Sudjadnan Parnohadiningrat, RI di Kancah Nuklir
Oleh : Rakaryan S
INDONESIA belum menjadi negara yang memiliki kekuatan nuklir, dan baru berencana untuk memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir. Akan tetapi, itu tidak berarti Indonesia tidak memiliki orang-orang yang memahami aturan-aturan main internasional di bidang pernukliran.
Mantan petani tebu yang semula tidak bercita-cita menjadi diplomat itu, sejak 1989 sudah mulai mendalami urusan yang berkaitan dengan senjata pemusnah massal. Itu terjadi ketika pada penempatannya sebagai Sekretaris Pertama Perutusan Tetap RI (PTRI) Geneva, ia menjadi koordinator perundingan mengenai penghapusan senjata kimia yang sudah usang (Old and Abandoned Chemical Weapon) pada Conference on Disarmament.
Karier diplomat kelahiran Yogyakarta, 21 Oktober 1952, ini terus meningkat sehingga dipercaya memimpin persidangan United Nations Disarmament Commission yang beranggotakan seluruh negara PBB pada tahun 1997.
BUNGSU dari dua bersaudara putra KRT Parnohadiningrat, mantan Bupati Kulon Progo (1957-1967), ini menyelesaikan kuliah di Universitas Gadjah Mada, jurusan Hubungan Internasional, pada tahun 1978.
Sudjadnan bergabung dengan Departemen Luar Negeri (Deplu) pada tahun 1981, setelah setahun bekerja di sebuah perusahaan Jepang dan bertani tebu di tanah kelahirannya. Minat untuk menjadi diplomat muncul karena dia sering berlibur ke Jakarta dan tinggal di rumah salah satu kakak sepupunya yang berprofesi sebagai diplomat.
"Saya kagum dengan luasnya pergaulan dia, juga karena bahasa asingnya," ungkap suami dari Nunung Kuncorowati yang dinikahi tahun 1977 akhir dan dikaruniai tiga anak itu.
Sebelum menduduki kursi orang nomor dua di Deplu, Sudjadnan mengasah sosok diplomatnya melalui penempatan di sejumlah negara, antara lain PTRI PBB di Geneva (1982-1984 dan 1989-1992), PTRI di Wina (1984-1986), PTRI New York (1996-1998), Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu (2001-2002).
Sebelum berangkat ke New York untuk memimpin Komite Utama I Konferensi Peninjauan Kembali NPT, Sudjadnan juga merupakan salah seorang yang paling sibuk mengatur berbagai hal pada rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) 2005 yang baru lalu. Sebagai ketua Senior Official Meeting (SOM) Asia-Afrika, ia sejak awal memikirkan sekaligus memformulasikan Deklarasi Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika sebagai produk hasil KAA 2005.
"Pada KAA itu tantangan terbesarnya adalah gagasan awal menentukan landasan yang filosofis politis, yang bisa merangkul semua pihak, mencari sebuah common denominator, itulah yang kita jual di SOM. Draf pertamanya dari Indonesia, Afrika Selatan, kemudian menambah dan memperkaya," katanya menjelaskan.
Sudjadnan sendiri awalnya sempat sangsi negara-negara Asia-Afrika yang diundang ke KAA 2005 akan datang. Pada kenyataannya, hampir semua negara yang diundang mengirimkan wakilnya, bahkan dua pertiganya hadir pada tingkat kepala negara. "Saya surprise juga dengan diundangi saja mau datang," paparnya.
Akan tetapi, bagi diplomat yang hobi bermain drum dan saksofon ini, tugas yang paling berat adalah berunding di forum NPT. Selain jumlah negaranya lebih banyak, yaitu 183 negara penandatangan NPT, isu yang dibicarakan pun teramat sensitif sekaligus krusial bagi kelangsungan umat manusia.
"Saya dicalonkan Nonblok pada pertemuan Preparatory Committee (Prepcom) III. Waktu itu juga ada calon lain dari Sri Lanka. Akan tetapi kelompok-kelompok politis kemudian memilih saya, mungkin karena secara pribadi mereka sudah kenal saya dalam berbagai perundingan disarmament sebelumnya," katanya, sambil menegaskan bahwa pemilihan sebagai ketua itu bukanlah karena sifatnya giliran atau karena negaranya, tetapi lebih karena figur orang. Sebagai Ketua Prepcom III, sesuai dengan aturan, maka dialah yang kemudian memimpin Komite Utama I pada Konferensi Peninjauan Kembali NPT.
Dalam Konferensi Peninjauan Kembali NPT itu terdapat tiga Komite Utama yang berada di bawah "presiden" konferensi peninjauan yang dilakukan setiap lima tahun sekali tersebut. Pada pertemuan tahun 2005 ini, presidennya adalah wakil dari Brasil sesuai dengan giliran dari Amerika Latin yang diperjuangkan Nonblok, sedangkan Ketua Komite Utama II berasal dari Hongaria (diasumsikan mewakili Blok Timur), dan Komite Utama III berasal dari Swedia (Blok Barat).
SEBAGAI negara yang, sebagaimana diungkapkan Sudjadnan sendiri, dalam postur internasionalnya tidak dominan, tampilnya seorang diplomat Indonesia memimpin sebuah forum internasional jelas mengangkat nama Indonesia secara keseluruhan.
"Kalau kita tidak punya posisi yang bisa berpengaruh, maka kita tidak dianggap apa-apa," tutur Sudjadnan.
Dalam catatan dunia diplomasi Indonesia, tidak cukup banyak nama diplomat yang dalam 20 tahun belakangan ini bisa tampil sebagai pemeran utama dalam sebuah forum dunia. Diplomat senior yang juga mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, adalah salah satu contohnya, pernah memimpin Komite I Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1980-an.
"Sebetulnya selalu ada diplomat Indonesia yang berperan penting di forum-forum internasional, tapi gaungnya tidak besar. Hal itu sering tidak dianggap sebagai kekuatan diplomasi. Padahal posisi chairman itu bisa memengaruhi, melancarkan, membelokkan, bahkan memblok," tambahnya.
Yang jelas, sebagai Ketua Komisi I, Sudjadnan akan menghadapi tugas tidak ringan menyangkut perlucutan senjata nuklir. Selain menyoal jumlah hulu ledak nuklir yang masih banyak dimiliki Barat (AS dan sekutunya) dan Timur (Rusia dan sekutunya), masalah perlucutan nuklir pun akhir-akhir ini semakin "panas" dengan persoalan Iran dan Korea Utara.
Mengenai Indonesia yang berencana membangun PLTN, menurut Sudjadnan, tantangannya adalah bagaimana bisa mendapatkan bantuan untuk pembangunan PLTN itu yang jelas tidak murah. Dari sisi keamanan, kita juga akan diikat sedemikian ketat dengan standar-standar tertentu yang penuh agenda setting. "Itu yang terjadi dengan Iran," paparnya. (Rakaryan S)
Sumber : Kompas, Jumat, 6 Mei 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment