Jun 15, 2009

Rinding Sudiyo Bikin Merinding

Rinding Sudiyo Bikin Merinding
Oleh : Irma Tambunan

Sambil menggembalakan kambing, Sudiyo semasa remaja sering kali menghabiskan waktu bermain rinding. Sejenis alat musik tiup tradisional yang terbuat dari sebilah bambu tipis yang dilengkapi dengan tali atau benang ini bisa menghasilkan suara ritmis tatkala ditiup dengan kekuatan dan gaya tertentu.

Beranjak pada usianya yang ke-71, sekarang pun Sudiyo masih kerap menyuruk ke dalam hutan. Atau mendaki bukit dekat rumahnya. Di sana, sambil duduk di atas sebuah batu besar, ia meniup rindingnya, berupa bambu pipih berukuran panjang 20 sentimeter, sambil talinya dientak-entakkan.

Udara di antara tali sepanjang lima sentimeter yang menegang di ujung bambu pun bergetar, menimbulkan suara beung... beung.... Getaran itu muncul dari embusan napas dari bibirnya yang menjepit (mengakep—Jawa) bagian atas dan bawah rinding. Suara beung..beung..terdengar menggema.

Selama puluhan tahun alat musik tradisional ini ia mainkan. Dan setiap kali memainkan rindingnya, Sudiyo mengaku jiwanya selalu ikut tergetar. "Seakan seluruh penghuni alam bisa ikut merinding," ujar Sudiyo. Karena itu, ia percaya mengapa nenek-moyangnya menyebut alat musik ini rinding. Di Bali, alat musik sejenis ini disebut ginggong.

Saat panen raya pekan lalu, Sudiyo memimpin ritual Boyong Dewi Sri. Ritual ini diiringi musik rinding yang dimainkan bersama alat musik gumbeng. Instrumen gumbeng ini menyerupai gitar perkusi yang terbuat dari bahan bambu dengan tali senar yang ditabuh.

Dalam ritual ini, masyarakat Desa Wonosadi, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DIY, membawa sesaji nasi ingkung (ayam), lauk- pauk, dan buah-buahan. Mereka berdoa, lalu berjalan beriringan, diiringi musik rinding gumbeng yang dimainkan sekitar 10 orang yang berjajar di tepi persawahan.

Pada saat ritual Boyong Dewi Sri ini, yang merupakan tradisi masyarakat agraris sebagai ungkapan syukur petani kepada dewi pelindungnya saat musim panen padi, suasana terasa hikmat. Para pemain rinding dan gumbeng memainkan musiknya dengan sepenuh hati. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu dolanan di Jawa yang tak lagi populer, seperti Emplek-emplek Ketepu, Ilir-ilir, atau Paman Domblang.

"Pada saat itulah kami meyakini Dewi Sri turun ke sawah, memberkati hasil panen kami dan masyarakat di sini," tutur Sudiyo.

Penguasa alam

Sesuai penuturan Sudiyo, musik rinding secara turun-temurun dipercaya semata dipersembahkan dan untuk menyenangkan Sang Penguasa Alam. Musik ini diyakini sebagai musik pertama yang diciptakan manusia, jauh sebelum manusia mengenal logam. Karena itu, rangkaian alat yang digunakan hanyalah bahan dari bambu.

Instrumen paling utama adalah rinding itu sendiri. Sedangkan gumbeng dibuat dari bambu yang dibentuk berbagai macam menjadi jenis alat musik perkusi (tabuh). Rinding dan gumbeng, jika dimainkan bersama-sama akan menghasilkan harmoni. Dari alat-alat yang begitu sederhana, terciptalah orkestra musik yang mampu membuai sukma bagi penghayatnya.

Menurut Sudiyo, antara 1960 hingga 1980-an, musik rinding yang indah ini redup. Selama 20 tahun terakhir praktis tak terdengar alunan rinding dari tengah hutan, dari kawasan perbukitan Gunung Kidul, Yogyakarta, atau dari rumah-rumah penduduk yang sederhana. Diakui Sudiyo, memang tradisi rinding sempat mengalami keterputusan.

Pada tahun 1982, semangat Sudiyo bangkit untuk menggemakan kembali rinding gumbeng. Ia pun mencoba merekonstruksi instrumen musik dari bambu itu sejauh ingatannya. "Saya masih ingat cara membuatnya, karena dulu sudah diajari bapak," tuturnya.

Ia lalu mengajak istrinya, Suwarti (64) dan para orang tua lain di desanya untuk kembali memainkan rinding gumbeng. Semangat mereka pun terpacu. Desa itu kembali hidup dengan musik khas yang dimilikinya.

Sudiyo dan kelompok musiknya kerap mengisi berbagai acara kesenian lokal hingga nasional. Tahun 2001, ayah dari empat anak ini menjadi Duta Seni Yogyakarta pada acara Temu Budaya Tingkat Nasional di Ujung Pandang. Kemudian ia kembali terpilih sebagai duta seni di Jakarta, tahun 1984.

Banyak pasangan suami istri di desa itu menjadi "mesra" berkat rinding. "Di malam hari, para pemuda berkumpul di halaman rumah, memainkan rinding. Terdengar indah dan romantis. Karena itu, banyak pemuda pemudi saling mendapat jodohnya berkat rinding," tutur Sudiyo.

Berduet dengan istrinya, Sudiyo bermain rinding hingga Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Sayang, tiga tahun lalu Suwarti mengalami serangan stroke. Ia kini hanya dapat menikmati alunan rinding Sudiyo di atas kursi roda. "Saya kini tinggal ngrinding dengan para tetangga," ujar pria kelahiran 6 Februari 1936 ini.

Tahun 2005, Sudiyo mulai berpikir akan pentingnya regenerasi. Ia lalu membentuk kelompok musik rinding gumbeng di kalangan pemuda. Ada sekitar 30-an orang mengikuti latihan di rumah Sudiyo setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu malam.

Berbeda dengan para orang tua yang mengiringi rinding gumbeng dengan lagu jawa yang tak populer, anak-anak muda lebih suka musik ini untuk mengiringi campursari atau dangdut. Namun, ia menganggap setidaknya minat anak muda menggeluti rinding gumbeng sebagai langkah maju atas upaya melestarikan musik tradisional ini.

Sumber : Kompas, Rabu, 30 Agustus 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks