Jun 3, 2009

Mooryati Soedibyo : Mooryati, dari Jamu ke Politik

Mooryati, dari Jamu ke Politik
Oleh : Frans Sartono

Mooryati Soedibyo genap berusia 80 tahun pada 5 Januari 2008. "Usia 80 adalah tonggak hidup untuk berbuat lebih banyak bagi masyarakat," kata perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1928, yang dikenal sebagai pengusaha industri jamu dan kini menjadi politikus, yaitu sebagai anggota DPD dari Provinsi DKI Jakarta.

Antara bisnis jamu dan politik, bagi dia, ada keterkaitan. Mooryati yang lebih dari 30 tahun bergelut di bidang industri jamu dan kosmetika tradisional lewat PT Mustika Ratu menjelaskan dengan bahasa sederhana. Kata kuncinya adalah marketing, pemasaran.

"Politik itu marketing, dan marketing itu politik juga," kata Mooryati yang ditemui di ruang kerjanya di Gedung Nusantara III Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Selasa (8/1) siang.

Di pentas politik, dia adalah Wakil Ketua MPR sekaligus anggota Panitia Ad Hoc III DPD, yang antara lain membidangi masalah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, termasuk kesejahteraan perempuan.

"Selama 35 tahun di bisnis, saya melihat dalam marketing itu ada politik. Saya melihat pasar dan persaingan. Politik itu kan persaingan," ujarnya.

"Dalam marketing, produk saya harus bagus supaya konsumen menyukai. Kalau produk membuat orang gatelen (gatal-gatal) atau keluar jerawat, konsumen bisa protes dan tak mau beli," tutur Mooryati yang merintis usaha jamu di garasi rumahnya di Jakarta tahun 1974.

"Dalam politik, program saya juga harus bagus, harus berkhasiat seperti jamu supaya berguna bagi masyarakat, he-he-he. Kalau tidak, saya tidak akan dipercaya rakyat," tambahnya dengan gaya bicara canthas, fasih dan tangkas.

Sebagai orang yang duduk dalam Panitia Ad Hoc III, ia antara lain memperjuangkan nasib guru bantu untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Ia mengusahakan agar rakyat mendapat akses perawatan kesehatan di rumah sakit. Ia juga mengupayakan realisasi keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen. Keterwakilan itu diupayakan sebagai hak perempuan terlibat dalam politik.

"Passion"

Mengapa berpolitik setelah lebih dari tiga dekade menggeluti usaha jamu?

"Kepentingan untuk diri sendiri, keluarga, dan bisnis sudah lewat. Anak-anak saya mendapat pendidikan yang baik dan sudah mentas. Bisnis yang saya rintis telah dilanjutkan anak-anak. Sekarang masa saya masuk politik karena ingin berbuat lebih banyak dan lebih baik untuk orang lain. Saya ingin melakukannya dengan lebih fokus, dengan passion, keinginan yang kuat."

Dia mengaku tak pernah merencanakan peran atau kedudukan dalam hidup. Ia memulai berbisnis jamu pada usia 46 tahun. Pada usia 79 tahun ia meraih gelar doktor untuk program Studi Ilmu Manajemen Kekhususan Manajemen Strategik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Segalanya tak terencana, tetapi saat memutuskan memasuki wilayah aktivitas baru, ia melakukannya dengan apa yang dia sebut passion, hasrat dan kesungguhan.

Usaha jamu ia mulai sebagai tuntutan kebutuhan ibu rumah tangga yang harus bisa mengatur keuangan keluarga. Belakangan usaha itu mampu menghidupi lebih dari 3.000 karyawan berikut keluarga.

"Saya waktu itu belum disiapkan menjadi pengusaha. Saya berbisnis karena tiba-tiba saya merasa, lho antara pengeluaran dan pendapatan kok enggak cocok," kata istri Ir Soedibyo ini.

"Saya sendiri juga heran, kok bisa dan mau. Teman-teman, istri dirjen atau direktur yang tadinya saya bikinin jamu gratis kemudian harus mbayar. Eh... kok ya bisa jadi bisnis kecil-kecilan," ucapnya mengenang awal usaha.

Kini Mooryati sudah melepas sebagian besar campur tangannya pada perusahaan. "Saya masih menangani 15 persen, yang 85 persen itu Putri," kata dia menyebut nama anaknya, Putri Kuswisnuwardhani, yang menjadi Wakil Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk.

Mooryati menangani bidang riset dan pengembangan. Masa depan sebuah produk, kata Mooryati, ditentukan oleh riset. Ia misalnya merintis pembuatan lulur kocok. Sebelumnya dikenal lulur berwujud butiran keras yang harus dilumerkan dengan air mawar sebelum dioleskan pada badan.

"Produk itu saya sesuaikan dengan zaman dan kemauan konsumen yang maunya praktis, cepat, tapi berkhasiat. Lulur saya bikin kocok. Jamu saya masukkan dalam tea bag atau sachet. Orang sekarang mana mau merebus jamu?" jelasnya.

Darah politik

Merunut riwayat keluarga, budaya berpolitik ada pada leluhur Mooryati. Kakeknya, Kanjeng Pangeran Aryo Hadiningrat, adalah Bupati Demak yang pada masa kolonial telah berpolitik. Dia berkisah tentang Sang Eyang yang memperjuangkan pembebasan pajak bagi rakyat Demak yang setiap tahun terkena banjir, tetapi tetap dipajaki. KPA Hadiningrat mengirim surat keberatan kepada Gubernur Jenderal, yang diteruskan kepada Menteri Penjajahan Belanda dan disetujui.

"Darah politik ada pada saya, tetapi saya masuk politik tanpa dicita-citakan."

Panggilan berpolitik bagi dia tak dibatasi usia. Ia mengibaratkan hidup seperti jalan yang ditandai dengan patok atau tonggak penanda kilometer. Setiap kilometer adalah kesempatan untuk berjuang. Pada usia 80 tahun, Mooryati bertekad terus berjuang.

"Hidup itu kesempatan untuk berjuang, ikut mawayu hayuning bawono—ikut merawat dunia agar menjadi tempat hidup yang lebih baik bagi semua."

Saya Bukan "Macan Luwe"

Perayaan tanggap warso atau ulang tahun ke-80 Mooryati diselenggarakan Sabtu (5/1) malam di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. Hadir sejumlah tokoh politik, mulai dari Akbar Tandjung sampai Gus Dur. Undangan mendapat suguhan paparan perjalanan hidupnya lewat video yang bertajuk (dalam versi bahasa Inggris) The Life of Dr Hj BRA Mooryati Soedibyo: A Heroine from a Palace—Perempuan Pejuang dari Keraton.

BRA dari gelar Bandoro Raden Ayu. Pemilik gelar itu adalah cucu raja yang bersebutan Ingkang Sinuhun Kanjeng Sunan Pakoe Boewono X dari Kasunanan Surokarto Hadiningrat. Terpapar kiprah Mooryati sebagai pengusaha jamu dan kosmetika tradisional hingga perjalanannya di pentas politik negeri ini.

Upaya Mooryati itu seperti menerobos tradisi keraton yang menabukan putri keraton berdagang, termasuk jualan jamu. "Bisnis bagi perempuan dianggap tidak pantes. Itu dianggap bisa mengurangi wibawa suami."

Mooryati sejak muda berani melakukan terobosan. Ia misalnya berani memutuskan menikah dengan Ir Soedibyo yang bukan berasal dari lingkungan ningrat keraton.

"Saya punya impian dan ingin maju. Dulu kami dipingit, hubungan dengan orang luar dibatasi, pendidikan dibatasi. Kami belajar di sekolah milik keraton, Pamardi Putri, yang muridnya perempuan semua dan masih keluarga. Pembatasan itu membuat saya tidak maju."

Dari ibu Gusti Raden Ayu Kussalbiyah, anak Pakoe Boewono X, ia mewarisi sifat halus. Dari sang ayah, Kanjeng Raden Mas Tumenggung Ario Poernomo Hadiningrat, ia mendapatkan sifat progresif.

"Jadi cara saya berjalan itu tidak bisa seperti macan luwe, harimau lapar," kata Mooryati mematahkan pencitraan perempuan seperti dalam lagu Putri Solo yang menggambarkan kelembutan seorang putri yang berjalan bagai harimau lapar.

Sumber : Kompas, Jumat, 11 Januari 2008

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks