Jun 1, 2009

Mutmainah Korona : Mutmainah dan Keterwakilan Perempuan

Mutmainah dan Keterwakilan Perempuan
Oleh : Evy Rachmawati

Berawal dari keprihatinan terhadap nasib kaum perempuan dan anak di Sulawesi Tengah, Mutmainah Korona (28) berupaya mendorong terciptanya sistem pemerintahan yang sensitif jender. Atas usahanya memperjuangkan keadilan, ia mendapat penghargaan Saparinah Sadli.

Anugerah Saparinah Sadli merupakan penghargaan atas pencapaian perempuan Indonesia di bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat. Penghargaan itu untuk komitmen dan kegigihan Mutmainah terhadap perjuangan keadilan, pemberdayaan, dan perbaikan kondisi perempuan melalui jalur struktural.

Sebagai Direktur Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Sulawesi Tengah, ia aktif dalam pembangunan sistem pemerintahan lokal yang demokratis di Sulawesi Tengah. Ia juga menjadi koordinator presidium Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Sulawesi Tengah.

Kegigihannya mendobrak kemapanan sistem pemerintahan yang patriarkhi membuahkan hasil. KPPA berhasil mengegolkan Peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 12 Tahun 2006 tentang Keterwakilan dan Partisipasi Perempuan dalam Pemerintahan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan Proses Pembangunan Desa.

Kelompoknya juga berhasil mendorong kebijakan anggaran dalam APBD Kota Palu yang responsif jender dan pro-rakyat miskin. Hal ini tertuang dalam nota kesepahaman KPPA dengan Wali Kota Palu, Juni 2007.

Atasi trauma

Trauma masa kecil sempat menghantui ibu tiga anak ini. Ia nyaris diperkosa kerabatnya sendiri. Saat kuliah, ia bergabung dengan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) yang membuka wawasan tentang ketidakadilan sosial.

Khawatir sulit mengaktualisasi diri, Mutmainah membatalkan niat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, surat keputusan pengangkatannya sebagai PNS Departemen Agama setempat akan turun. Keputusan itu mengecewakan ayahnya.

Ia aktif dalam gerakan mahasiswa. Ketertarikannya dalam bidang pemberdayaan perempuan berawal ketika mengikuti kegiatan yang diprakarsai Koalisi Perempuan Indonesia.

Kemudian Mutmainah bergabung dengan Insan Pendidikan Rakyat Palu, organisasi lingkungan hidup. Ketika turun ke lapangan, ia menjumpai buruknya nasib perempuan dan anak pada komunitas adat di perbatasan Palu dan Donggala. Mereka rata-rata buta huruf, rumahnya tak ada sekat hingga tak ada ruang pribadi bagi perempuan.

Setelah menikah, ia bekerja di Yayasan Evergreen Indonesia, sebuah LSM lingkungan hidup. Di sela-sela kesibukan, ia dan sejumlah aktivis perempuan sepakat memfokuskan diri pada pemberdayaan perempuan.

Mereka membentuk Kelompok Pemerhati Perempuan dan Anak (KPPA) pada 27 November 2001. Kelompok itu berganti nama menjadi Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA). Mutmainah terpilih sebagai ketuanya. Setiap anggota melanjutkan pendampingan mereka di komunitas.

Dia sendiri mendampingi kelompok swadaya masyarakat yang beranggotakan 120 perempuan di satu kelurahan di Lambara, Palu, selama dua tahun. Kelompok itu mendapat bantuan kredit mikro Rp 96 juta dan mendirikan koperasi perempuan. "Ini jadi kecamatan sadar jender," ujarnya.

KPPA juga mendampingi buruh perempuan dan pengungsi. Mereka juga memberdayakan komunitas masyarakat adat yang tanahnya kering di Donggala dengan membuka sekolah alternatif. "Pada awal berdiri, sebagian penghasilan suami saya dipakai untuk biaya organisasi," ujarnya.

Pada tahun pertama, mereka melakukan penguatan organisasi. Meski sempat alergi dengan aparat pemerintah, dukungan awal kegiatan justru dari pemerintah. Proposal program pendidikan kecakapan hidup bagi anak-anak buruh perempuan serta komunitas perempuan di Lambara, Palu, disetujui pemerintah.

"Pada awal berdiri, bantuan datang dari pemerintah. Tapi saya stres juga karena ada oknum yang minta pungutan 10 persen. Saya mulai tahu, dalam sebuah pemerintahan, yang bermasalah selain sistem juga orang-orangnya," kata istri Nasution Camang ini.

Keterwakilan perempuan

KPPA lalu bermitra dengan sejumlah LSM dalam mengembangkan program pemberdayaan perempuan. Bersama organisasi nonpemerintah, mereka merintis upaya membangun tata pemerintahan lokal yang demokratis.

"Banyak sekali masalah perempuan petani dan masyarakat adat yang secara patriarkhi terpinggirkan akibat minimnya jumlah perempuan di pemerintahan dan kelembagaan desa," ujarnya. Di Donggala, dari 263 desa, hanya 11 perempuan yang duduk di pemerintah desa dan lembaga-lembaga desa lain.

"Rendahnya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan desa sangat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu dan bayi, angka buta huruf tinggi, dan rentan terjadi penyelewengan anggaran desa. Fasilitas terkait perempuan juga tak ada."

Hal ini berbeda dengan Desa Toro, Kabupaten Donggala. Di desa itu, organisasi perempuan adat masuk dalam Badan Permusyawaratan Desa sehingga peraturan desa bernuansa kepentingan perempuan.

"Kami lalu membuat penguatan dengan melaksanakan pelatihan. Kami mengusulkan peraturan daerah tentang partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan lokal. Itu butuh proses 2,5 tahun sampai kami usulkan ke DPRD Donggala," ceritanya.

Usulan perda itu tak berjalan mulus. DPRD menyatakan perda itu tak melalui hak inisiatif dewan, melainkan lewat pemerintah. Ini berarti proses penyusunan perda yang diusulkan KPPA harus berhadapan dengan birokrasi. "Kami lalu mengadakan lokakarya keterwakilan perempuan untuk menyusun naskah akademik," ujarnya.

Dibantu jaringan organisasi nonpemerintah di daerah itu, mereka membentuk kelompok kerja yang membahas naskah akademik, berkampanye di daerah masing-masing dan melobi jajaran birokrasi.

Meski kurang direspons dinas pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana setempat, yang juga berniat mengajukan perda tentang KB Mandiri, Mutmainah tak patah arang. Ia menemui Bupati Donggala, menjelaskan tentang perda yang mereka usulkan, dan direspons positif.

Koalisi organisasi nonpemerintah itu terus melobi pejabat setempat dan sekretaris dewan, hingga perda tersebut disepakati dan akan dilaksanakan mulai 2008.

Dalam perda itu, perempuan buta huruf bisa memberi saran dan masukan secara lisan, perempuan yang takut ke tempat pertemuan bisa mengajukan usulan secara tertulis. Semua perempuan juga diwajibkan terlibat dalam pengambilan keputusan.

Kelompoknya kini juga merintis sekolah atau laboratorium pendidikan politik perempuan di Donggala dan akan dikembangkan untuk Sulteng. "Kami melakukan penguatan di komunitas-komunitas desa hingga terbentuk simpul-simpul perempuan desa dan kecamatan. Jadi, KPPA di desa dan kecamatan bisa menjadi pusat pengaduan jika terjadi kekerasan."

KPPA juga mendesain kurikulum pendidikan politik perempuan dan sembilan modul, mulai dari pendidikan dasar HAM, kepemimpinan, lingkungan, pluralisme, dan feminisme. Targetnya, dalam tiga tahun angka korupsi menurun, alokasi anggaran desa untuk perempuan meningkat, dan perubahan substansial politik di Donggala.

Sumber : Kompas, Sabtu, 3 November 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks