Jun 19, 2009

Tarjono Slamet : Karya Penderitaan Tarjono Slamet

Karya Penderitaan Tarjono Slamet
OLeh : Irma Tambunan

Penderitaan adalah guru kehidupan. Dan, karena penderitaanlah, Tarjono Slamet (32) bangkit menghadapi kehidupannya yang baru dengan optimistis, menghayatinya, dan berkarya di dalamnya.

Kecelakaan kerja yang dialaminya tahun 1989 di kawasan industri Ceper, Klaten, telah membuat kaki kanan Slamet harus diamputasi. Sementara, saraf di kedua tangannya mati.

Slamet yang bekerja di divisi instalasi listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat itu baru akan menyelesaikan perbaikan jaringan di salah satu menara, bersama dua rekannya. Tiba-tiba, satu sisi anting-anting pada menara tersebut lepas dan mengenai mereka. Tak sampai tiga detik, Slamet dan dua temannya terlempar akibat libasan tingginya tegangan listrik.

Butuh waktu hampir satu tahun untuk meringankan cacat fisik pada tubuhnya. Namun, mentalnya sungguh-sungguh ambruk. Rasanya saya sudah ingin mati saja daripada harus merasakan kondisi cacat seperti ini, kenangnya.

Pria kelahiran Pekalongan, 29 Desember 1972, ini akhirnya memutuskan pensiun dini dari PLN. Atas dorongan keluarga dan sejumlah teman dekat, ia lalu masuk ke Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) di Yogyakarta, dan mengikuti sejumlah pendidikan dan keterampilan khusus bagi orang cacat.

Kebersamaan dengan sesama penderita cacatlah yang akhirnya menggugah Slamet untuk kemudian bangkit dari keputusasaan. Ia mulai menyadari, cacat fisik bukanlah akhir dari segalanya. Kaum difabel pun dapat berbuat sesuatu dan menghasilkan karya-karya brilian, berkualitas, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Tahun 1991, Slamet bergabung dengan bagian usaha kerajinan, Yakkum Craft. Atas bimbingan relawan Mc Lennan Collin, ia mulai membuat produk-produk kerajinan, seperti mainan anak-anak dari kayu, alat peraga, atau puzzle. Hasil karyanya kemudian dijual ke sejumlah tempat.

Tidak sampai di situ, Slamet mulai berpikir menjadi wirausaha untuk memperbaiki ekonominya. Setelah dikirim Yakkum untuk mengikuti kursus singkat tentang fund rising di New Zealand tahun 1992 dan Australia tahun 1993, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari Yakkum Craft dan membangun usaha sendiri.

Slamet menamai usahanya barunya Mandiri Craft, yang berproduksi di Desa Ngangkruk, Kretek; dan Desa Timbulharjo, Sewon, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Berbekal hasil warisan keluarga, sisa gaji, dan usaha sampingan penerjemahan bahasa, Slamet membeli 15 mesin sebagai alat produksi kerajinan kayu, mulai dari mesin gergaji, kompresor, mesin pembuat siku, hingga mesin ampelas.

Ia lalu menggandeng 25 kaum difabel yang sebagian besar adalah penyandang polio. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Solo, Semarang, Banyuwangi, Magetan, dan Gunung Kidul, yang sebelumnya juga pernah bergabung di Yakkum Craft.

Di dua tempat inilah para perajin yang selalu menggunakan bantuan tongkat penopang atau kruk, sehari-harinya membuat produk-produk kerajinan mainan anak dan puzzle dari bahan kayu. Mereka seakan berhasil meniadakan kecacatan fisik sebagai kendala dalam berkarya. Bayangkan, dalam sebulan mereka bisa menghasilkan rata-rata 650 unit kerajinan.

Dari hasil kursus fund rising dan jaringan di luar negeri, Slamet mampu mengekspor produk-produk Mandiri Craft ke Belanda, Australia, dan Jerman. Dalam waktu dekat ini, kami juga akan mengembangkan jaringan ekspor ke Inggris. Satu kontainer hasil produksi akan segera dikirim, tutur anak pertama dari tiga bersaudara ini.

Slamet menyadari betul, dari kebangkitan semangat hidupnya, ia kini mampu menafkahi banyak orang. Setidaknya, gaji para karyawan mencapai minimal Rp 500.000 per bulan atau melampaui upah minimum provinsi DI Yogyakarta. Belum lagi, mere- ka masih akan me- nikmati insentif melalui bagi hasil atas setiap kelebihan keuntungan usaha.

Dalam kontrak penjualan produk-produknya kepada para pembeli, Slamet pun menerapkan sistem pembayaran yang adil. Pembayaran 50 persen dilakukan pembeli sebelum barang diproduksi. Setelah barang jadi, pembeli membayar 30 persen sisanya. Setelah barang dikirim, barulah pembeli menyelesaikan sisa pembayaran yang 20 persen.

Satu mimpi yang belum terlaksana adalah menjadikan rumah produksi kerajinan Mandiri Craft berstandar internasional. Artinya, setiap pekerja di sana harus mendapatkan fasilitas antisipatif untuk keselamatan kerja. Saya ingin mereka aman dalam bekerja sehingga perlu ditekan dari kemungkinan mengalami kecelakaan, terutama saat mengoperasikan mesin-mesin, ujarnya.

Cukup satu kali mengalami dan menyaksikan kecelakaan dalam bekerja yang berakibat dahsyat, yaitu cacat fisik. Bagi Slamet, alur hidup yang telah dilaluinya ini sungguh pelajaran yang berharga. Dan, akan dipersembahkan melalui karya-karya untuk kemuliaan.

Sumber : Kompas, Sabtu, 14 Januari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks