Jun 20, 2009

Sony Rosyan : "Game" Animasi Sony Rosyan

"Game" Animasi Sony Rosyan
Oleh : D06 dan D11

Burung raja udang suka makan ikan. Namun, karena ikan di sungai banyak diracun atau disetrum listrik, si burung raja udang terpaksa makan buah. Ia pun terbang mencari buah di gua-gua, seperti Gua Cukang Taneuh di Ciamis dan Sunyaragi di Cirebon.

Kisah mini yang mengandung pelajaran pengenalan dan pelestarian lingkungan itu terangkum dalam game animasi berjudul Si Jeknyeh Kalaparan karya Sony Rosyan. Menurut pria kelahiran 12 Juli 1965 ini, jeknyeh adalah nama lokal Sunda untuk burung raja udang.

Sony tidak sekadar menempelkan nama lokal Sunda. Sebab, hampir keseluruhan permainan animasi itu memang bernuansa Sunda. Mulai dari penjelasan hingga perintah, Sony mengusahakan memakai bahasa tradisional itu. Termasuk juga nama gua-gua tempat Si Jeknyeh berburu buah yang semuanya berlokasi di Jawa Barat. Untuk musik pengiring, Sony memakai potongan musik kendang dan kacapi suling.

”Tujuan utama saya untuk mengenalkan bahasa Sunda kepada anak-anak,” kata Sony. Memprogram permainan dalam bahasa Sunda diawali dari kegelisahan Sony melihat bahasa tradisi itu mulai ditinggalkan dalam percakapan sehari-hari. ”Banyak anak tetangga saya yang tidak bisa bahasa Sunda. Padahal, mereka asli Sunda,” tutur Sony yang tinggal di Jalan Sekelimus III No 1A, Bandung.

Menurut Sony, bahasa adalah bagian budaya yang perlu dilestarikan agar tidak punah. Alumnus Pendidikan Ahli Teknik Telekomunikasi (sekarang Sekolah Tinggi Teknologi Telkom) tahun 1989 ini mengatakan, bahasa tradisional suku mana pun perlu dilestarikan agar tidak punah.

Dari kegelisahan

Menurut Sony, anak-anak suka meniru dan tidak takut salah. ”Anak saya bisa menghitung satu sampai sepuluh dalam bahasa Spanyol gara-gara nonton Dora The Explorer,” kata Sony mencontohkan efektifnya belajar bahasa pada usia dini.

Kegelisahan itu mengantarnya pada suatu pertanyaan: saya bisa berbuat apa? ”Menulis (sastra Sunda), saya enggak bisa,” kata Sony. Ia sempat merasa tidak bisa berbuat sesuatu yang berarti untuk menjawab kegelisahannya. Namun, Sony punya banyak teman yang mendorongnya untuk menggunakan talentanya dalam melestarikan bahasa Sunda.

Jadilah, lelaki yang bekerja sebagai Business Development Officer di PT Telkom itu mengawinkan teknologi modern dengan pernik-pernik tradisi. Si Jeknyeh Kalaparan dan Wanara Mulung Sentul adalah dua game berbahasa Sunda di antara belasan game animasi karyanya yang lain.

Suami Kartika (37) dan ayah dari Aridita Yasmina Dewi (14), Asarela Orchida Dewi (12), Aurora Rosena Dewi (6), dan Audira Gladiola Dewi (2 bulan) ini belajar animasi secara otodidak. Imajinasinya terlatih sejak kecil akibat kegemarannya membaca berbagai buku cerita dan komik. ”Ketika SMA, saya tergila-gila baca (karya) Khoo Ping Hoo,” ujar anak nomor tiga dari enam bersaudara ini.

Perkenalannya dengan komputer membuatnya suka bereksperimen. Ia sudah suka mencoba-coba membuat animasi sejak tersedia program Lotus, yang jika dibandingkan dengan program-program sekarang sudah sangat kuno dan ketinggalan.

Sebelum menciptakan game animasi berbahasa Sunda, Sony rajin membuat game dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Semula, ia hanya menyimpan game animasi berbahasa Sunda itu. Keterlibatannya di mailing list Komunitas Urang Sunda di Internet (Kusnet) memberinya banyak teman yang mendorong agar ia memublikasikan karyanya.

Tidak memikirkan hak cipta

Dalam skala terbatas, Sony pun menunjukkan hasil kerjanya dan mendapat tanggapan positif. Salah satunya ketika Kongres Bahasa Sunda yang diselenggarakan di bulan Juli tahun ini. Ia dengan senang hati memberikan kopi game-nya kepada beberapa teman tanpa pusing memikirkan soal hak cipta.

Selain ia sendiri yang hobi main game, anak-anaknya pun ketularan. Baginya, game adalah media yang cukup ampuh untuk menyampaikan sesuatu. Ia beralasan bahwa pada dasarnya manusia suka bermain. ”Pada game ada tantangan, bikin penasaran, dan pembelajaran kalah atau menang,” kata Sony.

Karena hanya dikerjakan sebagai pengisi waktu luang, perlu waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu permainan. Meski demikian, ia punya mimpi jika hasil karyanya bisa digandakan lantas dibagikan kepada khalayak luas. ”Kalau bisa, tidak komersial,” harap Sony.

Namun, sekali lagi, niat seperti itu sering terkendala banyak hal, terutama dana. ”Di Indonesia sangat banyak bahan (cerita), tetapi kita tidak pintar menyajikannya. Selain itu, penghargaan terhadap karya yang sudah ada juga kurang,” ujar Sony.

Hal itu tidak membuatnya berhenti berkarya. Di kepalanya kini ada imajinasi untuk menghadirkan gedung-gedung tua di Bandung lengkap dengan petanya dalam sebuah game animasi. ”Akan sangat bagus kalau bisa dikerjakan bersama ahli sejarah dan desain,” kata Sony. (D06/D11)

Sumber : Kompas, Sabtu, 26 November 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks