Memelihara Mimpi untuk Berinovasi
Oleh : Regina Rukmorini
Setiap orang boleh bermimpi. Namun, yang tak kalah penting adalah upaya untuk mewujudkannya. Setiap tahun Setiyana (38) berusaha merealisasikan impian itu dengan terus-menerus berinovasi dalam metode pembelajaran kimia. Harapannya, dengan cara itulah murid-murid mau dan menyukai pelajaran kimia.
Semangat dan kegigihan Setiyana mewujudkan mimpi dibuktikan melalui prestasi yang dicetaknya tanpa henti. Akhir November lalu, ia meraih Juara I Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran, khusus untuk guru SMA. Ini gelar juara pertama yang untuk kelima kalinya dia raih dalam lomba serupa di tingkat nasional.
Setiyana mengatakan, keinginannya untuk berinovasi berawal dari rasa prihatin pada keterbatasan sarana yang dimiliki sekolah tempatnya mengajar, SMA Negeri 1 Bandongan, Magelang, Jawa Tengah. Harga alat-alat peraga yang mahal membuat sekolah yang berlokasi di lereng Gunung Sumbing ini harus puas mengajarkan materi pelajaran hanya dengan teks dalam buku ajar.
Padahal cara itu, kata dia, hanya menggali potensi murid dari aspek kognitif. "Cara ini jelas keliru. Untuk mengajar, guru tak boleh melupakan dua aspek lain, yakni psikomotorik dan afektif," ujarnya.
Dengan mempertimbangkan aspek psikomotorik, setiap siswa diarahkan terampil membuat atau menciptakan sesuatu. Sedangkan aspek afektif dipakai dalam metode pengajaran untuk mengarahkan siswa agar memiliki sikap ilmiah, santun, dan kritis menyikapi sesuatu. Ketiga aspek tersebut tak bisa tergali tanpa menggerakkan para siswa untuk berpraktik dengan bantuan alat peraga.
"Dengan keterbatasan yang ada, saya berusaha membuat murid memahami konsep pembelajaran kimia. Ini saya lakukan dengan alat atau bahan sederhana yang ada di sekitar kami," lanjut Setiyana.
Inovasi pertama yang dia lakukan adalah mengajarkan kimia dengan mengajak siswa beraktivitas di alam atau outbond chemistry. Pemahaman tentang materi pelajaran coba dikenalkan dengan reaksi-reaksi kimia sederhana dan dikemas dalam bentuk permainan. Misalnya, anak-anak berperan sebagai senyawa kimia yang lalu bergabung-gabung.
Metode ini pun dinilai menarik. Cara ini dianggap menjadi metode pembelajaran terbaik dalam Simposium Inovasi Pembelajaran dan Pengelolaan Sekolah Ke-1 tingkat nasional yang diselenggarakan pada 2003.
Penghargaan itu memacu dia untuk terus berinovasi. Dia lalu mencoba membuat alat peraga hujan asam dan alat uji emisi bahan bakar minyak. Percobaan ini masih berlanjut hingga kini.
Alat bantu
Gelar juara I yang dia dapatkan dari Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran tingkat nasional tahun 2007, diperoleh atas hasil kerjanya membuat alat peraga untuk mengenalkan pemahaman tentang koloid. Ia membuat tiga alat bantu sekaligus, yaitu menara kimia, kotak efek Tyndall, dan alat destabilisasi koloid.
Komitmennya membuat alat peraga dari bahan sederhana terlihat di sini. Menara kimia, misalnya, dibuat dari kotak tempat bola tenis. Di dalamnya, siswa dibebaskan mengisinya dengan berbagai jenis zat cair dari berat jenis berbeda. Dengan cara itu murid belajar bagaimana dua zat dengan berat jenis berbeda selalu terpisah dan membutuhkan emulgator untuk mencampur menjadi satu.
Sifat koloid yang memperlihatkan berkas sinar saat disorot cahaya ditunjukkan dengan kotak efek Tyndall. Kotak ini dibuat dari bekas kotak sepatu, dan cahaya didapatkan dari bohlam kecil yang dihubungkan dengan sakelar.
Destabilisasi koloid juga tak memerlukan alat yang rumit. Cukup mengetahui emulgator dari koloid, destabilisasi bisa dilakukan dengan cawan atau gelas biasa. Protein yang menjadi emulgator pada santan dapat ditarik dengan bantuan beberapa tetes cuka.
Dengan alat-alat itu murid- murid Setiyana bisa menguji coba zat-zat yang ada di sekitar dan melihat apakah yang dibawanya termasuk koloid atau tidak. "Pada prinsipnya, saya ingin setiap siswa dapat memahami materi pelajaran melalui praktik, bukan sekadar menghafal," ujarnya.
Proses membuat alat-alat peraga tentulah tak sesederhana yang terlihat dari cara kerjanya. Mulai dari ide hingga terciptanya sebuah alat, Setiyana menghabiskan waktu sekitar setahun. Setelah itu, dia baru menerapkan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
"Dalam proses itulah, para siswa juga kerap mengkritik. Dari pendapat yang mereka berikan, saya dapat menyempurnakan alat-alat peraga itu," ceritanya.
Sumber inspirasi
Baginya, siswa juga menjadi sumber inspirasi. Ide membuat alat peraga bisa muncul dari kebutuhan siswa saat mengikuti pelajaran di kelas.
"Terkadang ide itu datang dari siswa saat kami ngobrol di luar kelas," ujar Setiyana yang juga menjadi pembimbing karya ilmiah remaja SMA Negeri Bandongan ini.
Agar tak ketinggalan zaman, ia rajin menyempurnakan alat-alat peraga yang dibuatnya berdasarkan informasi baru yang diaksesnya lewat internet atau buku baru yang dibelinya.
Beruntung, istrinya, Eny Nastyanti, juga berprofesi sebagai guru kimia di sebuah SMA di Kecamatan Mungkid, Magelang. "Istri saya ikut menyumbang ide. Dia mendukung setiap upaya saya dalam membuat alat peraga," katanya.
Bercerita tentang proses pembuatan alat peraga, Setiyana selalu menyimpan setiap ide yang muncul dalam agenda yang selalu dibawanya. Dengan demikian, begitu dia punya waktu senggang, catatan itu bisa dibuka dan siap menjadi "bibit" untuk diwujudkan sebagai alat peraga.
Mengenang saat di bangku SMA, Setiyana mengaku tak pandai pelajaran kimia. Bahkan nilai untuk mata pelajaran kimia selalu yang terburuk dibandingkan dengan nilai mata pelajaran lain di rapornya.
Namun, keadaan itu justru memicunya menekuni kimia. Setiyana memilih program studi kimia untuk jenjang diploma tiga (D3) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia menjadi sarjana dari IKIP Yogyakarta yang kini menjadi Universitas Negeri Yogyakarta.
Setelah bekerja sebagai guru, Setiyana tak punya impian lain kecuali membuat siswa menyukai dan memahami pelajaran Kimia. "Untuk itu, target saya setiap tahun membuat alat peraga baru dan metode pembelajaran yang menarik," ungkapnya.
Setiyana terus bermimpi, dan tetap berusaha mewujudkan setiap impiannya.
***
BIODATA
Nama: Setiyana
Lahir: Gunung Kidul, DI Yogyakarta, 19 Mei 1969
Pendidikan: Sarjana Kimia IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta )
Pekerjaan: Guru SMA Negeri Bandongan, Kabupaten Magelang
Istri: Eny Nastyanti (39)
Anak:
- Alda Nastyana Putra (10)
- Rifqi Fadhil Prasetyatama (9)
- Hasna Luthfia Setyaningsih (8)
- Zayyan Radhi Ahmadin (1,5)
Prestasi di antaranya:
- Juara I Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional 2007
- Peserta Terbaik Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Pengelolaan Sekolah 2005
- Peserta Terbaik Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Pengelolaan Sekolah 2003
- Juara II Lomba Kreativitas Guru Bidang MIPATEK tingkat Nasional 2005
Sumber : Kompas, Rabu, 19 Desember 2007
Jun 3, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment