"Kutil", Si Pengintil Jejak Peradaban
Oleh : Kenedi Nurhan
Disangka tengah menggali harta karun peninggalan Sriwijaya, arkeolog muda itu akhirnya harus berurusan dengan aparat keamanan. Penjelasannya bahwa dia sedang melakukan penelitian terkait keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang tak digubris.
Dengan cetok di tangan, pagi itu ia sibuk mengais- ngais lubang galian di situs Lorong Jambu, tak jauh dari Bukit Siguntang yang berada di bagian barat Palembang. Kebetulan teman-temannya sesama peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sedang berada di lokasi lain ketika tiba-tiba ia didatangi aparat keamanan. Kesalahpahaman pun terjadi. Tanpa banyak bicara, Bintara Pembina Desa alias Babinsa berpangkat sersan itu membawanya ke Markas Koramil Ilir Barat II Palembang.
"Pecahan-pecahan keramik dan temuan manik-manik dari lokasi penggalian ikut diangkut ke Koramil. Itu benar-benar pengalaman yang mengesalkan, tetapi sebetulnya juga menggelikan," kata Nurhadi Rangkuti (48), arkeolog yang oleh rekan dan sejawatnya akrab disapa dengan panggilan (nama) kecilnya, Kutil.
Hampir seharian ia "ditahan" di markas tentara tingkat kecamatan tersebut. Kedatangan Bambang Budi Utomo selaku ketua tim ekskavasi Sriwijaya tak cukup membuat petugas Koramil percaya. Begitu pun kesaksian salah seorang staf Bidang Museum dan Purbakala pada Kantor Wilayah Depdikbud Sumatera Selatan, yang ikut bersama tim ekskavasi, juga disangsikan.
Apa boleh buat! Salah seorang anggota tim akhirnya diutus ke Kantor Wali Kota Palembang. Baru setelah Kepala Bagian Humas Pemda Kotamadya Palembang (ketika itu) Jalaluddin ikut turun tangan, urusan beres. Si Kutil pun "bebas" dari tuduhan sebagai pemburu harta karun Sriwijaya.
Sebagai arkeolog, tentu saja banyak suka duka yang ia alami dalam berbagai penelitian di sejumlah situs di Tanah Air. Akan tetapi, berurusan dengan petugas Koramil dan dituduh sebagai penggali liar untuk mencari harta karun adalah hal yang "istimewa".
"Seumur-umur tidak pernah ada kejadian seorang peneliti di bidang arkeologi diangkut dan ditahan di Koramil seperti menimpa Kutil," kata Bambang Budi Utomo tertawa terkekeh-kekeh mengomentari peristiwa yang terjadi pada tahun 1990 tersebut.
Nurhadi Rangkuti akhirnya dipercaya menjadi Kepala Balai Arkeologi Palembang, lembaga yang kemudian dibentuk jauh setelah ekskavasi Sriwijaya berakhir. Diakuinya, serangkaian penelitian tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya banyak memberi andil bagi karier awalnya sebagai arkeolog.
Berburu jejak peradaban
Bagi lelaki kelahiran Medan (30 Desember 1958) namun tumbuh dan besar di Jakarta ini, dunia arkeologi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Meski profesi ini sepi dari "tepuk tangan"—apalagi penghargaan materi, ia mengaku tidak pernah menyesal menggelutinya.
Setiap kali cetok-nya menyentuh benda-benda peninggalan masa lampau yang sudah ratusan tahun terkubur di perut Bumi, dengan amat hati-hati ia perlakukan bagai menggendong anak kesayangannya. Ia telusuri serpihan-serpihan budaya yang tersisa itu hingga bisa menguak jenis peradaban yang telah terpendam tersebut.
Kesabaran dan rasa cinta pada profesi menjadi modal dasar untuk menguak misteri peradaban yang pernah ada di masa lampau. Sebagai peneliti, Kutil dan rekan-rekannya sesama peneliti tentu saja tidak berhenti pada hasil temuan itu sendiri. Jauh lebih penting adalah bagaimana menempatkan tinggalan-tinggalan masa lampau itu dalam konteks ruang dan waktu, kemudian meletakkannya dalam bingkai kekinian.
"Memberi konteks dan menggali makna di balik sebuah peradaban adalah esensi dari aktivitas penelitian arkeologi. Dengan begitu kita bisa ’membaca’ kearifan-kearifan lokal dari suatu peradaban," kata Nurhadi Rangkuti dalam suatu percakapan santai di tepian Sungai Musi, beberapa waktu lalu.
Tampil sangat bersahaja, dan mengaku agak risi dengan embel-embel barunya sebagai "pejabat" struktural yang mengharuskannya ikut mengurusi masalah-masalah administratif, sehari-hari ia tetap bangga disebut sebagai peneliti. Tak aneh bila hingga kini pun ia masih lebih kerap berada di lapangan ketimbang di kantor.
Sebelum dipercaya menjadi Kepala Balai Arkeologi Palembang, ayah dua anak (Shella Atria Rangkuti dan Harsya Matumona Rangkuti)—dari hasil perkawinannya dengan Nurtyastuti Irrandari pada 11 September 1999—ini memang lebih kerap berada di lapangan daripada di kantor. Hampir seluruh situs arkeologis dari masa klasik—terutama di Sumatera dan Jawa—sudah ia jelajahi.
Toh, di tengah kerepotannya dalam masalah-masalah administratif, ia tetap saja "gatal" untuk tetap terjun ke lapangan. Pertengahan Oktober lalu, misalnya, ia bersama timnya "terjun" ke Sungai Batanghari di Jambi. Akhir pekan ini, selama 10 hari, ia akan menjelajahi kawasan Karang Agung untuk melakukan penelitian lanjutan di kawasan pantai timur Sumatera tersebut.
Ketertarikannya pada hal-hal yang berkaitan dengan sejarah masa lampau sudah tumbuh sejak SD (1971) dan SMP (1974). Selepas SMA (1977), Nurhadi Rangkuti memutuskan masuk Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pendidikan S-1 arkeologi ia selesaikan tahun 1984, sedangkan program S-2 diambilnya bidang geografi di Universitas Gadjah Mada (2000); saat ia bertugas di Balai Arkeologi Yogyakarta.
Sumber : Kompas, Sabtu, 25 November 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment