Terry dan Jendela Kuning "National Geographic"
Oleh : Edna C Pattisina
Berbicara tentang majalah National Geographic, kita tidak bisa lepas dari Terrence B Adamson, Executive Vice President National Geographic Society. Pria yang biasa dipanggil Terry ini berperan dalam membuat edisi-edisi lokal yang kini berjumlah 27 edisi, selain edisi internasionalnya yang berbahasa Inggris.
BERDIRI sejak tahun 1888, National Geographic Society yang didirikan sebagai organisasi nirlaba untuk menyebarluaskan pengetahuan yang bersifat geografis mengeluarkan publikasinya dalam bentuk majalah National Geographic.
Terry bercerita, majalah National Geographic adalah jendela untuk melihat dunia. Persis filosofi dari bingkai kuning yang menjadi ciri khas karena selalu memagari sampul majalah tersebut. "Warna kuning itu berarti jendela dunia, di mana kita bisa orang dan tempat yang jauh lewat majalah ini," katanya.
Berasal dari keluarga sederhana yang memiliki toko kecil di daerah pedesaan Georgia, Amerika Serikat, Terry berusia sembilan tahun saat mendapat hadiah Natal berlangganan majalah National Geographic dari neneknya.
Setiap bulan Terry kecil bisa melakukan "perjalanan intelektual" ke tempat-tempat yang sangat jauh dan menurut dia hampir tidak mungkin bisa ia datangi secara fisik sepanjang hidupnya. "Saya ingat, saya paling suka membaca tentang China dan Indonesia," kata Terry.
TAK disangka, saat untuk pertama kali ke luar negeri ia mendapat kesempatan untuk datang ke Indonesia. Ia dan 14 pemuda yang mendapat beasiswa dari yayasan Henry Luce Scholar magang di Jepang. Dari sana mereka memilih ke Indonesia, tempat yang sudah lama ada di benak Terry. Rombongan orang muda berbakat ini sempat menghabiskan waktu selama seminggu di Yogyakarta. "Itu tahun 1976, saya sempat ke Candi Borobudur, pengalaman yang tidak akan saya lupakan," kata pria yang lahir di Rome, Georgia, 13 November 1946, ini.
Karier di bidang hukum menjadi jalan yang dipilihnya. Lulus sebagai sarjana sejarah dari Universitas Emory, Atlanta, tahun 1968, ia melanjutkan ke jurusan hukum di universitas yang sama. Terry menyelesaikan pendidikan sarjana hukumnya dengan predikat cum laude tahun 1973.
Setelah itu, selama bertahun-tahun ia dekat dengan dunia politik dan hukum. Tidak hanya menjadi partner di biro hukum ternama di New York, ayah dari Kate (16) dan Elizabeth (13) ini juga bekerja sama dalam dunia birokrasi AS. Beberapa jabatan formal penting sempat disandangnya, seperti Juru Bicara Departemen Kehakiman AS (1978-1979) dan tiga kali menjadi anggota Dewan Pengawas State Justice Institute.
Di organisasi nonpemerintah, Terry menjadi anggota Dewan Pengawas di Asia Foundation tahun 1994-1999. Ia juga aktif dalam Carter Center, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan Jimmy Carter. Selain bersahabat dekat, Terry juga menjadi pengacara pribadi mantan presiden AS itu. Carter meminta Terry mendampinginya saat tokoh itu menerima Nobel Perdamaian tahun 2002. "Saya tidak pernah mengira akan punya sahabat yang menerima Nobel Perdamaian, " kata suami Ede Holiday ini.
Lalu apa yang dicarinya di majalah National Geographic? "Bukan uang tentunya ya," kata Terry sambil tersenyum.
Bagi Terry, adalah sebuah keberuntungan dan kesempatan besar bagi dirinya untuk terlibat dalam usaha pendidikan dan penyebarluasan pengetahuan ke seluruh dunia. "Saya percaya, pengetahuan tentang orang lain, kebudayaan lain, dan tempat lain di dunia penting untuk menyatukan kita semua," katanya.
MULAI menjadi tenaga sukarela tahun 1995, ia menjadi tenaga aktif untuk majalah yang dibaca sekitar 50 juta orang sedunia ini tahun 1998. Terrylah yang merealisasikan rencana pembentukan National Geographic Channel, memperbanyak edisi-edisi lokal yang dimulai di Jepang tahun 1995, dan menjalankan berbagai macam publikasi dari National Geographic Society, mulai dari majalah hingga buku.
Ia juga anggota Corporate Secretary dari Educational Foundation Board National Geographic Society yang mendanai berbagai kegiatan pendidikan geografi untuk anak sekolah. "Saya merasakan sendiri bagaimana mendapat berbagai pengetahuan dari majalah ini, maka saya ingin sebanyak mungkin orang mengalami hal yang sama," katanya.
Hingga kini, dengan jumlah uang ratusan juta dollar AS dari berbagai sumber, National Geographic tetap menjadi organisasi nonprofit. Sembilan puluh persen uang digunakan untuk dana pendidikan dan riset di seluruh dunia.
Dukungan tidak hanya datang dari 10 juta anggota National Geographic Society, tetapi juga dari pemerintah dan perusahaan di berbagai penjuru dunia. "Dana untuk penelitian di Indonesia pertama kali tahun 1936, sementara majalah National Geographic telah menulis tentang Indonesia sejak tahun 1898, tentang Sumatera," katanya.
MAJALAH ilmiah ini mendasari tulisannya pada hasil-hasil riset yang dilakukan para ahli rekanan. Menurut Editorial Director International Editions Amy Kolczak, yang membuat National Geographic bisa bertahan hingga sekitar 125 tahun adalah akurasi dari tulisan yang dihadirkan. Totalitas menjadi cara hidup di majalah ini. Untuk membuat sebuah foto atau sebuah tulisan, misalnya, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk riset. "Fotografer Jodi Cobb menghabiskan waktu empat tahun di berbagai negara untuk meliput perdagangan manusia," cerita Terry.
Harapannya, majalah National Geographic bisa menjadi perekat yang menghubungkan masyarakat dunia dan berbagai kebudayaan yang ada di dalamnya. Bayangkan, saat orang- orang di Indonesia membaca tentang kebudayaan dan segala hal yang berkaitan dengan negara antah-berantah seperti Skandinavia, Armenia, dan Turki, sementara mereka juga membaca tentang Indonesia.
"Dari pengetahuan tentang kebudayaan, kebiasaan, dan kepercayaan orang lain, kita bisa menemukan persamaan dan merayakan perbedaan," katanya.
Jendela kuning itu membawa dunia ke depan kita untuk dikenal dan diterima.... (EDNA C PATTISINA)
Sumber : Kompas, Sabtu, 2 April 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment