Sahrudin, Asa Pascatambang Rakyat
Oleh : L Andreas Sarwono
Perekonomian di Kepulauan Bangka Belitung kini melesu. Pemerintah belum juga menyiapkan secara matang sumber daya ekonomi pengganti pascapenertiban tambang timah rakyat. Kondisi ini membuat masyarakat bingung mencari sumber penghasilan baru.
Namun, Sahrudin (38) punya solusi, bukan wacana tetapi karya nyata. Sejak eforia penambangan rakyat muncul tahun 2002, Sahrudin sudah merasa bahwa apa yang dihasilkan dari penambangan timah secara tak terkendali ini antara lain kerusakan alam. Penghasilan besar yang dicapai penambang rakyat secara instan tak akan bertahan lama.
"Memang, hasil dari menambang itu sangat besar. Ibu-ibu melimbang timah bisa dapat Rp 750.000 per hari. Tetapi, apa yang akan diwariskan kepada anak cucu? Alam yang rusak dan tanah berlubang-lubang akibat galian tambang!" ujarnya.
Lubang galian tambang itulah yang terpikir olehnya untuk dimanfaatkan. Di tempat tinggalnya, Desa Perlang, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, terdapat ratusan hektar lubang-lubang galian tambang yang membentuk danau. Lubang galian tambang ini hasil eksploitasi PT Koba Tin—perusahaan timah Malaysia terbesar di Bangka Tengah—serta aktivitas tambang rakyat.
"Waktu sekolah di Bandung, saya melihat banyak warga memanfaatkan kolam-kolam kecil untuk memelihara ikan. Lalu, kenapa danau yang besar-besar di desa saya tak bisa dimanfaatkan?" ucapnya.
Lantas Sahrudin membuat proposal kerja sama kepada PT Koba Tin untuk memanfaatkan kolong timah di Kayu Arang 3, Perlang, seluas tiga hektar. Ia minta bantuan pembuatan keramba jaring apung untuk memelihara ikan secara berkelompok.
Tahun 2002 PT Koba Tin menyetujui pembuatan dua set keramba jaring apung sebanyak 12 petak, berikut bantuan 290 ekor ikan nila induk. Tiga petak keramba di antaranya dibuat Kelompok Tani Mutiara dipimpin Sahrudin. Jumlah kelompoknya lima orang. Mereka mewakili lima keluarga.
Banyak warga Perlang mencibir usaha ini. Mereka menganggap budi daya ikan air tawar Sahrudin sia-sia karena keuntungannya tidak besar. Saat itu hampir seluruh warga Perlang bermata pencarian sebagai penambang timah.
Namun, ayah dua anak ini tak berkecil hati. Dengan tekun ia terus mengembangkan usahanya hingga mampu menghasilkan ribuan bibit ikan. Dari hasil penjualan bibit ikan itu, seluruh utang kelompok ke Koba Tin bisa dilunasi.
Sifat keramba yang mudah rusak membuat Sahrudin harus membuat kolam baru berupa bak dengan tetap menggunakan aliran air kolong sebagai sumbernya. Bekerja sama dengan Koba Tin dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Kelompok Tani Mutiara ini membuat 32 kolam.
Jenis ikan yang dibudidaya pun semakin bervariasi. Nila gift, bawal, mas, dan lele dumbo mampu dihasilkan baik berupa anak ikan maupun ikan siap konsumsi. Setiap kolam menghasilkan sekitar 200 kilogram ikan sekali panen.
Ujian tiba
Namun, daya juang Sahrudin diuji saat ratusan tambang timah apung beroperasi di bagian hulu kolong. Seluruh ikan yang dipelihara mati, karena air yang masuk kolam tercemar solar dan lumpur.
Para anggota kelompok Tani Mutiara nyaris putus asa, karena ratusan penambang itu sulit dikendalikan. Ratusan penambang baru ditertibkan polisi setelah mereka melaporkan situasinya kepada Kementerian Lingkungan Hidup.
Untuk mengembalikan kualitas air kolong yang tercermar dibutuhkan waktu setahun.
"Kami kembali bekerja dari nol. Kolam-kolam sekarang masih dalam tahap pemulihan," tuturnya.
Pemberdayaan masyarakat desa terus dilakukan Sahrudin. Ia merintis pembentukan Kelompok Tani Bina Bersama yang dipersiapkan untuk mengelola peternakan sapi. Ia juga mengundang akademisi dari Universitas Bangka Belitung untuk membuka wawasan tentang agrobisnis.
Awalnya Sahrudin ragu, karena beternak sapi adalah budaya baru bagi masyarakat asli Bangka. Dalam sejarah, pekerjaan utama masyarakat adalah petani lada dan penambang timah.
Berkat dukungan Dinas Peternakan dan Kehutanan Babel dengan memberi pelatihan, Sahrudin dan 20 anggota kelompok Bina Bersama pun mencoba beternak sapi. Lahan seluas tiga hektar ditanami rumput gajah sebagai pasokan pakan.
Pemerintah pusat memberikan bantuan bergulir 42 sapi bali induk. Dengan perawatan telaten, kini jumlah sapi berkembang menjadi 63 ekor. Pada tahun kedua, sapi sudah dapat digulirkan kepada anggota-anggota baru.
Sahrudin yang juga bekerja sebagai guru, sekaligus Wakil Kepala Sekolah SMK Idrus Sari’ah Koba, mengurus sapi sepulang mengajar. Pada hari Sabtu dan Minggu ia kuliah untuk meraih gelar sarjana pada Universitas Bangka Belitung.
Limbah yang dihasilkan peternakan ini juga dikelola. Bersama Institut Pertanian Bogor, Sahrudin membuat digester biogas yang memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber listrik dan bahan bakar memasak. Limbah padat dan cair hasil fermentasi kotoran sapi diolah menjadi pupuk organik yang bernilai ekonomis.
Berkat keberhasilan merintis pertanian terpadu itu, warga sekitar tertarik mengikuti jejak Sahrudin. Desa tetangga kini juga memiliki peternakan sapi bersama. Areal kolong yang diubah menjadi sentra peternakan dan perikanan kerap dijadikan studi banding pola agrobisnis dari berbagai daerah.
"Memberikan contoh adalah cara terbaik untuk menggerakkan masyarakat," ucap Sahrudin seraya tersenyum.
Sumber : Kompas, Selasa, 3 April 2007
Jun 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment