Sukimin Selamatkan Hutan Bakau
Oleh : Helena F Nababan
"Malaria itu penyakit yang muncul dari arah laut. Apabila di tepi pantai sudah tidak ada lagi bakau yang berfungsi sebagai penyaring, maka akan banyak penyakit bermunculan."
Kalimat itu tidak diucapkan seorang ahli kesehatan, tetapi disampaikan Sukimin (56), Lurah Desa Marga Sari, Kecamatan Labuhan Maringggai, Lampung Timur. Dengan keyakinan itu, dia bersama ratusan warga desa setempat berusaha menanami tepi pantai yang gundul dengan bibit bakau sejak tahun 1995.
Perjuangan Sukimin menanami tepi pantai Labuhan Maringgai yang betul-betul gundul dengan bakau berawal pada tahun 1991. Waktu itu, dia baru satu tahun menjabat sebagai lurah.
Saat itu di Marga Sari terjadi wabah malaria. Setiap hari 50 penderita malaria datang ke Puskesmas Marga Sari, sedangkan di desa tetangga, Way Gambas, setengah warganya meninggal karena malaria.
Sukimin berusaha mencari tahu penyebab menyebarnya malaria. Dari hasil pencarian dan obrolan dengan warga setempat pada tahun 1994 ia menyimpulkan, tidak adanya hutan bakau menyebabkan berbagai penyakit dengan mudah dibawa angin atau air laut ke desa-desa di tepi pantai.
Selain itu, dari sisi ekonomis akar bakau yang tumbuh rapat juga merupakan tempat berbiaknya kepiting dan ikan kecil yang akan menambah pendapatan penduduk.
Belajar dari ahli
Sukimin tidak hanya memercayai apa yang dia yakini, tetapi terus belajar mengenai fungsi hutan bakau dari para ahli rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS). Kebetulan pada tahun 1994 di Lampung Tengah ada proyek DAS Seputih-Sekampung System.
"Saya belajar dari Pak Priyanto dan Pak Poernomo, ahli pengairan dari DAS Seputih-Sekampung. Keduanya menyarankan membentuk kelompok masyarakat peduli hutan bakau," ungkap Sukimin.
Upaya proyek DAS Seputih-Sekampung System menanam 10 hektar bakau saat itu gagal. Selain karena tidak dijaga dan dirawat, tepi pantai timur juga curam. Sulit bagi bibit bakau tumbuh. Bahkan, sering ombak besar menghanyutkan buah-buah bakau sehingga tidak ada bibit yang tumbuh.
Faktor manusia juga sangat berpengaruh. Ada sekelompok warga menentang keras penanaman itu karena tidak mau areal tambaknya berkurang sebab ditanami bakau.
Sukimin mencoba melakukan pendekatan persuasif kepada mereka. Pada tahun 1995 ia berhasil mengajak 30 orang di antaranya menanam bakau. Sukimin menjadikan mereka kelompok masyarakat pertama peduli hutan bakau dan menamai mereka sebagai Kelompok Masyarakat Peduli Hutan Bakau Marga Jaya Utama.
Nanang, Sekretaris Desa Marga Sari, mengisahkan, setelah sempat ditentang habis-habisan, upaya persuasif Sukimin akhirnya mendapat respons positif warga. Setelah sadar akan fungsi dan peran hutan bakau, kelompok pertama itulah yang mengusir warga yang hendak menebang bakau atau sekadar mencari cacing merah yang sangat merusak akar bakau.
Sukimin dan warga secara swadaya terus memperluas tanaman bakau. Mereka mencari bibit hingga ke Desa Way Gambas yang memiliki sedikit hutan bakau api-api.
Pada tahun itu juga usaha Sukimin dilirik peneliti bakau dari Institut Pertanian Bogor. Mereka memberi bantuan dan pengetahuan cara penanaman bakau yang tepat. Dalam perjalanannya, terjadi beda pendapat tentang budidaya bakau. Lalu, masing-masing sepakat menerapkan pengetahuan masing-masing.
Dari situ para ahli mendapati, setiap areal tanam memiliki kekhasan cara tanam dan budidaya. "Yang terpenting, untuk di pantai timur bibit yang ditanam harus hijau, gemuk, dan bakal akar merata di pucuk bibit," tutur Sukimin yang berdasarkan pengalamannya lebih memahami karakter pantai dan budidaya bakau di desanya.
Memegang amanat
Hingga sekarang kelompok masyarakat yang tadinya hanya 30 orang sudah berkembang menjadi 150 orang dan terbagi dalam tujuh kelompok.
Kini, kerja keras hampir 11 tahun membuahkan hutan bakau seluas 700 hektar dengan lebar antara 50 meter hingga 2,5 kilometer, memanjang di pesisir timur Desa Marga Sari. Hutan bakau itu banyak dimanfaatkan sebagai areal penelitian oleh peneliti dari berbagai universitas di Jawa dan Sumatera, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Lampung.
Pada tahun 1999, upaya Sukimin dan kawan-kawan mendapat penghargaan dari Departemen Kehutanan. Kelompok itu memenangi lomba rehabilitasi dengan kategori kelompok.
Pada tahun 2004, kelompok Sukimin memenangi lomba pengelolaan pesisir dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), mengalahkan kelompok serupa dari Bali yang dibantu dana dari JICA, Jepang. "Kelompok kami kelompok sukarela," ungkap bapak satu anak dan kakek satu cucu ini sambil tertawa.
Sukimin yang ditemui awal Desember 2006 baru saja kembali dari rapat desa menuturkan, "Saya dihargai Pak Menteri (DKP) karena mampu memberi sumbangsih bagi pengelolaan dan pembangunan pesisir dan laut."
Sedihnya, ungkap Sukimin, hingga kini pemerintah daerah setempat justru belum juga tanggap terhadap permasalahan hutan bakau. Bagi Sukimin, di situlah tantangannya, yaitu memelihara konsistensi untuk menjaga dan memelihara kawasan pesisir.
Suami dari Sumarni (48) ini menyebutkan, ia sering ditawari membuka hutan bakau untuk tambak, tetapi dia menolak. Selain alasan demi kesehatan, juga karena Sukimin menganggap keamanan warga desa lebih penting daripada sekadar membuat tambak.
"Sebagai pejabat publik, meski di desa saja, saya selalu ingat pesan orangtua. Apabila diberi kesempatan menjadi pejabat, saya harus bisa bermanfaat bagi masyarakat banyak, jangan merugikan," ujar lurah tamatan sekolah teknik menengah ini.
Sumber : Kompas, Kamis, 28 Desember 2006
Jun 9, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment