Jun 4, 2009

Melati Tobing : Tobing, Tak Sekadar Pemasok Sayur

Tobing, Tak Sekadar Pemasok Sayur
Oleh : Stefanus Osa Triyatna

Tutur kata Melati Tobing ceplas-ceplos. Tobing, sapaannya, mengisahkan, suatu malam seekor gajah betina diperkirakan bakal melahirkan. Saat itu juga dia dan suaminya harus menyiapkan daun katuk, kacang tanah, jagung muda, dan kacang panjang untuk makanan gajah. Esok, gajah itu harus diberi makanan bergizi.

Gajah itu bukan miliknya. Namun, kepedulian istri Hari Zamhari pada hewan-hewan penghuni Taman Safari Indonesia (TSI) di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1987 itu semakin terasah.

"Ah, saya sih cuma pemasok sayur. Tetapi, yang jelas, hewan gede maupun kecil butuh gizi baik supaya induknya sehat dan si anak bisa menyusui," kata Tobing saat berjumpa Direktur TSI Tony Sumampau.

Dari gajah bunting hingga jerapah mandul, betul-betul dipelajari asupan gizinya oleh Tobing. Bicara asupan gizi, perempuan kelahiran Tarutung, Sumatera Utara, itu begitu lancar bercerita. Bahkan, bersama ahli gizi khusus hewan TSI, Tobing diminta mengupayakan asupan gizi dari taoge dan beberapa jenis sayuran lain demi menolong jerapah yang mandul.

Ibu tiga anak ini bisa berkisah panjang di balik "layar" kelangsungan hidup hewan-hewan TSI. Dia wajib menjadi "ahli gizi" hewan meski bukan dokter hewan. Tobing dan suaminya memiliki kepentingan untuk mengerti tentang hal itu karena mereka hidup dari bisnis memasok makanan hewan TSI. Tobing dan suaminya menangkap peluang bisnis itu sejak dibukanya TSI pada tahun 1987.

Alhasil, dari cuma memasok puluhan ikat sayur, kini Tobing dipercaya memasok berton-ton sayuran per bulan. Padahal, awalnya masyarakat merasa aneh karena Tobing berani mengumpulkan sayuran dari para petani di sekitar Cisarua hanya demi menyambung hidup binatang.

Bahkan, demi terjaganya asupan gizi, Tobing rela mengumpulkan berbagai macam sayur dari pasar-pasar tradisional di sekitar Bogor. Dari data TSI, nilai kebutuhan sayuran diperkirakan mencapai Rp 650 jutaan per tahun.

Itu berarti, dari hasil memasok sayuran saja, Tobing berpenghasilan kotor sekitar Rp 55 juta per bulan. "Hidup ini bukan cuma mengejar untung. Hewan- hewan itu kan aset negara yang harus dilindungi. Kalau enggak ada hewan, kami mungkin enggak bisa hidup di sini," ujar Tobing.

Tak sekadar memasok

Hampir 20 tahun ini Tobing ikut berjuang memenuhi ketersediaan pakan hewan. Dia menyebut dirinya perempuan midnight. Pasalnya, dia berani banting setir dari pekerjaan sebagai staf ahli gizi Rumah Sakit Paru (RSP) di dekat TSI menjadi pemasok sayur. Tobing pun mengubah pola jam kerja demi mendukung pemenuhan nafkah keluarga.

Untuk itulah, mulai pukul tujuh malam hingga enam pagi, dia dan suami berburu sayur ke pasar-pasar. Ini dilakukannya karena tak semua jenis sayuran dapat dipenuhi petani.

"Sekali lagi, sama seperti manusia, hewan juga butuh sayuran segar dan berkualitas, bukan sayuran busuk dari pasar," kata Tobing yang menjadi pemasok sayuran setelah 12 tahun tak ada kejelasan pengangkatan dirinya dari pegawai honorer menjadi pegawai tetap di RSP.

Dia tak sekadar memasok sayuran. Untuk petani, Tobing "diam-diam" juga berfungsi sebagai penyuluh. Misalnya, sewaktu sayuran terlihat banyak menggunakan semprotan zat kimia, entah yang membekas pada akar, batang atau daun, dia akan menegur petani.

Ia mencoba menjelaskan kepada petani tentang bahaya zat kimia berlebihan yang bisa mengontaminasi sayuran yang dikonsumsi manusia dan hewan. Konsekuensinya, produk itu ditolak konsumen sebab tak berkualitas dan membahayakan jika dikonsumsi.

Aktivitas Tobing seusai belanja sayur dari pasar tradisional adalah menyortirnya bersama kedua anaknya. Sayuran yang menguning dibuang, yang bagus dicuci sebelum diantar ke gudang perbekalan TSI.

Sayur yang dipasok per hari adalah kacang tanah 80 kilogram, buncis 10 kilogram, caisim 30 kilogram, pucuk daun kemang 150 ikat, kangkung 160 ikat, dan mentimun 4 kilogram. Sayuran itu rutin dikirim setiap hari tanpa jeda sehari pun agar kesegarannya terjamin.

Maka, tak sedikit kendala yang dihadapinya. Misalnya saat musim hujan atau kemarau panjang, ada jenis-jenis sayuran yang sulit diperoleh. Andaikan sayuran itu bisa diperoleh, harganya naik 2-3 kali lipat sehingga menekan margin keuntungan. Keuntungan itu juga dipengaruhi sewa kendaraan untuk mengangkut sayuran sebesar Rp 70.000 per hari.

Memperkaya pengetahuan

Untuk menunjukkan dirinya bukan sekadar pemasok, Tobing membekali pengetahuannya dengan membaca buku-buku tentang bagaimana membuat sayuran agar tidak cepat layu.

Sayur buncis, misalnya, menurut Tobing, akan tetap awet segar jika disimpan dalam plastik bening. Hal serupa berlaku untuk sayur taoge. Sementara sayur kol dan sawi putih harus menggunakan kertas untuk menjaga kelembabannya.

Berkat ketekunannya, Tobing merasakan tetesan rezeki tidak pernah habis. Dua kali dalam sepekan, hasil jerih payahnya memasok sayuran ke TSI dapat dikantongi untuk dibawa pulang.

Kelimpahan rezeki yang dikumpulkan Tobing dari modal kecilnya kini dirasakan telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Tetesan rezeki tersebut membukakan jalan bagi dia untuk mampu membiayai sekolah anak-anaknya dari sekolah dasar hingga lulus perguruan tinggi.

Bagi Tobing, sekarang ini mencari kerja bisa dikatakan masih sulit. Pada saat keuntungan di depan mata bisa diraih secepat kilat, hendaknya orang tidak mengejar keuntungan besar yang bersifat sesaat.

"Biar untung sedikit, asalkan kontinu, rezeki kita enggak lari ke mana-mana kok. Kalau mau sukses tidak ada yang instan. Itu saya ajarkan betul kepada anak-anak saya. Merekalah penerus usaha ini," tuturnya.

Tobing percaya, sehebat-hebatnya pengusaha tetap saja mereka membutuhkan "tangan- tangan kecil" seperti dirinya untuk meraih sukses.

Sumber : Kompas, Senin, 11 Juni 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks