Efie Sumarlin dan Tsunami Digital
Oleh : Ninok Leksono
Tsunami digital akibat gempa bumi Taiwan, 26 Desember 2006, kini telah tertanggulangi. Penyelenggara telekomunikasi dan internet pun telah mengumumkan jasa layanan mereka pulih. Namun, masih banyak yang ingat, menyusul gempa Rabu (27/12/06) dan Kamis (28/12/06) koneksi internet putus total.
Saat itulah Sylvia Sumarlin selaku Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2006-2009 merasakan keguncangan besar yang menuntut reaksi cepat untuk memulihkan layanan yang kini sulit dipisahkan dari kehidupan modern.
Rabu (27/12/2006) pagi, Sylvia Efi Widyantari Sumarlin, yang akrab disapa Efie, mendapat kepastian dari kantornya dan APJII bahwa internet lumpuh. Efie lalu memetakan mana saja yang rusak, mana yang masih bisa berfungsi, dan membahas langkah-langkah mengatasi gangguan. Ia juga sempat mendesak Direktorat Jenderal Postel untuk mengizinkan pemanfaatan bandwidth satelit asing.
Efie yang terus memantau perkembangan hari demi hari akhirnya lega ketika pada Sabtu (30/12/06) banyak penyelenggara jasa internet dan operator jaringan yang menyampaikan kapasitas jaringan mereka bergerak pulih hingga 80 persen.
Selain melobi berbagai pihak, dalam upaya menanggulangi penyediaan bandwidth itu pula, Efie, seperti dia tuturkan melalui surat elektronik, Rabu lalu, harus melayani telepon dan wawancara media, membawanya ke spotlight publik tentang asosiasi yang dia pimpin. Maklum saja, ketika internet macet, banyak urusan terkena dampak.
Mendapat kearifan
Dalam pekan itu pula Efie mendapat banyak kearifan tentang berbagai segi pemanfaatan dan upaya pengembangan internet. Ia pun tak mengira dalam tahun pertama sebagai Ketua Umum APJII ada kejadian amat serius dalam dunia internet.
Padahal, sebelumnya ia dan banyak anggota APJII tidak menduga dirinya akan terpilih sebagai ketua umum. Namun, ketika terpilih, ia pun memenuhi amanat noblesse oblige, kehormatan itu membawa tanggung jawab kewajiban.
Di antara pekerjaan yang sudah ia selesaikan, menyangkut pengelolaan nama domain Indonesia, membangun Indonesia Internet Exchange (IIX) di Gedung Cyber, dan kini mempersiapkan penyelenggaraan Konferensi Teknologi Internet Regional Asia-Pasifik (APRICOT). Ia ikut memperjuangkan apa yang didambakan masyarakat Indonesia, yakni meningkatkan penetrasi internet ke daerah-daerah dengan layanan yang baik dan murah.
Kesibukannya sebagai direktur perusahaan dan sejumlah organisasi membuat Efie baru bisa memeriksa pekerjaan anak buah pada malam hari. Tradisi kerja kerasnya menurun dari ayahnya, mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin, yang dia lihat sering bekerja larut malam menyelesaikan pekerjaan, lalu berangkat pagi-pagi.
Belajar mandiri
Keakraban Efie dengan teknologi informasi (TI) bisa ditelusuri ketika studi di AS, negara yang telah ia kenal sejak kanak-kanak, antara 1964-1969, saat mengikuti orangtua yang kuliah di Pittsburg, Pensylvania.
Bayangan enak sekolah di Amerika membuat Efie kembali ke sana saat kelas II SMA. Di Lincoln, Nebraska, Efie banyak diajar hidup mandiri dan pantang menyerah oleh keluarga Amerika di mana ia tinggal. Selama studi di Syracuse University, New York, Efie tinggal di asrama dan tidak diberi kemewahan apa pun oleh orangtua yang berpandangan mereka pun tidak menikmati apa-apa selain beasiswa.
Selama kuliah, pada 1984 ia sempat bekerja di perusahaan Hewlett-Packard, Palo Alto, California, tempat ia mengetahui bagaimana komputer mewujud dari perencanaan awal hingga menjadi produk. Efie yakin, dari bekerja di perusahaan itulah awal kecintaannya terhadap dunia TI terbentuk.
Efie tak bisa segera kembali ke Indonesia setelah usai studi tahun 1989 dengan meraih dua gelar MA untuk ekonomi dan hubungan internasional. Ayahnya lebih menghendaki anak-anaknya bekerja sebagai profesional di negara lain daripada jadi direktur di negeri sendiri, tetapi mudah diasosiasikan mendapat kemudahan dari jabatan ayahnya.
Efie lalu bekerja di Citibank, New York (1990); menjadi manajer keuangan di Kinkosha Inc, San Francisco, hingga 1992; kemudian menjadi direktur keuangan di Norfilll Textile Ltd di Belfast, Irlandia Utara (1992-1993).
Efie, kelahiran Jakarta, 19 November 1963, kembali ke Indonesia setelah ayahnya tidak lagi menjadi menteri keuangan tahun 1993. Selain akan menikah, ia pun ingin mencoba peruntungan berkarier di Indonesia. Meski tidak membayangkan akan menjadi pengusaha, nyatanya kini ia Direktur Utama Dyviacom Intrabumi.
Di luar profesi, anak kedua dari lima bersaudara yang juga sekretaris jenderal di Federasi Teknologi Informasi Indonesia dan Wakil Ketua Komite Tetap Informatika di Kamar Dagang Indonesia (Kadin) itu masih memendam keinginan untuk memperdalam seni dansa yang dahulu pernah ia tekuni.
Tampaknya itu masih cita-cita karena sekarang hari-harinya amat disibukkan sebagai "Bu Lurah" internet Indonesia. Sisa waktu ibu yang memegang sertifikat auditor dan lead assesor ISO 9000 dari Neville Clarke ini digunakan untuk membacakan buku bagi dua anaknya: Giacinta (5) dan Kea (3), serta menemani santap malam suaminya, Rudy Hari.
Tekun membaca buku tentang filosofi hidup, Efie yang juga Sekretaris Dewan Penyantun Universitas Katolik Atma Jaya dan Bendahara Lembaga Sertifikasi Profesi Telematika ini merasa masih harus banyak belajar dari mereka yang sukses.
Sumber : Kompas, Jumat, 5 Januari 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment