Jun 4, 2009

Miskia Rumwokas Rumkabo : Miskia, Perajin Kerupuk Sagu Tenggiri

Miskia, Perajin Kerupuk Sagu Tenggiri
Oleh : Ichwan Susanto

Memiliki enam anak dengan suami yang menerima gaji tiga bulan sekali mendorong Miskia Rumwokas Rumkabo (33) menggeluti pembuatan kerupuk sagu tenggiri. Berbekal peralatan dapur biasa, oleh-oleh jajanan khas Raja Ampat itu telah dikenal sebagai salah satu buah tangan khas Papua.

Bagi sebagian orang, apalagi yang memiliki peralatan pembuatan kerupuk lengkap, membuat penganan renyah itu bisa jadi tidak sulit. Akan tetapi, untuk orang seperti Miskia yang hanya memiliki peralatan memasak "ala kadarnya", membuat kerupuk bukanlah hal mudah.

Membuat kerupuk yang gurih, renyah, dan bercitarasa asli ikan tenggiri tak bisa dipelajarinya dengan mudah. Miskia butuh waktu sekitar satu bulan untuk terus mencoba agar bisa menghasilkan produk berkualitas. Perempuan ini pantang merasa putus asa karena dia yakin keberhasilan akan didapat selama tidak menyerah untuk mencoba.

Adonan menjadi bantat atau pejal, bahkan irisan berlubang-lubang sekalipun, tidak bisa mematahkan semangat istri Kepala Kampung Sonek, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, itu. Semangatnya untuk terus mencoba membuat kerupuk itu juga berkat dorongan ayah mertua, Jumati Rumkabo, yang tak bosan mengajari dia.

Usaha pembuatan kerupuk ikan tenggiri khas Saonek dimulai lima tahun lalu. Ketika itu Miskia tengah kebingungan mendapatkan tambahan penghasilan untuk uang jajan dan sekolah keenam anaknya.

"Saya tak mau hanya berdiam diri di rumah, menunggu saja uang dari suami. Saya merasa harus bisa berbuat sesuatu yang menghasilkan. Kemampuan apa yang ada dalam diri saya, itulah yang saya keluarkan. Saya pengin bisa mengerjakan sesuatu," ujar Miskia, yang ditemui pertengahan Mei ini di Pulau Sonek.

Tergantung tangkapan nelayan

Bermodal keuletan dan peralatan sederhana, dia akhirnya mampu memproduksi kerupuk, minimal dua kali dalam sepekan. Untuk sementara ini, Miskia tidak dapat setiap hari berproduksi. Pasalnya, keberlangsungan usahanya masih sangat bergantung kepada ketersediaan ikan tenggiri tangkapan dari para nelayan. Jika ikan tenggiri sedang susah didapat karena bulan gelap, dia sama sekali tidak mampu berproduksi.

Hari-hari luang tersebut dimanfaatkan Miskia untuk mempersiapkan bahan-bahan pembuatan kerupuk. Dia, antara lain, mengerjakan proses menghaluskan dan mengeringkan sagu serta mengumpulkan kayu bakar.

Ia tak bisa menjelaskan secara rinci resep pembuatan kerupuk sagunya. Miskia hanya mengatakan bahwa penggunaan sagu sebagai campuran adonan merupakan warisan turun-temurun. Satu hal pasti, sagu membuat adonan lebih mudah diiris tipis-tipis dan membuat kerupuk dapat mengembang baik saat digoreng.

Dia menambahkan, tepung sagu seberat kisaran 2 kilogram digunakan untuk pencampuran seperempat kilogram tepung tapioka dan seekor ikan. Adonan tersebut dapat menghasilkan sekitar 500 keping kerupuk mentah.

Adonan sagu dan tepung tapioka dicampur dengan serutan daging tenggiri segar, lalu garam serta penyedap rasa. Setelah itu, adonan direbus sampai selama satu setengah jam, barulah kemudian didinginkan seharian.

Adonan tersebut lalu diiris tipis-tipis menggunakan pisau dapur biasa karena Miskia belum memiliki alat potong lain. Satu demi satu irisan kerupuk dikerjakan secara manual. Kepingan itu kemudian dijemur di bawah sinar matahari yang terik agar mendapatkan hasil bagus.

Kerupuk mentah yang telah kering itu dijual Rp 1.000 per tiga keping. Jika telah digoreng dengan minyak kelapa, harganya menjadi Rp 1.000 per bungkus yang berisi dua keping kerupuk. Setiap memproduksi, dalam sehari atau dua hari, kerupuk sagu itu sudah ludes diserap pemesan maupun kios.

Alhasil, setiap bulan dia mampu menghasilkan rata-rata Rp 2 juta. Tambahan penghasilan ini digunakan Miskia untuk membayar uang sekolah keenam anaknya. Bahkan, per bulan Miskia masih dapat menyisihkan Rp 300.000 untuk ditabung pada Bank Papua, satu-satunya bank yang ada di Raja Ampat.

Belum dilirik

Meski pembuatan kerupuk dipastikan untung dan produk cepat laku, Kepala Kampung Saonek Yakub Rumkabo mengatakan, masyarakat setempat maupun Pemkab Raja Ampat belum banyak melirik. Ia berharap seiring pengembangan Raja Ampat sebagai daerah wisata, pembuatan kerupuk di Saonek pun ikut berkontribusi menghasilkan oleh-oleh penganan kerupuk khas daerah itu.

Beberapa rumah tangga sebenarnya juga memproduksi kerupuk serupa, tetapi mereka hanya melayani pesanan. Berbeda halnya dengan Miskia yang selalu membuat kerupuk setiap tersedia ikan tenggiri.

Sayangnya, ikan tenggiri tak setiap hari bisa diperoleh warga asal Seram yang tinggal di Saonek sejak tahun 1992 itu. Selain terkendala musim, nelayan setempat lebih suka memproses tenggiri menjadi ikan asin.

"Sebenarnya kalau ikan tenggiri diproses menjadi kerupuk lebih menguntungkan dan cepat laku. Tetapi, waktu pembuatan yang dirasa rumit, ditambah sulitnya mendapatkan ikan tenggiri, membuat warga di sini malas," ujar Miskia.

Namun, Miskia tak menyerah untuk terus mencoba menularkan ilmunya. Melalui PKK, ia mengajak ibu-ibu rumah tangga setempat untuk menjadikan Saonek sebagai daerah sentra pembuatan kerupuk sagu tenggiri.

Kendala-kendala ini pernah disiasatinya dengan menyubstitusi tenggiri dengan ikan cakalang dan bubara. Namun, ternyata kualitas kerupuk berkurang karena rasa menjadi anyir maupun warna berubah menjadi tidak menarik.

Miskia akhirnya menetapkan pilihan hanya menggunakan ikan tenggiri untuk kerupuk, meski tak mampu setiap hari berproduksi. Ia tidak mau pelanggan kabur hanya gara-gara kecewa dengan kualitas produknya.

Solusi dari pemkab maupun peran swasta untuk mengatasi ketersediaan bahan baku serta peralatan sangat diharapkan Miskia agar industri rumah tangga di Saonek ini bisa terus berkembang.

Sumber : Kompas, Selasa, 29 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks