Jun 26, 2009

Retnowati Abdulgani-Knapp : Melanjutkan Perjalanan Cak Roes

Melanjutkan Perjalanan Cak Roes
Oleh: Maria Hartiningsih

Tak pernah terpikir dalam benak Retnowati Abdulgani- Knapp (53) untuk melanjutkan pekerjaan sang ayah, almarhum Dr Roeslan Abdulgani.

Bapak tak pernah memaksa anak-anaknya mengikuti jejaknya. Kami juga tidak tahu apa saja yang dikerjakan Bapak selama ini, kata Wati, begitu ia biasa disapa. Beberapa hari setelah Cak Roes meninggal, mulai berdatangan anak-anak muda meminta Wati melanjutkan apa yang dirintis Cak Roes. Ada teman-teman muda dari Asia-Africa Journal, yang meminta saya melanjutkan tugas Bapak sebagai penasihat dan melanjutkan kolomnya di setiap penerbitan, katanya.

Cak Roeslan adalah salah satu pendiri Asia-Africa Foundation, yang menerbitkan jurnal tersebut. Wati juga diminta untuk melanjutkan kolom Cak Roeslan di harian Waspada, Medan.

Belum lama ini, Wati ditemani Dinda, salah satu cucu Cak Roeslan, berangkat ke Denpasar. Ia diminta menggantikan kedudukan Cak Roeslan sebagai anggota Dewan Penasihat di Universitas MahendradattaĆ¢€”dulu, Universitas Marhaen. Ada pula usulan untuk membuat perpustakaan Roeslan Abdulgani di dalam Yayasan Kepustakaan Bung Karno di Bali.

Insya Allah, saya akan melanjutkan perjalanan Bapak, kata Wati. Di antara lima anak Cak Roeslan, hanya WatiĆ¢€”anak kedua yang tampaknya mewarisi kegemaran membaca dan ketekunan menulis ayahnya. Sejak kecil kami didorong membaca. Bapak membelikan banyak buku, dari Winnetou, sampai sastra dan legenda dari berbagai daerah.

Banyak hambatan

Meski suka menulis, dorongan untuk menulis buku tidak datang begitu saja. Apalagi menulis tentang ayahnya. Sang suami, bankir asal Jerman, Hubert-Knapp, yang terus mendorongnya dengan komentar, Ayahmu adalah orang yang istimewa.

Ternyata hambatannya seabrek. Cak Roes tak mudah diwawancara. Kalau ditanya, saya malah disuruh baca-baca buku di perpustakaannya. Kalau diminta baca draf, baru seminggu ia sentuh. Mungkin Bapak mikir, si Wati ini mau nulis apa lagi.

Ia mungkin ragu. Ia mungkin takut saya mengagung-agungkannya. Saya tahu siapa ayah saya dan apa yang terjadi padanya. Ia tidak takut dikatain apa saja. Semua ia terima dengan lapang, kenang Wati.

Tahun lalu, bukunya, A Fading Dream: A Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, diterbitkan Times Books International di Singapura. Saat ini ia sedang menyiapkan buku tentang Soeharto dengan serangkaian riset dan puluhan narasumber.

Hidup tidak hitam-putih. Tak ada orang atau pemimpin yang baik 100 persen atau jahat 100 persen. Orang memiliki kekuatan dan kelemahannya. Semuanya harus dipaparkan secara cukup adil, paparnya, diplomatis, ketika ditanya sisi mana dari Soeharto yang menjadi titik perhatiannya. Saya ingin agar kita tidak hanya menjadi bahan penelitian dan analisis para Indonesianis Barat, sambungnya.

Wati paham, menulis sejarah manusia selalu memancing kontroversi. Ia juga tidak menolak tuduhan subyektif karena, Semua buku pasti subyektif meskipun penulisnya berusaha seobyektif mungkin. Saya mengambil semua konsekuensinya.

Siap mental

Sebagai anak politisi, sejak kecil Wati ditempa untuk siap menghadapi apa pun berkaitan dengan ayahnya. Waktu di sekolah rakyat, ayahnya dituduh korupsi. Seorang teman sengaja membawa koran ke kelas, seperti meledek, Nih babe lu korup. Saya sedih sekali, tetapi Ibu selalu mengingatkan, itu risiko jadi anak politisi.

Wati tak pernah melupakan tuduhan-tuduhan terhadap ayahnya, termasuk kasus selir. Ibu pernah terima telepon, kasih tahu Bapak ke Bandung sama perempuan muda. Padahal, saya yang sama Bapak waktu itu.

Cak Roes juga mengajari Wati supaya tidak sok gengsi. Setelah ayahnya kembali ke Indonesia dari tugasnya sebagai Wakil Tetap RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa, ia pindah ke apartemen murah di Greenwich Village yang pada tahun 1970-an menjadi tempat tinggal para hippie.

Sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia itu juga pernah menjadi penjaga toko di Department Store Lord and Taylor di New York sebelum menyelesaikan studinya di American Institute of Banking dan bekerja di Chase Manhattan Bank NA di New York selama 10 tahun.

Ia pernah mencapai puncak- puncak karier di perusahaan perbankan internasional, seperti American Express Bank dan Overseas Trust Bank of Hongkong, sebelum mendirikan perusahaan konsultan untuk pelatihan sumber daya manusia, PT Immacon.

Hidupnya kini terbagi antara Jakarta dan Bangkok, serta London, khusus untuk menulis sambil menikmati kopi pada musim gugur dengan iringan musik lembut dari Beethoven dan Mozart.

Sumber : Kompas, Kamis, 28 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks