Almarhum Pak Andi Hakim sangat berperan menentukan jalan saya, kenangnya.

Jalan hidupnya kemudian sudah seperti ditunjukkan. Sampai lima tahun setelah lulus IPB, ia sempat bekerja untuk pembangunan rumah murah bagi kaum miskin kota. Tawaran kerja kantor yang memberinya gaji besar tak pernah menggerakkan hatinya.

Komitmen hidup itu secara tak langsung dipengaruhi orang-orang di sekitarnya yang memberinya kepenuhan dan cinta. Aku belajar memberi dari ibuku, belajar berbagi dari bapakku, ujarnya. Suaminya, Ir Iskandar Kuntoadji, memberikan lebih banyak lagi contoh tentang kesederhanaan hidup, kejujuran, dan kebahagiaan berbagi.

Barang yang ditumpuk akan busuk, ujarnya tentang falsafah hidup yang diyakininya. Kalau saja kita ingat kata Gandhi bahwa bumi ini menyediakan cukup untuk penghuninya kecuali keserakahannya, saya kira tidak akan menyaksikan disparitas kaya-miskin yang begitu menganga.

Dari dua anaknya, Mumpuni belajar tentang proses. Dari sahabatnya, ia belajar memupus kekecewaan dan kemarahan. Dari hidupnya sendiri, ia belajar sabar.

Sumber : Kompas, Jumat, 7 Oktober 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks