Jun 28, 2009

Paul Tedjasurya, Kenangan Memotret KAA

Paul Tedjasurya, Kenangan Memotret KAA
Oleh : Y09

BERBEKAL sebuah emblem segitiga bertulisan Asia Africa Conference dan emblem bulat bertulisan 18/4 55 yang tertempel pada kemeja, Paul Tedjasurya yang berdandan rapi lengkap dengan dasi bisa bergerak bebas mendekati 29 kepala negara dari Asia Afrika serta ribuan tamu negara saat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Kota Bandung.

KETIKA itu Paul tidak menghiraukan beratnya beban kamera dan aki blitz sebesar 10 kilogram yang ia pikul seharian di pundaknya. Hari-harinya ia isi untuk mengabadikan berbagai adegan penting yang terjadi pada peristiwa Konferensi Asia-Afrika (KAA) 50 tahun lalu.

"Tidak banyak orang bisa memiliki kesempatan berdekatan dengan para kepala negara meskipun saat itu pengawalan untuk mereka tidak ketat seperti sekarang," kenang Paul Tedjasurya (75), fotografer senior Indonesia yang karya-karya fotonya terus dipakai untuk menceritakan sejarah dunia yang pernah terjadi di Indonesia.

"Saya sangat bersyukur bisa ikut mengalami 50 tahun KAA meskipun itu tidak pernah saya bayangkan sebelumnya," kata Paul yang saat KAA tahun 1955 masih berusia 25 tahun. KAA bukan hanya sejarah besar untuk dunia, tetapi juga untuk Paul Tedjasurya.

Lelaki asal Surabaya itu mengenal fotografi dari teman mainnya. Waktu itu ia masih murid MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs-setingkat sekolah menengah pertama.

Paul kagum melihat sebuah adegan bisa terekam dan tercetak dalam sebuah kertas. Setelah melihat temannya memotret, Paul pun mulai mencoba melakukannya dengan kamera pinjaman dari temannya.

PAUL hidup dalam keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Ibunya bekerja sebagai penjahit untuk menghidupi keluarga. Sejak Paul berusia 14 tahun, ayahnya dipenjara oleh tentara Jepang karena tertangkap sedang mendengarkan siaran radio dari luar negeri. Saat itu Jepang melarang hal tersebut.

Lulus dari MULO, Paul segera bekerja di Kantor Sosial. Tetapi keinginannya mendalami fotografi membuatnya melepaskan pekerjaan yang baru digelutinya beberapa bulan. Seorang pamannya di Surabaya menyarankan Paul agar mendatangi seorang kerabat jauh di Bandung yang masih pamannya bernama Oom Nyoo. Anak sulung dari dua bersaudara itu pun berangkat ke Bandung pada tahun 1951.

Oom Nyoo bekerja sebagai pegawai di Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, tetapi ia memiliki sebuah studio foto di Jalan Naripan, Bandung. Kini bangunan bekas studio itu ditempati Bank Jabar. Di Bandung, Paul Tedjasurya belajar tentang fotografi secara otodidak dengan kamera Leica III F pemberian Oom Nyoo.

Studio pamannya itu berfungsi seperti agensi foto. Sewaktu itu sangat jarang ada orang memotret dirinya ke studio, tetapi fotograferlah yang rajin mendatangi acara-acara untuk mengabadikan peristiwa dan orang-orang dalam sebuah acara.

Paul biasanya memotret acara pemerintahan di Bandung lalu mengirimkan foto-fotonya itu ke media massa di kota tersebut, seperti Pikiran Rakjat, Bandung Pos, dan Warta Bandung. Saat itu media massa belum memiliki fotografer. "Biasanya mereka mengandalkan foto-foto dari kantor berita Antara atau Indonesian Press Photo Service," ujar Paul.

Ketika peristiwa internasional KAA terjadi di Bandung tahun 1955, Paul segera mendaftar untuk meliput dan mendapat dua emblem tanda pengenal wartawan. Sebelum KAA dilangsungkan pada tanggal 18 April hingga 24 April 1955, Paul sudah mengabadikan persiapan yang dilakukan panitia di Bandung, seperti perbaikan Gedung Merdeka.

SAAT KAA berlangsung, Paul memotret para kepala negara, baik saat berjalan dari Hotel Savoy Homann ke Gedung Merdeka maupun saat mereka bersidang, dan ikut resepsi makan malam. Kesempatan yang tidak dimiliki banyak orang. Apalagi, saat itu fotografer masih sangat langka.

Selain dirinya, fotografer-fotografer yang ikut meliput KAA tahun 1955 adalah fotografer lepas, Nico Nurya dan AS James, serta fotografer Antara Dr Koo, Jo Han Beng, dan Lan Ke Tung. Kelima fotografer itu sudah meninggal dunia.

Setiap hari selama KAA, Paul berangkat dari rumah Oom Nyoo di Jalan Pasirkaliki dengan motor Jawa 250 cc menuju Jalan Raya Timur atau Jalan Asia Afrika. Biasanya, ia membawa tiga rol film. Paul harus memilih momen terbaik sebab harga film sangat mahal. Ia tidak bisa seenaknya menjepret objek.

Ia berangkat pukul 07.00. Jika para kepala negara melakukan resepsi makan malam, pekerjaannya baru selesai pukul 21.00. Sebelum pulang ke rumah, Paul menyempatkan diri ke studio untuk mencuci filmnya di kamar gelap. Esoknya, jika ada kesempatan pulang sebentar ke studio, ia bisa sekalian mencetak filmnya.

Selama KAA berlangsung, Paul mengaku jarang bergaul dengan fotografer dunia sebab ia masih merasa junior. Tetapi diam-diam ia sering memerhatikan para fotografer itu bekerja. Dari situlah ia selalu mendapat pengetahuan baru.

"Tetapi meliput KAA membuat saya lebih percaya diri. Hal itu menjadi bekal bagi saya untuk bergaul dengan lebih banyak orang," tutur Paul. Setelah KAA, banyak kegiatan bertaraf internasional diselenggarakan di Bandung, antara lain Konferensi Mahasiswa Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, dan Konferensi Wartawan Asia Afrika.

PAUL pun tidak hanya mengirim fotonya ke koran-koran di Bandung, tetapi juga ke media massa di Jakarta, seperti Pedoman, Indonesia Raya, dan Star Weekly. "Honor pertama dari Star Weekly saya belikan mesin tik," kenang Paul. Seorang temannya mengatakan, sebaiknya ia tidak hanya bisa memotret, tetapi juga menulis. Dengan mesin tik tersebut, aktivitas kewartawanannya pun semakin terbantu.

Setelah menjadi fotografer lepas selama puluhan tahun, akhirnya Paul yang selalu membekali diri dengan biskuit karena kapok terkena mag itu menjadi karyawan tetap Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1981 dan pensiun pada tahun 2000.

Di hari tuanya ia dan istrinya, Irawati (70), lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-cucunya di Jakarta. Irawati adalah anak dari Oom Nyoo. Mereka menikah tahun 1956 dan memiliki tiga anak.

Sampai kini Paul masih aktif memotret. "Tapi sekarang lebih banyak memotret cucu," kata Paul sambil tertawa kecil. Paul mengaku lebih senang menggunakan kamera digital yang praktis, tidak seperti saat ia masih muda, untuk memotret repotnya bukan main.

Kamera yang ia pakai saat KAA sudah ia jual. Ia hanya memiliki dua emblem sebagai tanda pengenal yang wajib dipakai para wartawan pada KAA tahun 1955 dan sebuah kesempatan langka merayakan ulang tahun emas KAA.

Itu sebabnya, pekan lalu Paul Tedjasurya sengaja datang dari Jakarta ke Bandung untuk ikut mengenang peristiwa KAA. Merayakan 50 tahun KAA merupakan kesempatan langka yang tidak pernah ia bayangkan, sama langkanya saat ia mendapat kesempatan meliput KAA. (y09)

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 April 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks