Kemiskinan dan Kegelisahan Sajogyo
Oleh : Nazru Alam Azis
Minggu, 21 Mei 2006, usianya genap 80 tahun. Ditemui Kompas di kantornya yang asri dan tenang di Bogor, Prof Dr Ir Sajogyo tampak lebih muda dari usianya. Penampilannya yang khas tidak berubah, dengan cambang dan janggut halus tanpa kumis.
Berpuluh tahun guru besar Sosiologi Pedesaan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini dikenal luas sebagai pemikir yang mampu memengaruhi sejumlah kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan, terutama pada masa Orde Baru. Berpuluh tahun ia dikenal sebagai pendidik kader-kader peneliti sosial-ekonomi.
Puluhan tahun pula Sajogyo dikenal sebagai pencetus garis kemiskinan. Sebuah ukuran kemiskinan yang didasarkan pada nilai ambang kecukupan pangan, yang dinyatakan dalam nilai rupiah/bulan dengan wujud ekuivalen nilai tukar beras (kg/orang/bulan). "Saya pakai ukuran setara beras. Itu sebetulnya harga beras, bukan nilai kalori beras. BPS (Biro Pusat Statistik) yang kemudian mengukur garis kemiskinan dengan kalori beras," ungkap Sajogyo.
Untuk menentukan miskin tidaknya seseorang, patokannya 240 kg beras untuk penduduk desa dan 320 kg untuk penduduk kota. "Jika pengeluaran seseorang selama setahun kurang dari itu, berarti kekurangan pangan. Standar BPS lebih tinggi karena yang diukur bukan garis kemiskinan, melainkan garis cukup pangan," kata mantan Ketua Pergizi Pangan (1978-1986) itu.
Di usianya yang lanjut, Sajogyo masih sangat antusias bila diajak berbincang tentang kemiskinan. Menurut dia, masalah kemiskinan hanya bisa diatasi bila terbuka peluang berusaha dan peluang bekerja karena keduanya menentukan tingkat pendapatan individu maupun rumah tangga.
Ia mengkritik pola bantuan terhadap rakyat miskin dengan bantuan tunai, seperti dilakukan untuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). "Itu saya anggap salah besar. Kok bagi-bagi duit dan memakai data statistik BPS. Itu bukan tugasnya statistik," ujarnya.
Bila pemerintah ingin membantu rakyat miskin, kata Sajogyo, mestinya melalui musyawarah. Biarkan masyarakat sendiri yang menentukan siapa yang miskin dan butuh bantuan di antara mereka. Sajogyo menyebutnya pengukuran dari dalam, yang menyiratkan perubahan sosial amat mendasar.
Salah satu bentuk bantuan terhadap rakyat miskin, yang menurut Sajogyo cukup efektif, adalah yang dilakukan pada masa Orde Baru melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada 1994-1997. Program penanggulangan kemiskinan itu memberdayakan masyarakat pada hampir 30.000 desa melalui usaha ekonomi produktif.
"Sayangnya, IDT menjadi korban rencana pembangunan lima tahun yang tidak konsisten. Padahal yang berkuasa pada periode pemerintahan itu, dari repelita ke repelita, masih partai yang sama, Golkar. IDT terputus karena dalam repelita berikutnya sudah dilupakan, tanpa tindak lanjut," ujar Sajogyo.
"Sajogyo Inside"
Lahir di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah, pada 21 Mei 1926, Sajogyo menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ketika itu masih di bawah Universitas Indonesia (UI). Pendidikan S-2 dan S-3 ditempuhnya di Program Pascasarjana (Sosiologi Pedesaan) IPB, dengan disertasi berjudul Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Way Sekampung, Lampung (ketika itu masih Provinsi Sumatera Selatan).
Apa bekal paling berbobot dalam studi sosiologi pedesaan yang pernah diperolehnya pada jenjang S-1? Jawabnya, terutama dari berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Pertama, sebagai asisten-mahasiswa yang bertugas di perpustakaan jurusan, membaca dan membuat kartu berisi anotasi makalah penting dari berbagai majalah yang waktu itu dilanggani. Kedua, belajar di lapangan, di tengah masyarakat desa secara sukarela dan biaya sendiri, saat mendampingi H ten Dam, insinyur muda lulusan Universitas Wageningen, Belanda.
Kedua bekal itulah agaknya yang mewarnai jejak langkah Sajogyo, bahkan hingga saat ini. Setelah pensiun dari kampus (1991) dan beristirahat dari aktivitas di luar kampus (aras nasional, berbagai yayasan dan lembaga swadaya masyarakat) ia kini berfokus pada yayasan yang didirikan beberapa tahun silam bersama istrinya (mendiang Prof Dr Pudjiwati) dan seorang sahabatnya, Tjondronegoro. Lembaga yang berlokasi di Jalan Malabar 22 Bogor itu diberi nama Yayasan Sajogyo Inti Utama, akan tetapi lebih populer sebagai "Sajogyo Inside".
Sajogyo menggambarkan "Sajogyo Inside" sebagai sebuah komunitas belajar-bertindak-bersama untuk melahirkan gagasan, wacana, inovasi, dan praksis pembangunan sosial demi mewujudkan kehidupan yang cerdas dan merdeka. "Kami juga melakukan riset, tetapi yang tidak lepas dari aksi. Artinya, hasil riset itu harus bisa diterapkan oleh masyarakat yang diriset," ujarnya.
Di samping gagasan yang hidup pada diri Sajogyo, lembaga itu juga punya aset yang sangat berharga berupa koleksi buku yang jumlahnya tidak kurang dari 7.000 judul, termasuk sekitar 100 judul disertasi.
"Sajogyo Inside" sedang merencanakan pembangunan sebuah perpustakaan digital, yang akan diintegrasikan ke dalam tapak-jaring (website) lembaga itu, www.sajogyoinside.or.id.
"Sebetulnya yang paling penting sekarang, saya jangan punya keinginan macam-macam. Biarlah apa yang saya lakukan selama ini diambil alih generasi muda," ucap Sajogyo lirih. Akan tetapi, getar semangat yang terpancar dari sorot matanya tidak pernah redup.
Sumber : Kompas, Selasa, 23 Mei 2006
Jun 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment