Oleh : Siwi Yunita Cahyaningrum
Ratusan gerabah dengan berbagai model memenuhi halaman rumah bertingkat dua di kampung Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Meja kerja di teras rumah dipenuhi dengan tumpukan buku tebal dan sebuah pesawat telepon
Begitulah suasana rumah Suburdjo Hartono, perajin gerabah asal Bantul. Wajahnya kini mudah ditemui di mana saja; di bandara, jalan-jalan, di majalah, koran-koran nasional, hingga di gedung-gedung perkantoran. Ia memang menjadi model iklan perusahaan prosesor internasional berkat usaha kecil gerabah yang ia rintis sejak tahun 1984.
Subur, demikian panggilan akrabnya, tahu benar bahwa teknologi dan informasi mampu membantu usahanya. Berkat teknologi, ia menjadi perajin yang hasil produksinya 80 persen diekspor ke luar negeri, ke berbagai benua dari Eropa, Australia, sampai Amerika. Bapak dua putri ini meraih penghargaan Paramakarya pada pemerintahan Presiden Soeharto dan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Subur awalnya tidak mempunyai dasar pendidikan di bidang bisnis atau ekonomi. Ia adalah lulusan Fakultas Pertanian tahun 1974 meski akhirnya belajar ekonomi manajemen. Ia sempat bekerja di Pabrik Gula Madukismo, Bantul, kemudian pindah ke PT Sari Husada Yogyakarta hingga pensiun pada awal tahun 2002.
Dari pinjaman kantor, pria kelahiran tahun 1955 ini mulai berbisnis kecil-kecilan. Tahun 1975 ia mencoba berbisnis dengan membeli 50 ekor anak ayam untuk diternakkan di belakang pekarangan rumahnya. Pagi ia beli, sorenya seluruh ayam itu mati.
"Besoknya saya beli lagi 100 ekor anak ayam, tetapi kali ini diberi penerangan lampu agar suhu kandang terjaga dan anak ayam tidak mati kedinginan," tuturnya. Pada tahun 1985 ia berhasil mempunyai ternak hingga 50.000 ekor.
Persaingan
Sukses Subur diikuti oleh pengusaha lainnya, sampai akhirnya pada tahun 1985 ia menutup usaha ayamnya karena selain sudah banyak pesaing, prospeknya tidak lagi secerah dulu.
Subur memang suka mencoba bisnis-bisnis baru. Sebelum menutup peternakan ayamnya, pada tahun 1979 ia sudah merintis bisnis gerabah kecil-kecilan, hanya berbentuk perkakas rumah tangga, pot bunga sederhana, atau celengan saja. Saat itu hanya ada dua atau tiga perajin gerabah yang ada di Kasongan. Daerah Kasongan sejak tahun 1825 dikenal sebagai sentra gerabah.
Subur tahu benar mengeksplorasi potensi. Ia mengolah potensi itu menjadi kreasi-kreasi baru. Misalnya, sejak tahun 1979 ia mencoba-coba teknik pembakaran baru. Ia bakar gerabah dua kali sehingga menghasilkan warna lebih menyala. Diakui, pada saat itu peran pelukis Sapto Hudoyo dan para mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta cukup besar dalam memberikan sentuhan inovasi pada produk gerabah di kalangan perajin Kasongan, termasuk di bidang pemasaran dan promosi ke luar negeri.
Tawaran ekspor datang ketika Subur mengikuti pameran kerajinan di Bali tahun 1984. Selanjutnya, ia membangun jaringan komunikasi dengan para pelanggannya melalui telepon meski saat itu ia harus mengeluarkan investasi cukup tinggi untuk pemasangannya, sekitar Rp 4 juta.
Tahun 1990 ia sudah berinvestasi dengan membeli komputer walau skala perusahaannya tergolong usaha kecil menengah. Lima tahun kemudian ia sudah menggunakan akses internet untuk kepentingan pemasaran dan order barang.
Sektor mikro, kecil, dan menengah yang digeluti Subur ternyata mampu bertahan dari gempuran krisis moneter yang menghantam sejak tahun 1997. Subur dan perajin lainnya bahkan mengalami masa keemasan pada tahun 1998 ketika permintaan ekspor meninggi dan harga dollar Amerika melambung.
Titik balik
Tahun 2000, menurut Subur, adalah titik balik industri gerabah di Kasongan. Penurunan permintaan sudah mulai terasa akibat banyaknya perajin di Kasongan yang muncul usai PHK massal tahun 1999-2000.
Hal yang masih dipegang Subur ketika perekonomian mengendur adalah inovasi dan kualitas yang selalu dijaga meskipun ongkos produksi naik. "Saya tidak bisa menaikkan harga, namun hanya bisa menekan ongkos lainnya seperti pengepakan dengan menggunakan kulit kayu sengon dan bukan kayu (asli) packing. Dengan substitusi itu, ongkos pengepakan lebih irit 25 persen, namun tetap sama kuatnya," katanya.
Subur Ceramic milik Subur hingga kini tetap bisa memperoleh pesanan dua-tiga kontainer tiap bulan ke luar negeri, bahkan terkadang tidak semua dipenuhi karena kurangnya tenaga kerja. Ia tidak mau pelanggannya kecewa karena gerabah yang dikirim pecah atau cacat.
Pengembangan desain untuk produk gerabah mulai dari bentuk, fungsi, pewarnaan, dan ornamen berperan penting memenangkan persaingan pasar. Kulit telur, anyaman rotan, pelepah pisang, dan sabut kelapa dapat menjadi inspirasinya mendesain ornamen.
"Ide-ide yang saya dapatkan biasanya langsung diaplikasikan oleh perajin-perajin saya, dan itu berjalan sampai sekarang. Tinggal bagaimana saja menawarkan pada konsumen. Risiko tidak laku berani saya tempuh," katanya.
Berawal dari cobek untuk keperluan dapur, produk Subur kini bermetamorfosa menjadi guci penghias gedung megah, mulai dari rumah tangga hingga hotel berbintang lima. Kasongan yang dulu sepi pun menjadi salah satu pusat kerajinan nasional. Dan Subur salah satu yang mengangkat citra gerabah Kasongan dari kelas celengan menjadi hiasan di hotel bintang lima.
Sumber : Kompas, Jumat, 19 Mei 2006
0 comments:
Post a Comment