Jun 12, 2009

Orhan Pamuk : Asas Bebas Bicara Orhan Parmuk

Asas Bebas Bicara Orhan Pamuk
Oleh : Rien Kuntari

"Dalam pencarian akan jiwa kota kelahirannya yang sunyi, ia menemukan simbol baru dalam benturan maupun jalinan budaya…"

Kalimat penuh makna itu meluncur dari Komite Penghargaan Nobel, Kamis (12/10/2006). Sebuah kredit cukup tinggi untuk Orhan Pamuk (54), novelis Turki. Setelah melalui perdebatan panjang, untuk pertama kalinya penulis Turki menjadi pemenang Penghargaan Nobel bidang Kesusastraan 2006.

Kemenangan Pamuk memang mengejutkan. Nama Pamuk maupun Turki hampir tak pernah masuk bursa spekulasi.

Karya lelaki kelahiran Istanbul, Turki, 7 Juni 1952, ini memang penuh pesona. Masalah pergulatan batin, baik dalam upaya mencari jati diri maupun menghadapi berbagai benturan budaya, hampir tak pernah lepas dari pengamatannya.

Pamuk hidup di tengah benturan budaya itu. Ia lahir di keluarga kelas menengah sekuler. Ayahnya seorang insinyur, begitu juga paman dan kakek dari pihak ayah. Sang kakek inilah yang kemudian menentukan garis "kehidupan" keluarga yang tinggal di kawasan elite, Nisantasi, Istanbul, itu.

"Saya hidup dan besar di tengah pergeseran budaya tradisional Ottoman ke gaya hidup yang lebih berorientasi Barat," ungkap Pamuk seperti dituturkan kepada Komite Nobel. Karena itu, ia tak pernah berhenti mencari jati diri.

Di masa remaja, ia melukis karena ingin menjadi seniman. Kemudian berkembang menjadi arsitek. Lalu, berubah menjadi wartawan. Tetapi enggan. Dan, pada usia 23 tahun, ketika sesak oleh pergulatan batin dan benturan budaya, ia memutuskan menjadi novelis.

Benturan budaya itu ia tuangkan dalam novel pertama, Cevdet Bey dan Anak Lelakinya. Novel yang baru terbit 1982, tujuh tahun setelah keputusannya menjadi novelis itu, bercerita tentang tiga generasi sebuah keluarga berada di kampungnya sendiri. Novel ini langsung menyabet dua penghargaan bergengsi Turki, Orhan Kemal dan Milliyet Literary.

Simbol pemahaman Eropa

Tahun berikutnya, lahir Rumah Sunyi (1983). Di karya ini ia menggunakan lima perspektif bercerita yang berbeda untuk menggambarkan situasi panik sebuah keluarga. Terutama ketika mereka harus merawat sang nenek renta di sebuah rumah peristirahatan mewah di tepi pantai, di saat Turki berada di ambang perang sipil.

Tahun 1985, lahir atau Puri Putih, novel sejarah berlatar belakang Istanbul abad ke-17. Puri Putih bercerita tentang perselisihan antara budak Venesia dan seorang sarjana Ottoman. Di saat kedua pria ini saling berbagi cerita, justru kemudian terjadi pertukaran identitas. Cerita ini oleh sebagian dilihat sebagai simbol pemahaman novel Eropa pada budaya asing.

Setelah Puri Putih, Pamuk hijrah ke Amerika. Ia menjadi dosen tamu di Universitas Kolombia, New York, dan di Universitas Iowa, hingga 1988. Di masa ini lahir (Kitab Hitam), novel tentang seorang pengacara yang terus mencari istrinya yang hilang. Jalan, gang, pagar, dan situasi kota Istanbul tergambar detail di novel ini.

Tahun 1990, novel Puri Putih diterbitkan dalam bahasa Inggris. Dan, debut internasional Pamuk dimulai. Setahun kemudian, ia mendapat penghargaan ketika Rumah Sunyi terbit dalam bahasa Perancis. Tahun 1991, ia mendapat untuk601<. Bahkan, sebagian dari novel itu diangkat menjadi film .Kini, karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa. Pada tahun itu pula lahir putri pertama Pamuk, Ruya.

yang memasalahkan jati diri diakui sebagai awal "keretakan" nyata realisme sosial pemerintah dalam sastra Turki. Unsur masa kini yang "dibenturkan" dengan tradisi mistik Timur membuat mampu mencerminkan perspektif Sufi secara alamiah. Namun, di sisi lain, unsur Sufi yang diangkat dalam novel ini memancing perdebatan panjang di Turki.

Kebebasan berbicara

Pamuk tak terpengaruh. Di tengah perdebatan itu lahir (Hidup Baru, 1994), novel yang juga menyinggung masalah mistikisme. Disambung dengan (Namaku Merah, 2000). Novel tentang perselisihan Barat-Timur ini ia anggap sebagai karya besar. Tahun 2002, novel itu diterjemahkan menjadi h 9736m,

Meski mengaku tak memiliki agenda politik, tahun 1990-an Pamuk berselisih dengan pemerintah ketika berbicara tentang hak asasi manusia (HAM). Ia yakin setiap orang memiliki hak dan kebebasan penuh untuk bicara dan berpikir.

Konflik itu memuncak Februari 2005. Dalam wawancara dengan salah satu koran Swiss, Pamuk mengatakan, "Ada 30.000 suku Kurdi dan sejuta warga Armenia yang terbunuh di tanah ini. Dan, tak seorang pun yang berani membicarakan persoalan ini."

Kalimat itu membawanya ke pengadilan. Ia diancam hukuman maksimal tiga tahun. Kasus tahun 1915 ini sangat sensitif. Turki jelas menolak tuduhan melakukan genosida.

Akan tetapi, tuntutan itu kemudian dicabut. Tuntutan itu tak sepadan dengan perjuangan keras Turki menjadi anggota UE. Seperti dipahami, UE sangat menghormati HAM dan kebebasan berbicara maupun berpikir. Kini Pamuk dengan sukacita mengadvokasi keanggotaan Turki di UE.

Pemahaman politiknya ia tuangkan dalam "Salju", novel tentang perseteruan dan pertentangan politik antara kelompok Muslim, prajurit, sekuler, Kurdi, dan warga Turki. Sedang karya terakhir, h 9736m,0<>w 9736m<>f 601<, merupakan pergolakan jiwa, batin, dan hidup yang ia alami hingga usia 22 tahun. Ya, jiwanya yang bebas takkan pernah berhenti bergolak.(BBC/CNN/ AP/AFP/ REUTERS)



Sumber : Kompas, Sabtu, 14 Oktober 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks