Sugeng, Si Pemanjat Cilik
Oleh : L Andreas Sarwono dan Ichwan Susanto
Kala anak-anak zaman sekarang memilih bermain sepak bola, layang-layang, playstation, atau komputer, Sugeng Riadi Mustofa (9) memilih memanjat dinding. Olahraga yang penuh bahaya dan memerlukan banyak tenaga ini sudah mulai ditekuninya sebelum duduk di bangku sekolah dasar.
Ketertarikan pada dunia panjat dinding ini diawali dari kegiatan kelompok mahasiswa Akademi Keuangan dan Akuntansi Pencinta Alam (Akapala) Semarang, Jawa Tengah, ketika mereka berlatih panjat dinding. Hampir setiap sore, Sugeng menonton para mahasiswa berlatih merayapi dinding yang membentuk replika tebing setinggi 19 meter. Kebetulan lokasi latihannya di Kampus Stikubank, Semarang, tak jauh dari rumah Sugeng.
Karena sering berada di situ saat latihan itulah, Sugeng pun diajak oleh para mahasiswa untuk mempelajari olahraga ekstrem ini. Ia pun belajar dengan antusias. Latihan setahap demi setahap dilakukan dengan tekun. Bahkan latihan fisik seperti pull up atau lari keliling lapangan sepak bola dijalani tanpa keluhan.
"Dari awal Sugeng memang berbeda dengan anak-anak lainnya. Dan justru perbedaan inilah yang diperlukan untuk menjadi seorang pemanjat. Sugeng itu bandel sekali. Dia tidak pernah malu-malu kalau disuruh manjat, pasti langsung mau," ujar Anton Cristian, yang menjadi asisten pelatih dan menjabat sebagai Biro Kompetisi Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kota Semarang, Jumat (28/7/2006).
Apabila anak-anak lain langsung mundur jika disoraki saat memanjat, Sugeng malah sebaliknya. Ia makin beringas untuk terus meraih poin batu yang jaraknya berjauhan. Setiap diberi tes, poin-poin batu mana yang harus dipegang, Sugeng dengan kebandelannya terus mencoba walaupun sebenarnya ukuran tubuhnya masih kecil.
Melihat bakat dan kegigihan anak yang duduk di kelas III SDN Bendan Ngisor 01-02, Kecamatan Gajah Mungkur, Semarang, ini Sugeng pun terus mendapat pelatihan intensif untuk dikembangkan menjadi atlet panjat dinding. Lomba tingkat lokal pun diikuti, antara lain di Rembang, Pekalongan, dan Semarang.
Prestasi terbesar diraih Sugeng kala ia meraih medali emas di nomor kecepatan pada Kejurnas Panjat Tebing Yunior II 2006 yang berlangsung 6-10 Juli 2006 di Bali.
Atas prestasi itu Sugeng pun mewakili Indonesia dalam ajang Kejuaraan Panjat Tebing Asia Youth Cup 2006 pada 12-16 Juli, juga di Bali. Bersaing dengan negara-negara Asia, seperti Thailand, Jepang, China Taipei, Singapura, dan Malaysia, tak membuatnya gentar.
Dengan gemilang ia meraih dua medali perak pada kelas spider kid B putra di nomor kecepatan dan kesulitan. Juara pertama di kelas ini diraih atlet Thailand, Thattna Raksachat. Total hadiah uang yang diraih Rp 250.000.
"Hadiah uangnya cukup. Sebagian saya tabung dan lainnya untuk membeli sepatu dan buku sekolah. Sebenarnya saya ingin punya sepeda onthel, tetapi nanti saja kalau dapat juara lagi," tutur Sugeng, sore itu.
Dipinjami
Ditemui di rumahnya yang sangat sederhana, Sugimin (77), ayah Sugeng, sangat senang dan bangga melihat anaknya bisa keluar sebagai juara. Walaupun olahraga yang dipilih anaknya sangat berbahaya, Sugimin tak pernah melarang.
"Saya hanya berpesan kepada pelatih untuk menjaga anak saya. Karena sudah ada yang menjaga, ya, saya tidak khawatir. Saya tidak pernah melarang keinginan anak saya. Sugeng maunya manjat, ditawari main bola atau apa pun tidak mau," papar bapak yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Kampus Universitas Negeri Semarang ini.
Di dalam rumah yang berdinding papan ini, Sugeng tinggal dengan kedua orangtuanya dan dua saudara kandung dan dua saudara tiri.
Kemi (45), ibu Sugeng, harus mencari penghasilan tambahan menjadi buruh cuci. Penghasilan suaminya sebagai petugas kebersihan sebesar Rp 100.000 per bulan belum cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Uang jajan pun jarang didapatkan Sugeng.
Butuh biaya
Segala keterbatasan ini tidak memupuskan Sugeng untuk terus menekuni olahraga yang juga membutuhkan banyak biaya. Semua peralatan yang dipakainya saat latihan dipinjami oleh Akapala, baik tali, alat pengaman tubuh, kantong magnesium, ataupun sepatu panjat yang harganya ratusan ribu rupiah itu.
"Kalau sepatu panjat selama ini saya pinjam terus, agak kebesaran, tetapi masih bisa dipakai. Pas ikut kejuaraan di Bali baru saya dibelikan sepatu panjat oleh pelatih saya," ujar Sugeng, yang sanggup pull up 200 kali ini.
Waktunya pun seolah habis untuk panjat dinding. Setelah istirahat sepulang sekolah, pukul 15.30 hingga pukul 17.30 digunakan Sugeng untuk latihan fisik dan memanjat. Sedangkan hari Minggu, hanya latihan fisik saja, seperti pull up dan lari keliling lapangan sepak bola minimal lima kali.
Telapak tangan Sugeng pun kapalan karena terlalu sering mencengkeram poin-poin batu di dinding panjat. Bahkan, pernah pula ia jatuh dari ketinggian dua meter. Bagi dia, ini semua bukan tekanan. Kebahagiaan masa kanak-kanak tetap didapatinya saat ia memanjat.
Sumber : Kompas, Rabu, 2 Agustus 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment