Jun 26, 2009

Toton Greentoel, Pencarian Identitas Lagu Daerah Banten

Toton Greentoel, Pencarian Identitas Lagu Daerah Banten
Oleh: MH Samsul Hadi

Tip dodol tip wajik
tip gule lan kelape
didokon ning pendaringan
dirubung semut gatel.T

Tembang dolanan anak-anak Banten ini sudah jarang terdengar. Pengamen jalanan, Achmad Tantowi alias Toton Greentoel (37), mengemas ulang tembang itu dalam album kaset amatiran berisi lagu-lagu berbahasa Jawa-Serang dan Sunda-Banten. Ikhtiar mencari identitas lagu daerah Banten.

Ceritanya berawal dari sebuah ejekan di meja makan. Sekitar tahun 1998, saat makan bersama beberapa temannya sesama pekerja proyek pembuatan alat pengebor minyak di Bojonegara, Kabupaten Serang, ia diledek soal tiadanya lagu-lagu daerah Banten. Saat itu teman-temannya dari Batak, Padang, dan Sunda membanggakan lagu daerah mereka.

Untuk menutupi rasa malu, ia menyanyikan tembang dolanan anak-anak Banten yang diingatnya. ”Surantang-surinting, bibi Semar nyolong gunting, guntinge bibi laos, sedakep tangan sios,” begitu ia mendendangkan Surantang-surinting.

Empat tahun kemudian, ketika di-PHK (putus hubungan kerja) dan harus menghidupi keluarganya dengan mengamen, ingatan Toton terhadap tembang dolanan anak Banten itu belum pudar. Dengan gitar yang digunakan mengamen sehari-hari, ia mulai mengaransemen tembang-tembang dolanan anak Banten, seperti Surantang-surinting dan Tip Dodol Tip Wajik.

Ia juga mencoba menggubah lagu-lagu dengan lirik berbahasa Jawa-Serang dan Sunda-Banten. Lagu hasil gubahan itu diperdengarkan kepada khalayak saat mengamen sebagai selingan atas lagu-lagu pop. Di luar dugaan, respons masyarakat cukup positif. Ketika mengamen di kawasan Royal, kota Serang, uang tip dari penggemarnya tidak lagi recehan, melainkan Rp 20.000, Rp 50.000, atau Rp 100.000.

Sejak itu, pria kelahiran Serang, 7 April 1968, ini memosisikan diri sebagai pengamen dengan ”brand” lagu-lagu berbahasa Jawa-Serang dan Sunda-Banten. Tempat tampilnya meluas, sampai di hotel-hotel di Serang dan Anyer.

Warung bakso

Salah satu tempat Toton mengamen hingga kini adalah Warung Bakso ”Meddy” di Jalan Maulana Yusuf, Serang. Tempat itulah yang ”membesarkan” namanya hingga dikenal di Serang dan Banten. Di tempat itu, ayah dari enam putri ini menjumpai penggemarnya yang selalu ingin mendengar lagu-lagu Jawa-Serang dan Sunda-Banten.

Dari celetukan pelanggan warung bakso, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat itu, gagasan mendokumentasikan lagu-lagu daerah Banten muncul. ”Kalau dikasetkan bagus, mudah-mudahan ada yang membiayai,” kata Toton, penggemar lagu-lagu Ebiet G Ade, menirukan aspirasi penggemarnya.

Ide tersebut terwujud setelah ia tampil di Taman Wisata Wulandira, Serang, pada acara Hari Anak Nasional tahun 2003. Sempat disepelekan panitia tetapi mendapat aplaus hadirin berkat lagu-lagu Jawa-Serang dan Sunda-Banten, ia dibantu beberapa wartawan lokal dengan melobi pejabat daerah agar mau membiayai rekaman kaset lagu itu.

Toton sempat diminta membuat proposal, tetapi ia menolak. Akhirnya, tanpa proposal pun, pada pengujung tahun 2003 beberapa pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang berpatungan hingga terkumpul Rp 15 juta untuk membiayai rekaman album pertama di Cilegon. Dari situ lahirlah album Ayo Bangun Banten.

Gamang

Selama menggubah lagu-lagu daerah Banten, Toton merasa gamang. Kegamangan itu seiring dengan kegamangan umumnya masyarakat Banten tentang identitas kedaerahan mereka.

Sehari-hari orang Banten menggunakan bahasa Jawa-Serang (Serang dan Cilegon) dan Sunda-Banten (Pandeglang-Lebak) untuk berkomunikasi. Itulah sebabnya pada album kedua yang dirilis awal tahun 2005 bersama penyiar radio ”Mega Suara”, Rinrin S, sebanyak 2.000 keping dengan dana Pemkab Serang Rp 50 juta, ia menyertakan lagu dengan lirik bahasa Sunda-Banten.

Sebuah radio swasta di Serang menamai lagu-lagu Toton pada album kedua dengan sebutan lagu Dangdut Serang. Terlepas dari belum munculnya identitas musik Banten, lirik lagu-lagu itu berbicara soal Banten: potensi wisata, industri, sejarah, tembang dolanan, tradisi Padang Wulan 14 Jumat, serta makanan tradisional, semisal sate bandeng atau kulit gerintul yang kemudian dipakai sebagai nama pop-nya.

Selain merekam nilai-nilai religius masyarakat Banten, lagu-lagu Toton juga memotret sisi lain kehidupan sosial mereka, seperti tren gadis-gadis Banten yang mulai gemar memakai baju seksi dan kebiasaan kawin dengan lebih dari satu istri. Semuanya diolah dengan gaya canda sehingga pendengar pun dibuat tersenyum geli.

Sumber : Kompas, Jumat, 15 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks