Jun 8, 2009

Sidik W Martowidjoyo : Penghormatan dari Sarang Naga

Penghormatan dari Sarang Naga
Oleh : Putu Fajar Arcana

Mata Sidik W Martowidjoyo (70) yang sipit tiba-tiba membelalak. Cuaca petang di Yogyakarta pada awal tahun 2007 yang sejuk, justru membuat jantungnya seperti terguncang.

Setelah sesi pemotretan selesai, lelaki berambut putih itu baru menyadari bahwa sebuah lukisan yang belum diberinya judul, dipasang terbalik oleh para pekerjanya. Bidang lukisan yang seharusnya tampak depan justru ditempelkan pada latar kertas di belakangnya dengan semacam lem.

Pada lukisan bergaya chinese painting yang bermedia cat air dan kertas, penempelan karya secara terbalik menjadi perkara besar. Rupanya Sidik tak kehabisan akal, ia minta dua orang pekerjanya menyemprotkan air di atas permukaan lukisan.

Dengan hati-hati Sidik mencoba melepas lukisan dari lembaran kertas di bawahnya. "Ini ibarat mengelupas prangko dari amplopnya…," kata Sidik menahan napas. Ia terengah. Bukan karena ketuaannya, tetapi lebih karena gugup jika lukisannya tersobek.

Kira-kira "hanya" dalam 30 menit, lukisan yang ukurannya tak kurang dari 1,5 meter x 2 meter itu berhasil dipisahkan dari kertas penempelnya. "Huhh, ini melelahkan, lebih melelahkan dari melukis," ujar Sidik.

Kejadian ini hanyalah gambaran kecil untuk mengungkapkan betapa orang tua yang lahir di Malang tahun 1937 ini memiliki "ilmu" yang jarang dimiliki para perupa kontemporer Indonesia. Di usia yang boleh dibilang sangat tua, Sidik masih bertenaga untuk melukis pada media kertas besar seukuran 5 meter x 7 meter. Ukuran itu kebetulan menjadi ukuran maksimal dinding studionya di bilangan Perumahan Colombo, Kota Yogyakarta.

Dalam lukisan bergaya chinese painting, cat air atau tinta, kertas shien tze, dan pit (kuas), setidaknya media yang dieksplorasi oleh Sidik sampai kini, sungguh diperlukan ketekunan yang terlatih, kehati-hatian, serta tenaga yang terukur. Pasti bukan perkara kecil memainkan pit di atas kertas segitu gedenya dengan media cat air.

"Karena melukis chinese painting harus sekali selesai, saya bisa sampai menunda makan dan pergi ke toilet untuk menyelesaikan satu karya," tutur Sidik yang memiliki nama Tionghoa, Ma Yung Qiang.

Seluruh kekuatan yang ada pada Sidik tak dicapai dengan mudah. Pada usia sembilan tahun, ia sudah belajar kaligrafi dari Xiau Baixin Laushi (almarhum), seorang kepala sekolah Tionghoa di Malang. Sidik juga secara otodidak belajar sastra dari ayahnya, Phe Hwie Kwan, yang mengenalkannya pada buku-buku karya pelukis maestro China, Qi Pai She.

Di luar itu, suami dari Lili Indraginarni (71) ini sejak kecil sudah berlatih ilmu bela diri tradisional China, kung- fu. Sampai sekarang kuda-kuda dan napas Sidik, untuk ukuran orang setua dirinya, masih tangguh.

"Kalau saya melukis mesti posisinya begini…," kata Sidik sembari memeragakan kuda-kuda setengah jongkok.

Posisi semacam itu untuk melukis seukuran 5 meter x 7 meter, misalnya, bisa makan waktu lebih dari setengah hari. Sudah begitu, brush stroke (tarian kuas) di atas kertas harus benar-benar terukur untuk menjaga agar kertas shien tze yang tipis tidak robek. Hanya orang yang benar- benar terlatih tenaga dalamnya yang mampu menarikan pit dengan lihai di atas kertas itu tanpa cacat.

Suhu langsung

Kendati tak memiliki suhu (guru) langsung dalam seni lukis, Sidik diam-diam terus mengasah kemampuannya bekerja. Semasa Orde Baru berkuasa, praktis kegiatan melukisnya terhenti total akibat larangan segala bentuk ekspresi yang berbau China. Sejak tahun 1968, ayah Dhyani Paramita Kalapaking (30) ini pindah dari Malang ke Jakarta. "Malah saya jadi pengusaha real estat," ujar dia.

Tahun 1998 ketika keran reformasi dibuka dengan tumbangnya Orde Baru, Sidik naik panggung seni rupa nasional. Ia tetap mengusung chinese painting yang selama ini dipelajarinya. Perusahaan real estat yang ia rintis di Jakarta, ia serahkan kepada orang lain. Dan Sidik memilih Yogyakarta sebagai tempat untuk memulai pameran tunggalnya yang pertama tahun 1998.

"Banyak pelukis chinese painting yang mulai melukis pada usia yang tak muda lagi," ujar pengamat seni rupa Eddy Soetriyono dalam sebuah pengantar buku kritik tentang karya-karya Sidik. Sidik benar-benar memutuskan hidup sebagai pelukis "baru" pada usia 68 tahun. "Padahal pelukis adalah cita-cita saya sejak kecil," tutur dia.

Pada kasus chinese painting, ketika seorang pelukis mulai benar-benar melukis pada usia tidak muda lagi, di situ ia akan menemukan kematangannya. Chinese painting bukanlah sekadar perupaan, tetapi ia berada antara pertemuan kaligrafi dan filosofi, atau antara seni tulis dan seni lukis, atau seni sastra dan seni rupa. Itulah makanya dalam lukisan-lukisan Sidik senantiasa kita temui judul-judul berupa puisi.

Hal yang menonjol pada pelukis ini, ia tidak terjebak dalam kungkungan gaya lukisan klasik china, tetapi melesat jauh mencari bentuk sendiri untuk mewadahi ekspresi manusia modern. Hebatnya pula, ekspresi yang divisualkan Sidik dengan gambar-gambar abstrak, tetap berpegang pada hukum chinese painting, di mana manusia adalah bagian dari keagungan semesta raya. Dan semesta itu senantiasa dimanifestasikan dengan kehadiran gunung, laut, dan awan.

Di tangan pelukis seperti Sidik, seluruh hukum itu mendapatkan ekspresi individual yang mengagumkan. Ia seperti menciptakan karya-karya abstrak yang terkadang merupakan simbolisasi dari keagungan alam. Pencapaian inilah yang membuat Pusat Pemuda Partai China (semacam Lemhanas) memberinya Piagam Kehormatan.

Piagam yang diserahkan pada 23 Desember 2006 itu menobatkan Sidik sebagai 10 budayawan yang dianggap berhasil melakukan pembaruan dalam seni budaya China. Dalam 10 budayawan itu termasuk sutradara film kesohor Zhang Yimou. "Saya satu-satunya orang dari luar China," kata Sidik bangga.

Pengakuan itu tak lepas pula dari "keberanian" Sidik untuk memasuki sarang naga. April 2006 lalu ia berpameran di Galeri Nasional China di Beijing, sebuah institusi seni rupa paling bergengsi di daratan China. Tahun 2007, ia bahkan merancang tiga pameran besar di tiga kota di negeri China.

"Kalau mau benar-benar bertanding harus berani masuk ke sarang naga," tutur Sidik. Di situ, di sarang naga, Sidik mendapatkan penghormatan selayaknya seniman, yang tidak saja bekerja atas alasan ekspresi, tetapi secara sadar mengeksplorasi khazanah dari satu gugusan budaya: China!

Sumber : Kompas, Rabu, 31 Januari 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks