Jun 20, 2009

Sobandi : Petani Kreatif Sobandi

Petani Kreatif Sobandi
Oleh : Yenti Aprianti

Buah busuk, jelaga, sampah dedaunan di pekarangan, dan sisa-sisa makanan terbukti telah meningkatkan kesejahteraan Sobandi (55), petani lulusan sekolah rakyat yang senang mengulik alam itu.

Sebagai ketua kelompok petani organik di Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung, Sobandi banyak bertanya untuk memanfaatkan alam pada ahli pertanian. Kertas-kertas karton menempel di dinding di belakang rumahnya, bersebelahan dengan kandang kambing. Pada dinding itu terdapat diagram-diagram sejarah keterpurukan pangan Indonesia hingga sukses swasembada pangan, juga kondisi petani Indonesia masa kini yang terancam impor beras dan perdagangan bebas.

Kertas lainnya berisi skema langkah-langkah peningkatan produksi pertanian melalui pembelajaran ekologi tanah. ”Ini bekas sekolah lapangan,” kata Sobandi. Sekolah lapangan adalah kegiatan belajar para petani. Para ahli pertanian diundang untuk memberi wawasan kepada mereka.

Kegiatan ini diadakan sore hari setelah para petani pulang dari sawah. Ada 30 petani yang aktif dalam kegiatan sekolah lapangan tersebut. Sekolah lapangan ini berlangsung selama 12 kali pertemuan. Pertemuan diadakan seminggu sekali dan sudah berakhir pertengahan tahun ini.

Namun, diskusi seru antarpetani di desa itu tidak pernah berhenti. Di sawah, di pekarangan, di perjalanan, jika mereka bertemu pasti saling membagi informasi atau pengalaman terbaru.

Para petani berbagi cara membuat pupuk dan pestisida alami yang berbiaya murah, berbahan mudah didapat, dan efektif. Sobandi merupakan petani yang sering dijadikan narasumber bagi para petani di sekitarnya untuk soal pembuatan pupuk dan pestisida alami.

Tidak hanya petani di desanya, ia juga sering diundang ke luar kota untuk menceritakan kisah suksesnya mengolah tanah dan memelihara tanaman padi dengan pupuk dan pestisida alami yang dibuat sendiri berdasarkan informasi dari para peneliti pertanian yang dikenalnya.

Dengan istri

Dalam membuat ramuan pestisida dan pupuk, Sobandi bekerja sama dengan istrinya di rumah. Istrinya, Neneh (50), biasa memasak dengan kayu bakar dalam tungku. Di sekitar tungku ada jelaga. Sobandi rajin mengumpulkan debu arang yang menempel di dinding dapurnya untuk dijadikan bahan pestisida yang mampu membasmi berbagai serangga yang menyerang tanaman padi. Caranya, jelaga, bubuk cabai, dan air dicampur. Campuran itu disemprotkan pada tanaman padi.

Untuk mengusir hama, Sobandi biasa mencampurkan tumbukan daun tembakau yang sudah tua dan umbi-umbian berupa picung dan gadung. Hasil tumbukan ini dicampur dengan air dan kemudian disemprotkan ke padi yang diserang hama wereng, ulat, dan lainnya.

Ketika istrinya mencuci beras untuk ditanak, Sobandi juga akan mengumpulkan air cucian beras untuk dijadikan bahan media pengembangbiakan bakteri pembusuk, yang ia sebut MOL atau mikroorganisme lokal.

Cucian beras dicampurkan dengan sayur-mayur dan buah-buahan busuk, sisa makanan, kotoran ternak, dan jenis sampah organik lain. Semua sampah itu dimasukkan dalam drum. Air sampah atau lindi bisa langsung disemprotkan pada tanah untuk menggemburkan. Bisa juga dipakai untuk membusukkan sampah organik lain untuk dijadikan kompos. ”Dengan ditambahkan MOL, pembuatan kompos bisa cepat, 15 hari sudah bisa dipakai memupuk tanah,” kata Sobandi.

Kemahirannya bertani secara organik itu pun membuahkan hasil memuaskan. Dari setiap lahan seluas 400 meter persegi, Sobandi berhasil memproduksi beras 100 kilogram (kg) lebih banyak dari beras yang dihasilkan dengan cara bertani anorganik atau menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Beras organik yang ia hasilkan juga berharga lebih tinggi dari beras biasa. Saat ini ia menjual beras organik Rp 5.000 per kg. Bandingkan dengan beras biasa yang harga tertingginya hanya berkisar Rp 3.800 per kg. Ia menghasilkan beras sebanyak hampir tiga ton sekali panen. Setelah disisihkan untuk kebutuhan makan keluarganya hingga panen berikutnya, semua beras ia jual ke Jakarta dan Kalimantan.

”Permintaan masih banyak. Berapa pun produksi yang dikeluarkan, pasti langsung habis. Tapi, untuk meningkatkan produksi hingga berkali-kali lipat, saya belum mampu karena lahannya masih sedikit,” kata ayah dari Lisna Mulyani (31), Edi Junaidi (27), dan Yusep Iskandar (24) ini.

Pengalamannya yang menggembirakan dalam dunia pertanian membuatnya sangat optimistis bahwa kehidupan pertanian dan petani Indonesia bisa sejahtera. Kesejahteraan yang dikecapnya kini membuatnya tidak ragu-ragu untuk mengajak anak-anaknya menjadi petani.

”Anak dan menantu saya sudah setuju. Suatu saat kalau saya sudah tidak ada, mereka berjanji akan jadi petani. Mendengar janji itu, hidup saya rasanya lebih tenang,” ujar Sobandi. (YENTI APRIANTI/D11)

Sumber : Kompas, Jumat, 9 Desember 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks