Patricia Herdianto, Memberi Lewat Musik
Oleh : L Sastra Wijaya*
Musik sudah lama menjadi bagian dari kehidupan manusia yang bisa membuat orang terhibur, terlena, mengenang kembali, ataupun menyegarkan. Musik juga bisa menjadi terapi. Dan itulah yang persis dilakukan seorang gadis Indonesia di Inggris, Patricia Herdianto.
Gadis kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, 33 tahun lalu ini sekarang bekerja di pemerintahan lokal kota Warwick, di Warwickshire County yang dikenal sebagai tempat kelahiran pujangga terkenal Inggris, William Shakespeare.
Patricia sudah bekerja sebagai terapis musik selama lima tahun terakhir ini di dua organisasi, yaitu MusicSpace WestMidlands (2001-2003) dan Warwickshire County Music Service (2003-saat ini).
Dari latar belakang pendidikan sebagai sarjana akuntansi, Patricia berbelok arah ketika suatu hari dia melihat informasi mengenai music therapy dari buku yang dilihatnya di perpustakaan British Council di Jakarta pada tahun 1995.
"Ketika itu saya baru saja lulus dari Jurusan Akuntansi Universitas Atma Jaya di Jakarta. Mungkin karena sejak kecil saya sudah banyak bergulat di bidang musik, karena itu saya langsung tertarik untuk melihat profesi yang berhubungan dengan musik di buku tersebut," tutur Patricia.
Setelah mengetahui tentang profesi sebagai terapis musik yang cukup unik ini, Patricia masih harus menyimpan impiannya selama beberapa tahun, dengan bekerja terlebih dahulu di sebuah bank asing di Jakarta.
Baru pada tahun 2000 dia memutuskan untuk memenuhi panggilan hati, mempelajari dan menggeluti bidang baru di te- rapis musik ini yang dia awali dengan mengambil gelar MA (master of arts) di Anglia Ruskin Univesity Cambridge.
Berekspresi dan berinteraksi
Menurut Patricia, profesi sebagai terapis musik ini sudah berkembang di Inggris sekitar 30 tahun lalu. Saat ini terdapat sekitar 700 orang yang bekerja di berbagai institusi pendidikan, rumah sakit, pusat kegiatan masyarakat, pemerintahan lokal, dan sebagainya.
Patricia yang saat ini mengepalai Departemen Musik Terapi di Warwickshire County Music Service mengungkapkan, di Inggris sendiri kemungkinan baru ada sekitar empat pemerintahan lokal yang memiliki departemen khusus bagi pelayanan musik terapi. Selebihnya banyak terapis musik yang bekerja langsung di bawah lembaga amal atau lembaga pendidikan, misalnya sekolah luar biasa atau sekolah publik.
Dalam pekerjaan yang ditekuninya ini dia berbeda dengan guru musik biasa. Patricia tidak mengajarkan kepada kliennya bagaimana memainkan alat musik, tetapi, sebaliknya, lebih mengajak mereka berekspresi dan berinteraksi dengan terapis melalui berbagai pilihan instrumen yang disediakan.
"Misalnya dengan anak-anak yang mengalami autis. Sering mereka berada dalam dunianya sendiri, tidak memiliki kepekaan atau spontanitas untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekeliling mereka. Nah, melalui sesi musik ini saya akan membantu mereka untuk berinteraksi, dengan alat-alat musik yang saya sediakan untuk mereka eksplorasi. Dalam proses terapi itu nantinya secara bertahap diharapkan si anak dapat lebih tanggap terhadap interaksi yang terjadi dan dapat memberikan tanggapan balik atas masukan atau stimulasi yang saya berikan melalui musik kepada mereka," paparnya.
Dari segi materi, Patricia mengaku, pekerjaannya ini tidaklah menghasilkan materi berlebih dibandingkan dengan profesinya terdahulu di bidang keuangan. Namun, kepuasan pribadi yang dirasakan dalam setiap kontak dengan klien baginya lebih berharga.
Dalam pekerjaannya, ia biasanya memberikan sesi individual (1:1). Rata-rata satu sesi itu berlangsung sekitar 30-45 menit.
"Tentu saja tidak semuanya dipenuhi dengan permainan musik. Saya banyak memberikan kesempatan bagi klien untuk mempunyai kebebasan ruang dan waktu untuk mengekspresikan dirinya, entah itu melalui musik, dialog, ataupun silence (diam). Semua itu ditujukan bagi kemampuan klien untuk merefleksikan diri atau menggali kepercayaan diri dan kemandirian secara spontanitas," papar Patricia.
Dalam kenyataan, kebanyakan terapis musik bekerja sendirian (lone worker). "Ini kadang terasa cukup berat karena di satu pihak harus menjaga kerahasiaan klien dan kerja klinis yang harus dijaga ketat, sedangkan energi dari segi emosional dari kita sebagai terapis juga harus tetap dipertahankan kestabilannya," ungkap Patricia.
Patricia mengaku tak begitu yakin apakah pekerjaan sebagai terapis musik sudah ada di Indonesia. Oleh karena itu, ia punya cita-cita untuk mengembangkan musik terapi ini di Tanah Air, yang bentuk pelayanan atau organisasinya sedang dalam observasi dan pertimbangan.
"Saya merasa lebih ’kaya’ dalam hal kepuasan diri atas apa yang saya lakukan di bidang ini. Begitu banyak pengalaman klinis yang telah memberikan pemahaman bagi pengembangan diri saya secara pribadi dan juga kemampuan untuk merefleksi dinamika dari hubungan saya dan klien dalam proses terapi. Setiap hari saya merasa belajar sesuatu dari klien saya, dan itu adalah pengalaman yang sangat berharga buat saya," kata gadis yang bisa memainkan beberapa alat musik ini.
*L Sastra Wijaya Kontributor Kompas dan Penyiar Radio BBC di London
Sumber : Kompas, Jumat, 17 November 2006
Jun 11, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment