Jun 7, 2009

Nicodemus Singpanki : Menjejak Lumpur Mengumpulkan Angka

Menjejak Lumpur Mungumpulkan Angka
Oleh : Aryo Wisanggeni Genthong

Hujan semalaman mengguyur Distrik Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, sehingga tiap kali kaki menjejak akan tertanam sedalam 10 sentimeter. Tenaga yang harus dikerahkan untuk menarik kaki dari tanah liat becek itu benar-benar membuat napas memburu.

Nicodemus Singpanki yang sudah separuh baya itu toh masih segar bugar. Ia memang terbiasa berjalan kaki karena sudah 23 tahun bertugas menjadi mantri statistik di Oksibil, menjejaki jalanan berlumpur untuk mendatangi desa dan kampung yang ada di Kabupaten Pegunungan Bintang.

"Jalan kaki tiga jam begini terhitung dekat. Kalau mau melakukan pencacahan, sering kali pencacah BPS harus berjalan lima hari," kata Singpanki.

Tidak seperti kebanyakan anak Papua kala itu, Singpanki berkesempatan menikmati bangku SMA. "Setiap kali lulus, guru saya, Pastor Suarcis, selalu meminta saya melanjutkan sekolah saya. Saat itu, sangat jarang anak Papua bersekolah sampai SMA. Karena dorongan Pastor Suarcis, saya terus bersekolah dan lulus SMA tahun 1982," katanya.

Kala itu, Singpanki muda ingin bersekolah di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri. Ia pun mendatangi Kantor Bupati Jayawijaya (saat itu Pegunungan Bintang masih bagian dari Kabupaten Jayawijaya) untuk mendaftarkan diri.

Rencana Singpanki mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Akademi Pemerintahan Dalam Negeri "disabot" Kepala Bagian Kepegawaian Kabupaten Jayawijaya, Abdullah, yang tidak lain mantan guru SMP Negeri Wamena.

"Kata beliau, BPS mencari pegawai baru. Beliau tanya, ’Kamu mau kerja atau tidak’. Saya bilang, ’Terserah Bapak’. Setelah ikut tes, ternyata saya diterima, diumumkan di RRI," kata Singpanki bangga.

Distrik terpencil

Sejak Maret 1983, Singpanki memulai pengabdiannya sebagai mantri statistik di Oksibil, yang waktu itu merupakan distrik paling terpencil di Kabupaten Jayawijaya.

Sampai hari ini pun Kabupaten Pegunungan Bintang belum memiliki jalan yang menghubungkan Oksibil dengan daerah yang lain. Bisa dibayangkan, pada tahun 1980-an kondisi Oksibil lebih berat lagi.

"Dulu kalau saya melakukan survei saya harus membawa bekal. Tidur di tengah hutan itu pasti. Kadang daerah penelitian sangat jauh sehingga saya harus naik pesawat kecil untuk menuju lapangan terbang terdekat dengan daerah penelitian yang ditentukan BPS. Dari situ, saya masih berjalan berhari-hari, kadang sampai lima hari tidur di tengah perjalanan," tutur Singpanki.

Salah satu kenangan Singpanki adalah mencacah penduduk di kantong Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). "Itu saat sensus penduduk 1987. Saya harus mencacah penduduk di Dewok. Sesampai di Iwur, saya diberi tahu ada kelompok TPN/OPM Marinus Tabuni yang akan menghadang perjalanan saya," ungkapnya.

Ia akhirnya bertemu dengan Marinus Tabuni. Bahkan, ia sempat dimintai tolong menyediakan obat bagi kelompok Tabuni. "Saya jelaskan bahwa saya ini bukan mantri kesehatan, tetapi mantri statistik. Saya bilang, ’tujuan Bapa Tabuni dengan saya sama, yaitu bekerja demi kebaikan masyarakat’. Akhirnya, beliau mengizinkan saya melanjutkan proses pencacahan di Iwur," cerita Singpanki.

Dari tahun ke tahun, ia menjelajah pelosok Pegunungan Bintang, menemui para responden yang ditentukan BPS. "Yang paling berat memang saat sensus, karena semua orang harus dicacah. Di Pegunungan Tengah Papua, orang biasa tinggal berjauhan. Terkadang, saya harus berjalan kaki tiga jam hanya untuk mendatangi satu rumah yang jauh, dan mencacah sekitar 10 penghuni rumah itu. Padahal, honor pencacah P4B hanya Rp 500 per jiwa. Jalan pulang- pergi enam jam untuk uang Rp 5.000," papar Singpanki sambil tertawa.

Ia juga hanya tertawa saja ketika disinggung bahwa orang di Jakarta, ribuan kilometer dari Oksibil, meragukan kesahihan data BPS.

Kini, Oksibil tidak lagi sama dengan Oksibil 23 tahun lalu. Meski tetap berlumpur, Oksibil mulai mewujud menjadi ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang. Kini pejabat ada di mana-mana, mulai dari bupati, para kepala dinas, juga para wakil rakyat.

Ia jadi saksi bagaimana para pejabat baru itu menikmati rumah dinas baru, lengkap dengan genset besar, dan mengendarai kendaraan dinas di jalanan berlumpur. Mulai dari sepeda motor sampai mobil 4WD (penggerak empat roda) keluaran terbaru. Adapun Singpanki yang tujuh tahun lagi pensiun, tetap harus berjalan kaki untuk mencari respondennya.

Kisah hidupnya mungkin lain jika ia bersekolah di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri. "Tapi saya tidak menyesal menjadi mantri statistik," ujarnya.

Menjelang pensiun, Singpanki tidak berharap banyak. "Kalau sekarang saya boleh berharap, saya minta BPS memberikan jalan yang baik bagi dua mitra statistik yang selama dua tahun ini membantu saya," ujarnya.

Singpanki menyudahi pembicaraan sore itu dengan senyum. Kembali ia menyusuri jalan berlumpur yang mulai mengeras setelah ditimpa terik sang surya.

Sumber : Kompas, Sabtu, 24 Februari 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks