Slamet, Mengais Rezeki di Imogiri
Oleh : Djoko Poernomo
Tak terhitung jumlah peziarah yang telah ia ceramahi tentang Sultan Agung. Begitu pula, tak tercatat berapa kali ia pernah naik ke bukit Imogiri, Bantul, Yogyakarta, tempat raja-raja dari dinasti Mataram bersemayam.
Itulah Slamet (60), satu dari lima pemandu wisata di kompleks makam raja-raja di Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Meski ia tidak pernah memperoleh pendidikan khusus di bidang sejarah, Slamet mampu menjelaskan siapa Sultan Agung serta raja-raja lain yang dimakamkan di sana. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas II pada sekolah menengah atas di sebuah sekolah swasta.
Bapak lima anak dan kakek dua cucu yang semula menjadi sopir di sebuah perusahaan biro perjalanan tersebut mengaku mengetahui riwayat raja-raja yang dimakamkan di Imogiri dari membaca buku, ditambah nguping pemandu wisata di tempatnya bekerja antara tahun 1980-1990. "Sambil nyopir, saya catat dalam ingatan keterangan para pemandu wisata," tutur Slamet, beberapa waktu lalu.
Kebetulan rumahnya di Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, berlokasi tak jauh dari makam Imogiri sehingga—boleh disebut—sejak muda ia telah berinteraksi dengan para pemandu wisata serta orangtua setempat. Ini yang juga menambah pengetahuannya.
Pasir Mekkah
Mengapa makam raja-raja keturunan Kerajaan Mataram terletak di Imogiri, bukan di pusat kerajaan di Kota Yogyakarta? Pemilihan lokasi makam, demikian Slamet, ditentukan oleh Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, raja ketiga Mataram yang berkuasa tahun 1613-1645, lewat pelemparan tanah pasir.
Raja yang taat beragama itu awalnya ingin dimakamkan di Mekkah, Arab Saudi. Namun, setelah mendapat wangsit lewat mimpi, Sultan Agung mengurungkan niat. Sebagai gantinya, ia melempar tanah pasir yang berasal dari Mekkah ke arah selatan kerajaan dan jatuh di Pegunungan Merak, Imogiri. Berdasarkan hal itu, Sultan Agung membangun kawasan pemakaman bagi keluarga Kerajaan Mataram di Imogiri. Makam seluas 10 hektar tersebut mulai dibangun sekitar tahun 1632.
Makam Imogiri secara umum terbagi menjadi tiga bagian. Sayap barat adalah kompleks pemakaman raja-raja Keraton Surakarta, dari Paku Buwono III hingga PB XII (10 makam). Kemudian sisi timur merupakan areal pemakaman raja-raja dari Kesultanan Yogyakarta mulai Hamengku Buwono I sampai HB IX (delapan makam)—kecuali HB II yang dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta—serta raja-raja Mataram Kuno (enam makam) yang terletak di bagian tengah.
"Kompleks utamanya adalah makam Sultan Agung. Pusaranya terletak di bagian puncak atau tertinggi," tutur Slamet, yang beristrikan Ningwiyah Khayati.
Untuk mencapai gapura makam Sultan Agung, peziarah harus mendaki undak-undak (anak tangga) sebanyak 454 buah, ditambah lagi 99 buah dari gapura hingga kompleks makam. Banyaknya anak tangga yang harus didaki membuat para peziarah jarang bisa menghitung secara benar. "Apalagi napas sudah ngos-ngosan," tambah Slamet, yang sudah menjalani profesi selaku pemandu wisata di Imogiri 10 tahun terakhir ini.
Hidup "sakmadya"
Jangan samakan Slamet dengan para pemandu wisata lain. Ia tak berlisensi dan tak memperoleh gaji dari lembaga resmi, katakanlah pemerintah daerah. Untuk menopang hidup sehari-hari, Slamet sekeluarga menggantungkan dari tip para peziarah. Karena itu, penghasilannya tak menentu.
Meski demikian, anak nomor dua dari seorang anggota polisi berpangkat Brigadir II (almarhum) Kartorumekso itu tak pernah mengeluh. "Pernah empat hari tak ada pemasukan. Tetapi, saya percaya Yang Mahakuasa tak pernah melupakan hambanya. Eeee, pada hari kelima kok ada tamu dari Semarang yang ingin berziarah," tuturnya.
Rupanya puas atas pelayanan yang diberikan, sang tamu memberi tip lumayan banyak.
"Hidup harus sakmadya. Tak perlu ngaya. Rezeki pasti datang. Tak perlu dikejar-kejar…," ungkap Slamet berfilsafat. Ia mengaku, setiap kali menjelang tidur pasti menyampaikan panyuwunan kepada Yang Mahakuasa agar diberi kekuatan lahir-batin.
Slamet beserta empat rekannya sesama pemandu wisata biasa stand by di Pajimatan, bangunan tempat istirahat menjelang pintu masuk ke makam Imogiri, sejak pukul 06.00 hingga menjelang magrib. "Malam pun kalau ada tamu, ya, saya antar," tuturnya.
Dari 24 makam raja-raja di Imogiri, yang paling banyak diziarahi adalah makam Sultan Agung, disusul makam Sultan HB IX yang wafat di AS tahun 1988. Sementara raja terakhir yang dimakamkan adalah Sunan PB XII pada 12 Juni 2004.
Harapan Slamet sekarang segera bisa diangkat menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta, yang kini mencapai 1.600-an orang. Permohonan telah diajukan sembilan tahun lalu. Jika permohonannya dikabulkan, Slamet bakal menjadi abdi dalem dari tingkat terendah yang disebut jajar dengan hak memperoleh honorarium tetap sebulan sekali.
Cara Slamet melakoni hidupnya secara bersahaja merefleksikan kosmologi masyarakat Jawa yang sebagian lebih mengutamakan asketisme daripada larut dalam materialisme.
Sumber : Kompas, Sabtu, 6 Mei 2006
Jun 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment