Jun 26, 2009

Soekanto SA : Perjalanan Bersahaja Soekanto SA

Perjalanan Bersahaja Soekanto SA
Oleh : Maria Hartiningsih

Soekanto SA (75) tinggal di dalam kenangan banyak anak yang sekarang sudah menjadi orang tua. Namanya langsung mengingatkan pada Si Kuncung, majalah anak pada akhir tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1970-an. Ia juga dikenal sebagai penulis cerita anak yang legendaris.

Mata saya diobati oleh anak yang dulu penggemar tulisan saya. Sekarang ia dokter spesialis mata. Namanya Ella, putri Pak Rosihan Anwar,” sambungnya. Mata Pak Kanto—begitu ia disapa— mengalami gangguan ketika ia mengalami stroke ringan dua tahun lalu.

Menyebut Ella, membuatnya teringat kepada seorang anak perempuan berusia sekitar sembilan tahun yang pada suatu hari datang ke kantor Si Kuncung. Mula-mula anak itu bertanya kapan nomor terbaru Si Kuncung terbit. Lalu ia bercerita tentang ikan-ikan kesayangannya yang menggelepar-gelepar ketika tendangan bola adiknya menerjang akuarium.

Nama anak itu Gustini. Ia ke kantor itu untuk menghibur diri. Bertemulah ia dengan Pak Kanto, yang kemudian bergegas menulis serial Hari-hari Bersama Gustini.

”Honor tulisan itu ditambah pinjaman dari Ramadhan KH dipakai untuk biaya menikah secara sederhana di Surabaya,” kenangnya.

Inspirasi Pak Kanto datang dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Pantangan dalam cerita anak—terutama, menggurui—memaksa dia kreatif agar penyelamannya tersaji secara indah dan lebih tersaring. ”Supaya hanya sari makanan yang bernilai yang perlu untuk perkembangan jiwa anak,” katanya.

Padahal sebelumnya ia tidak yakin apakah cerita anak punya nilai sastra. Penulis seangkatan dengan Trisnoyuwono (alm) dan Ajip Rosidi itu berhasil diyakinkan Sudjati SA, Pemimpin Redaksi Si Kuncung, bahwa karya-karyanya untuk anak tidak hanya indah, tetapi juga bermanfaat dan punya kemampuan membersihkan jiwa.

Mencipta imajinasi

Buku cerita anak pertama-tama harus memberikan kenikmatan membaca. ”Anak-anak dulu kalau membaca sampai masuk ke kolong supaya tidak diganggu,” kenangnya tentang masa kecil ketujuh anaknya. Sukanto dan istrinya membuat anak-anak mereka tak bisa dipisahkan dari buku.

”Buku memberikan kebebasan anak untuk berimajinasi, berbeda dengan televisi yang bersifat mendikte,” lanjut Pak Kanto. Rusaknya minat baca oleh kemajuan teknologi sebenarnya sudah diprediksi dalam berbagai seminar internasional awal tahun 1980-an. ”Salah satu cucu saya sekarang lebih suka main game,” keluhnya.

Pak Kanto menulis dengan segenap cintanya kepada anak-anak. Itu membuatnya merasa beruntung dapat menyelesaikan beberapa biografi yang ditulis dengan pendekatan fictionalized biography, untuk anak. Judul tulisannya untuk Jenderal Sudirman diadopsi untuk tulisan ini.

Sebelumnya ia menulis tentang Mohammad Husni Thamrin yang diterbitkan dengan judul Matahari Jakarta. Pada ulang tahunnya ke-70 ia menghadiahi dirinya dengan terbitnya buku biografi untuk anak, tentang Nabi Muhammad SAW.

”Diselamatkan” istri

Pak Kanto menjalani hidupnya secara penuh. ”Saya ini ’selamat’ karena ’digembala’ Ibu,” ujarnya, tersenyum. ”Dia keras, disiplin, dan tak bisa ditawar dalam prinsip. Rapor anak boleh merah, tetapi tidak akhlaknya. Dia sangat peka terhadap penderitaan orang lain dan selalu memberi contoh bertindak kepada kami.”

Ia terdiam. Matanya memandang kejauhan, menerobos pintu rumah berukuran 6 kali 15 meter persegi di Perumnas Depok Utara itu. Lalu memandang lurus tamunya dan berkata, ”Kita bicara hal-hal yang menyenangkan saja ya….”

”Tidak mudah bagi Bapak ditinggal Ibu,” suara Santi WE Soekanto, satu dari lima putrinya, memecah kebekuan. Surtiningsih Wiryo Taruno, istri Pak Kanto, berpulang tanggal 3 Mei lalu, lepas tengah malam, dalam usia 67 tahun.

Bagi kakek 25 cucu itu, Surtiningsih bukan sekadar istri dan ibu dari sembilan anak mereka. Di dalam diri almarhumah, Soekanto yang memiliki ijazah sarjana di bidang keuangan negara menemukan kekuatan untuk menjalani hidupnya sebagai penulis. Surtiningsih juga dikenal sebagai penulis cerita anak pada zamannya.

”Kami bersyukur dengan hidup yang sangat sederhana sehingga, alhamdulillah, semua anak kami hidup produktif. Mereka rukun, saling mengasihi, saling membantu,” sambungnya. Itulah kebanggaannya, kebahagiaannya.

Harapannya ke depan sangat bersahaja, seperti perjalanan hidupnya. ”Mudah-mudahan akhir hidup saya dipandang-Nya sebagai akhir yang baik. Saya boleh bertemu lagi dengan kekasih dan pendukung saya sepanjang hidup, istri saya,” tuturnya. Amin….

Sumber : Kompas, Rabu, 29 Juni 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks