Jun 19, 2009

Ni Made Suciarmi : Pelukis Wayang Kamasan

Pelukis Wayang Kamasan
Oleh : Ayu Sulistyowati

Umur Ni Made Suciarmi ketika itu masih sembilan tahun, saat ia kagum melihat kakek dan paman-pamannya melukis cerita wayang di atas kain belacu atau katun yang direndam larutan tepung beras agar kaku. Meski waktu itu sempat dilarang oleh bibinya karena masih terlalu kecil, ia tetap tidak peduli.

Sekarang umur Ni Made sudah 73 tahun dan sudah benar-benar sebagai pelukis wayang seperti pendahulunya. Tak hanya itu. Pelukis yang tinggal di Banjar Sangging, Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, ini bahkan menjadi pelukis perempuan pertama di Pulau Dewata yang piawai melukis cerita wayang.

Darah berkesenian rupanya memang telah mengalir dalam diri Ni Made Suciarmi. Ayahnya guru SD yang pintar menabuh gamelan Bali. Ibunya pun lihai menari. Almarhum suaminya juga seorang penabuh terkenal di Kamasan.

Namun, ia tetap tidak lupa menjalankan kewajibannya sebagai seorang ibu yang membesarkan keenam anak-anaknya. Bahkan, tak luput menjalani hubungan sosial kemasyarakatannya selaku wanita Bali. Ia juga pandai membanten, wirama (membaca bahasa Bali di atas daun lontar dengan indah seperti macapat), menari, dan memasak.

Seingatnya, janda berkacamata itu tidak pernah gentar dengan larangan bibinya yang sampai sekarang tidak dipahaminya. ”Mungkin karena saya masih kecil dan belum pernah melakukan upacara sebagai perempuan dewasa. Jadi, belum boleh melakukan kegiatan orang dewasa,” ucapnya sambil tersenyum.

Terus berjuang

Hal lain yang memicunya untuk terus berjuang mewujudkan keinginannya melukis di antara kesibukannya mengikuti upacara adat yang hampir ada setiap minggunya adalah pesan ibunya. ”Perempuan Bali yang pandai membanten atau membuat sesaji upacara dan lihai menari itu sudah biasa, anakku. Bahkan, memasak pun dapat dipelajari. Tetapi, menjadi luar biasa jika sebagai perempuan Bali juga pandai mencari nafkah. Itu yang harus kau bisa.” Itulah sederet kalimat pesan sang ibu kepada Suciarmi.

Pesan itu terus menjadi cambuk kesehariannya. Semenjak menikah, Suciarmi membantu mencari nafkah dari menjual karya-karyanya. Saat itu hasil karyanya dijual ke pasar dan masih berupa uang kepeng zaman penjajahan. Kini, anak-anaknya sudah mandiri dan beberapa di antaranya sudah mengenyam bangku S-2.

Suciarmi memang terlihat sebagai wanita yang tidak pernah menyerah. Di balik keramahan dan kelembutannya, ia tergolong gigih bekerja. Bahkan, sekarang ini Suciarmi tidak sabar menjalani operasi katarak untuk mata kirinya, setelah sukses dengan mata kanannya. ”Semenjak mata saya terkena katarak, lukisan jadi kacau. Karena apa yang saya bayangkan tidak seperti kenyataannya. Kalau melihat hasil lukisan sebelum operasi itu, saya jadi ketawa sendiri dan malu,” ucapnya sambil tersipu.

Meskipun umurnya sudah memasuki kepala tujuh, kekuatan melukisnya masih sangat kuat. Ia masih kuat untuk mentransfer cerita-cerita wayang dari pikirannya ke atas kain belacu. Suciarmi yang tinggal bersama kakak iparnya itu seperti kesetanan menyelesaikan lukisannya.

Bahkan, gambar wayang dengan ukuran sekitar 1,5 x 2 m itu dapat dirampungkannya kurang dari biasanya, sekitar sebulan, karena tingkat kerumitannya. ”Ini lukisan klasik dan harus dengan konsentrasi tinggi. Hasilnya pasti berbeda dengan yang sekadar melukis. Bahkan, goresan masing-masing pelukis berbeda,” katanya.

Awal bakatnya melukis diketahui oleh guru SD-nya. Di kelasnya, ia paling jago melukis wayang dengan cepat. Ketika itu belum ada kertas karena di zaman Jepang para murid masih menulis di atas batu, jadi cepat hilang terkena air. Selanjutnya, ayahnya terus mendukung bakat putrinya. Sayangnya, orangtuanya tak mampu menyekolahkan Suciarmi setelah lulus SD. Tetapi, ia tidak kecewa.

Sudah tergambar

Apa yang akan dilukisnya semuanya sudah tergambar di dalam kepalanya. Ritual sembahyang kepada Hyang Widi pun perlu dilakoninya. Semata mendapatkan kekuatan inspirasi dan jauh dari gangguan. ”Dulu, saya sering lupa apa yang akan dilukis, termasuk alur ceritanya. Tiba-tiba semuanya hilang begitu saja. Lalu, saya pun harus sembahyang dulu meminta kekuatan leluhur mengembalikan ingatan cerita wayang kelanjutan lukisan saya,” ceritanya serius.

Sekalipun sekarang zaman modern, Suciarmi tetap tidak mau bergeming dari peralatan tradisionalnya. Tangannya yang masih lincah itu tetap setia pada kuas dari bambu dan batang nao. Pewarna baju tokoh-tokoh pewayangan tetap menggunakan batu pere, kencu, hingga belacu, termasuk tinta cina. ”Semua ini lebih awet. Lukisan Kamasan bisa bertahan 10 tahunan lebih,” ujarnya meyakinkan.

Karya lukisan Suciarmi yang pertama bercerita mengenai Arjuna Wiwaha. Lukisan salah satu tokoh wayang Pandawa Lima, Arjuna, yang tengah bersemedi mencari kesempurnaan. Lukisan itu pula yang menghantarkannya berpameran untuk pertama kalinya pada tahun 1976 di Art Centre Denpasar. Sekarang hasil karyanya pun sudah banyak dikenal sampai ke luar negeri. ”Lukisan Arjuna Wiwaha kebanggaan saya. Lukisan itu tidak dijual. Kalau ada yang mau, saya bisa buatkan lagi dengan warna sesuai keinginan pembeli saja,” katanya sambil menunjukkan beberapa lukisannya.

Baginya, puluhan lukisan di galeri dengan harga mulai Rp 200.000 hingga jutaan rupiah itu memberi ruang kepuasan dirinya sebagai perempuan, istri, dan ibu dari anak-anaknya. ”Saya wujudkan seperti keinginan ibu saya. Lukisan ini membawa berkah bagi saya dan keluarga,” ungkapnya.

Saat ditemui di rumahnya, suasana Desa Kamasan sepi. Padahal, desa yang sudah menjadi desa wisata itu sering dikunjungi wisatawan asing dan domestik. Suciarmi pun resah. Pasalnya, galeri miliknya menjadi ikut tidak hidup. Galerinya yang berlantai semen, tembok bercat coklat muda, dengan jendela-pintu dari kayu itu kosong, sore itu. Ia hanya bisa berharap ledakan bom tak lagi meluluhlantakkan semangat melestarikan seni lukis wayang Kamasan.

Kegelisahan lainnya yang mengusik hatinya ketika melihat generasi muda yang dianggapnya kurang gigih berlatih. Dalam melukis, ia merasakan para pelukis muda ini hanya mampu meniru. Bahkan, ia menjamin mereka tidak bisa menceritakan lukisan wayang yang ditirunya. Padahal, menjadi seorang pelukis cerita wayang harus mampu menjelaskan hasil karyanya. ”Tidak hanya sekadar keindahan sebagai pajangan ketika laku terjual,” ucapnya.

Sekali lagi, ia mengatakan, melukis cerita-cerita wayang ini tidak sembarangan demi kepentingan komersial semata. Hal ini yang perlu ditanamkan kepada generasi muda sekarang ini. Termasuk pesannya kepada kaum hawa bahwa jangan pernah menyerah pada kebiasaan lingkungan. Tetapi, juga harus berani dengan kegigihan bahwa perempuan juga mampu dan kuat.

Sumber : Kompas, Rabu, 8 Februari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks